Setelah melewati era kepemimpinan dua presiden, peraturan bersama Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang Pedoman Penyelenggaraan Sekolah Indonesia di Luar Negeri akhirnya diperbarui atau dimutakhirkan. Peraturan bersama yang baru ini antara lain akan memberikan kejelasan mengenai status kepegawaian guru, proses penugasan guru, serta penghargaan dan pengembangan kompetensi guru.
Ini dikemukakan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Luar Negeri RI Soehardjono Sastromihardjo, Rabu (15/7), di Jakarta. “Ini proses bersama yang panjang di antara dua kementerian. Pemutakhiran peraturan ini mengalami pasang surut pembahasan,” ujarnya.
Penyelenggaraan pendidikan di luar negeri sebelumnya diatur oleh sebuah keputusan bersama Menteri Luar Negeri serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 191/81/01 dan Nomor 051/U/1981 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sekolah Indonesia di Luar Negeri yang ditandatangani pada 22 Januari 1981.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, menurut Soehardjono, seiring dengan perkembangan zaman terdapat beberapa tantangan dan kendala di lapangan yang kerap timbul akibat pengaturan yang tidak disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Peraturan bersama yang baru ini menjadi signifikan karena memberikan kejelasan dalam berbagai hal, di antaranya status kepegawaian guru, proses penugasan guru, serta penghargaan dan pengembangan kompetensi guru. Selain itu, lanjut Soehardjono, peraturan ini juga mengatur tentang pendanaan sekolah, penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, serta pendidikan nonformal.
“Ini relevan dengan kondisi di lapangan karena saat ini, selain pendidikan formal, terdapat pula sejumlah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan nonformal bagi WNI di luar negeri,” kata Soehardjono.
Perubahan signifikan lainnya dari peraturan baru ini adalah mengenai tata cara pendirian, persyaratan pendidik dan peserta didik, serta proses pembinaan dan pengawasannya. Peraturan ini juga mengatur tentang dukungan fasilitas oleh sekolah-sekolah Indonesia atas proses pembelajaran di berbagai komunitas Indonesia atau yang sering disebut sebagai Community Learning Center (CLC).
“Dengan peraturan baru ini, berarti lebih dari 3.000 murid WNI yang selama ini telah dilayani 14 sekolah Indonesia di luar negeri yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat akan semakin terlayani dan terlindungi kepentingannya,” kata Soehardjono.
Sudah dinanti
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, peraturan baru ini sudah dinanti-nanti sejak lama dan termasuk salah satu persoalan yang tertunda-tunda. Padahal, Sekolah Indonesia di Luar Negeri (SILN) membutuhkan kejelasan segera karena banyak anak-anak WNI yang tinggal di daerah-daerah perbatasan yang belum terlayani hak pendidikannya.
“November lalu saya ke CLC di Malaysia. Masih banyak anak WNI yang tinggal bersama orangtua dengan dinamika yang tinggi dan tidak mendapat pendidikan. Masih banyak yang harus kita lakukan,” ujarnya.
Saat ini terdapat 14 SILN yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat yang melayani lebih dari 3.000 murid berkewarganegaraan Indonesia. Ke-14 sekolah itu berada di Kuala Lumpur, Kota Kinabalu, Singapura, Davao, Bangkok, Yangon, Tokyo, Jeddah, Riyadh, Mekkah, Kairo, Den Haag, Moskowa, dan Beograd. Dari 14 sekolah itu, hanya ada satu sekolah yang berstatus sekolah internasional dan juga memiliki murid berkewarganegaraan Indonesia, yakni Sekolah Indonesia di Yangon, Myanmar.
Selain oleh SILN, penyelenggaraan pendidikan formal di luar negeri juga diberikan oleh pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang berada di Kota Kinabalu, Malaysia, dan Davao Filipina. Saat ini terdapat pula beberapa satuan penyelenggara pendidikan nonformal di luar negeri yang memberikan keterampilan tambahan bagi WNI yang tinggal di luar negeri, terutama tenaga kerja Indonesia (TKI) dan salah satunya berada di Singapura.
LUKI AULIA
Sumber: Kompas Siang | 15 Juli 2015