Pemerintah menjajaki kemungkinan perekrutan rektor dan dosen asing untuk memperbaiki mutu pendidikan dan mempercepat kenaikan peringkat perguruan tinggi. Saat ini pemerintah sedang mengkaji aturan dan sistemnya.
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi berencana mendatangkan rektor dan guru besar atau profesor dari luar negeri untuk mengelola perguruan tinggi agar memiliki reputasi internasional. Hal itu dikaji agar tak memicu masalah di kemudian hari.
Menurut Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir di Jakarta, Selasa (30/7/2019), pemerintah tengah menyusun aturan mengenai pendatangan rektor asing. Pemerintah juga mengkaji renumerasi dan status rektor serta dosen asing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemilihan individunya bisa inisiatif pemerintah ataupun permintaan perguruan tinggi. Kemristek dan Dikti akan memastikan orang-orang yang diusulkan untuk direkrut berpengalaman memimpin dan memajukan perguruan tinggi (PT) serta riset dan inovasi di negara lain, terutama bidang sains dan teknologi.
”Kemungkinan tahun 2020 ada dua hingga lima orang yang datang,” ucapnya.
Konsep itu terinspirasi dari perguruan-perguruan tinggi kelas dunia di Singapura dan Eropa yang dosen, guru besar, dan pimpinannya berasal dari berbagai negara di dunia. Mereka memberi kepakarannya untuk memajukan perkuliahan, riset, dan inovasi kampus.
Menanggapi rencana itu, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia Asep Saefuddin, kemarin, menyatakan, sebenarnya mendatangkan rektor dan guru besar dari luar negeri untuk memimpin PT bukan hal baru di dunia akademik. Soal pendidikan tinggi nasional bukan pada kepemimpinannya, melainkan birokrasi antara perguruan tinggi dengan pemerintah dan di antara lembaga pemerintah itu sendiri.
”Budaya mendatangkan guru besar tamu dari negara lain atau bahkan untuk menetap dan mengajar lazim dilakukan di perguruan tinggi bertaraf internasional, termasuk di Indonesia. Untuk aspek itu, masyarakat tak perlu khawatir karena ada sistem persyaratan ketat guna memastikan akademisi yang diundang mumpuni di bidang yang dibutuhkan,” katanya.
Birokrasi rumit
Asep menekankan, masalah utama PT adalah berbelit-belitnya birokrasi antara PT dan Kemristek dan Dikti. Akibatnya, PT tak bisa memiliki otonomi untuk mengembangkan kurikulum, melakukan riset, dan menerapkan inovasi secara maksimal.
Sebagai gambaran, PT negeri dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang didapat lewat pengiriman proposal kepada Kemristek dan Dikti. Proposal itu harus mengantre di tengah proposal dari PT lain dengan berbagai program diajukan sehingga proses tunggunya lama. Kemristek dan Dikti juga tidak bisa langsung memberi dana karena pemakaian APBN harus dibahas dengan DPR.
”Risikonya dana yang diterima PTN tidak sesuai proposal sehingga praktik tri dharma mereka harus mengakali dengan mengurangi biaya pada unit tertentu,” kata Asep yang juga Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia.
Demikian pula riset dan inovasi yang bersifat amat kompetitif karena memperebutkan dana APBN. Banyak riset kalah prioritas sehingga tidak mendapat dana dan tak bisa berjalan. Jika ada riset yang disokong APBN, laporan untuk pemerintah menekankan pada ketatausahaan, bukan pada perkembangan riset dan inovasinya.
Maka dari itu, pendatangan pakar asing tak akan memberi kemajuan selama birokrasi tak direformasi. Risikonya, pakar-pakar itu akan terbelenggu aturan yang tak selaras satu sama lain. (DNE/EVY)
Sumber: Kompas, 31 Juli 2019