Awas Hujan Asam dari Batu Bara

- Editor

Sabtu, 4 April 1992

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SEORANG dukun sakti meramal sekaligus pakar ekologi dari Inggris Angus Smith telah mencuatkan istilah “Hujan Asam” seabad yang silam. Kala itu, dia mencurigai ada bahan kimia yang mampu memporakporandakan bermacam-macam biota danau dan hutan, dan bangunan-bangunan di pinggir dan dalam aliran sungai. Bukan itu saja, dia meramal juga bahwa zat beracun itu dapat meluluhlantakkan bangunan-bangunan monumental yang benilai kebudayaan tak tertarakan.

Apakah zat bertingkah laku nakal dan jahat itu? Tidak lain adalah sulfur atau SO2 atau H2SO4 dan nitrous atau NOx atau HNO3, yang berasal dan bahan fosil, terutama batu bara yang dibakar untuk keperluan manusia.

Di Indonesia, tidak lama lagi batu bara akan menjadi surnber energi primadona, baik untuk pembangkit maupun sebagai bahan bakar rumah tangga sehari-hari oleh masyarakat di desa dan kota, juga tak ketinggalan para pengusaha industri kecil sebelum tahun 2000.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pencanangan penggunaan bahan bakar batu bara ini untuk berbagai sektor kehidupan hampir mulus dan hampir terlaksana, sebab berbagai pihak nampaknya setuju-setuju dan aman-aman saja, termasuk pihak yang biasanya menyebut dirinya pecinta langkungan. Karena itu diskusi terbuka di media massa terhindarkan. Bahkan dari pihak yang paling vokal pun terhadap masalah-masalah lingkungannya, seperti Walhi yang disuarakan oleh Anung BH Karyadi dengan antusiasnya mendukung pencanangan pendayagunaan batu “hitam” bara untuk berbagai kebutuhan manusia. Karena itu sambutan pun semakin nyaring, seolah-olah terbius teler hingga khilaf menatap hal-hal yang berbahaya bagi kehidupan bersama ini. Seterusnya proyeksi-proyeksi konsumsi batu bara di masa yang akan datang pun bermunculan silih berganti.

Proyeksi-proyeksi itu berusaha menampilkan perkiraan kebutuhan batu bara-batu bara pada tahun 2000 nanti. Untuk pembangkit tenaga listrik harus membakar sebanyak 116.769.300 Setara Barel Minyak (SBM) atau setara dengan 24.326.937,5 ton (1 ton batu bara = 4,3 SBM) dan untuk keperluan bahan bakar rumah tangga dibutuhkan 5,5 juta ton. Sedangkan untuk keperluan industri kecil dibutuhkan batu bara sebanyak 3 juta ton. Jadi total jenderal bahan bakar batu yang harus dibakar sebanyak 32.826.937,5 ton.

Sedangkan kandungan sulfur dalam batu bara berkisar antara 3 persen sampai 0,5 persen berat dan kalau diambil pendekatan kandungan sulfur dianggap rata-rata 1 persen berat. Dan PLTU Batubara yang digunakan seperti instalasi yang dibangun di Suralaya saat ini, maka akan mengeluarkan sulfur sebanyak 243.296,5 ton asam sulfat (H2SO4) yang sangat beracun, dan dari pembakaran batu untuk rumah tangga dan industri kecil menghembuskan sulfur sebesar 260.312,5 ton asam sulfat beracun. Sehingga total asam perusak lingkungan yang dihamburkan sebesar 1.006.325 ton H2SO4.

Di samping itu batu bara juga mengandung nitrogen sebesar 0,2 persen. Dengan perhitungan yang hampir sama maka batu bara sebesar 32.826.937,5 ton akan menghasilkan asam nitrat (HNO3) sebesar 220.409,5 ton. Asam nitrous ini tidak kalah beracun ketimbang asam dari sulfur. Sehingga total asam yang disebarkan ke atmosfer pada tahun 2000 nanti dari batu bara sekitar 1.225.734,5 ton.

Angka sebesar di atas belum memperhitungkan pelepasan unsur-unsur lain, seperti logam-logam beracun antara lain: Vanadium, Arsen, Khlorid, Air Raksa, Nikel, Kadmium dan Selenium yang terkandung juga dalam batu bara dan siap lepas setiap saat untuk mencemari lingkungan terutama dalam air dan bahan pangan.

Nampaknya pembakaran batu bara akan berjalan dalam waktu yang lama, sampai ratusan ribu tahun bila melihat potensi cadangan batu bara yartg tersedia di Nusantara ini. Lalu bagaimana kelakuan akumulasi semua bahan beracun dari batu bara ini dalam kurun ratusan ribu tahun itu di lingkungan. Sudahkah hal ini diramalkan untuk diantisipasi?

Merusak hutan dan monumen
Telah diketahui masyarakat luas, kini air tanah dan air permukaan di kota-kota besar di Indonesia, seperti megapolitan Jakarta raya dan metropolitan Suarabaya, bahwa sudah tidak netral lagi, melainkan sudah cenderung menjadi agak asam, kalau tidak boleh dikatakan asam. Bagaimana nasib air tanah dan permukaan di kota-kota itu nanti pada tahun 2000 bila ditambah dengan pencemaran asam batu bara sebesar perhitungan di atas? Bagaimana nasib penghuninya? Bagaimana?

Penulis menjadi semakin khawatir kalau-kalau ramalan A. Smith yang merupakan seorang peramal ekologi tingkat dunia itu benar-benar melanda negeri ini. Guru besar lingkungan ini memperkirakan bahwa ramalan dia tidak memerlukan waktu beberapa dasa warsa berikutnya. Benar, pada awal dasawarsa 80-an, para ilmuwan lingkungan di Eropa, termasuk R.F. Jerman memperlihatkan adanya endapan-endapan asam ternyata menjadi biang keladi terjadinya tragedi forest dieback atau kehancuran hutan. Sekitar 25 persen hutan di Eropa kala itu luluh-poranda oleh bahan kimia beracun. Terbukti bahwa biang keladinya adalah gas SO2 dan Nox dari pembakaran fosil terutama batu bara untuk pembangkitan tenaga listrik. Tidak sedikit pohon-pohon penghuni hutan di berbagai wilayah di Eropa menjadi seperti terbakar. Daun, bunga dan buah rontok, sebagian besar ranting buntung, kulit terkelupas dan akar-akar mereka kering. Kasihan berat makhluk yang berkewajiban memproduksi oksigen bagi keperluan manusia dan hewan di sekitarnya itu.

Kemudian giliran danau-danau, dan biotanya menjadi korban keganasan zat racun dari batu bara itu. Sampai-sampai David W. Schindler, pakar lingkungan dari Universitas Alberta, Kanada, mengungkapkan kekesalannya. Pasalnya, kala itu, saat sudah terjadi penghancuran danau-danau oleh sulfur dan nitrous dari batu bara, sebelumnya tidak pernah dikerjakan pendataan spesies-spesies biota di dalamnya, sehingga tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat ditelusuri berapa jumlah spesies yang telah musnah digasaknya, mungkin puluhan, ratusan, bahkan ribuan spesies. Tidak puas sampai di situ, si racun itu melabrak bangunan-bangunan dan monumen-monumen bernilai kebudayaan tinggi. Misal, Monumen Akropolis di Athena dan Jefferson Memorial di Washington tidak Iuput dari kenakalan dan keganasannya. Ngeri memang!

Ngeri dan khawatir
Kalau yang di negeri orang saja sangat ngeri, apalagi yang di negeri sendiri. Karena itu, penulis menjadi semakin khawatir bercampur ngeri berat sejak didengungkan pencanangan pendayagunaan batu bara untuk beberapa sektor kebutuhan hidup rakyat di Nusantara tercinta.

Langsung saya terbayang-bayang keindahan, keasrian, kesejukan, keramahan dan kedamaian Kota Hujan Bogor dengan daerah Puncaknya yang banyak dikagumi oleh pelancong-pelancong domestik dan internasional. Tidak pelak lagi, barangkali karena curah hujannya yang paling tinggi ketimbang daerah lainnya, maka kalau nanti batu bara sudah benar-benar dibakar oleh tetangga-tetangga kita di Nusantara kota inilah yang paling menderita oleh kejahatan sulfur dan nitrous dari batu bara itu. Sedangkan wilayah yang termasuk penyangga air tanah wilayah Jabotabek ini berarti semua air tanah di wilayah Pulau Jawa bagian paling barat ini tercemar berat oleh asam-asam dari batu bara.

Dan masihkah lingkungan hijau royo-royo yang ditingkahi kupu-kupu bercanda bersama bunga, jengketak, kodok, ular, binatang penggerek dan hawan-hewan kecil lainnya secara bersama-sama atau sendiri-sendiri setiap saat berdo’a sambil bernyanyi memanggil doinya masing-masing untuk bercumbu, dibarengi dengan mekarnya bunga beratus-ratus spesies. Dan masih banyak lagi keunikan-keunikan dan keindahan yang super indah yang sangat tidak mungkin dilukiskan dengan sejuta kata-kata indah yang super indah.

Mungkinkah lingkungan yang masih tersisa sampai saat ini, itu dapat bertahan sampai setelah tahun 2000 nanti ketika anak cucu kita telah bertradisi membakar batu bara? Kalau memang do’amu dan perhelatan kesetiaanmu pada Tuhan masih belum memberi ketegasan kemampuanmu untuk mempertahankan kelestarianmu sampai setelah tahun 2000, menjeritlah bersama-sama secara serentak sehingga para pengabdi lingkungan memperhatikanmu lagi lebih terfokus lagi unukmu.

Belum puas bermimpi kelestarian lingkungan di Bogor, perasaan penulis langsung kepingin mudik ke kota gudeg Ngayogjokarto Hadiningrat dan sekitarnya. Di sana saya ingin menikmati indahnya, syahdunya panorama kota kebudayaan dan pelajar itu sebelum gas-gas racun dari batu bara disemburkan ke udara dan menggerayangi bangunan-bangunan peninggalan kebudayaan Jawa kuno yang harga budayanya tak tertarakan itu luluh lantak. Dan saya sangat rindu dapat berdialog dengan mereka.

Kuatkah kamu hai beringin keramat bertahan hidup di alun-alun keraton ini, sampat setelah tahun 2000 nanti? Dan juga kamu, hai Candi Borobudur, Prarnbanan, dan Kalasan, mampukah Anda menahan serangan makhluk jahat si asam dari batu bara itu setelah tahun 2000 nanti? Kalau kamu-kamu tidak tahan, menjeritlah sekuat tenagamu, agar semua orang yang membakar batu bara nanti lebih peduli terhadapmu.

Kemudian saya inngin kembali lagi ke Ibu Kota Jakarta. Dan ingin bicara dari hati ke hati dengan Monas. Hai saudaraku yang menjadi kebanggaan seluruh rakyat negeri ini, mampukah Anda bertahan tersenyum terus, walau nanti setelah tahun 2000 Saudara diguyur hujan berasam setiap saat? Perawakanmu yang kuning Iangsat keemasan, mampukah kau bertahan seperti sediakala? Kalau tidak mampu, tunjukkan segera lukamu, sakitmu dan nyaringlah kepada bapak-bapak dan ibu pengemban negeri beliau-beliau tetap lebih peduli kepadamu! Saudaraku itupun menjawab dengan terbata-bata, Ya-ya-yaah.

Kadarisman Wisnukaton, pengamat energi dan lingkungan, mahasiswa Pascasarjana ITB, tinggal di Serpong.

Sumber: Kompas tanpa diketahui tanggalnya

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB