Teknologi pengolahan sampah telah berkembang sangat maju. Sampah bisa dijadikan sumber energi, dan air limbah diolah menjadi layak minum. Namun, kunci utama untuk mengatasi persoalan sampah adalah perubahan perilaku dan kesadaran untuk mengelola sampah dimulai dari sumbernya.
Belajar dari negara lain, seperti Jepang dan Jerman, upaya untuk mengubah perilaku warganya agar peduli lingkungan dilakukan dengan membangun sistem pemilahan sampah yang dimulai dari rumah.
“Di Jepang, pengelolaan sampah rumah tangga sudah sangat baku, yaitu harus dipilah sebelum membuangnya,” kata Abdul Muhari, ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang pernah lama belajar dan tinggal di Tohoku, Jepang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penduduk di Jepang biasanya memisahkan sampahnya ke dalam dua plastik bening dengan penanda hijau untuk sampah organik dan merah untuk sampah non-organik yang bisa di daur ulang. Sampah non-organik yang bersifat berbahaya, seperti baterai, tempat pembuangannya khusus.
Pengambilan sampah oleh petugas juga memiliki jadwal tersendiri untuk memastikan tak ada pencampuran jenis sampah. Selain itu, petugas sampah juga tak akan mengambil botol- botol plastik atau kaca bekas yang belum dibersihkan. Karena itu, orang Jepang biasanya mencuci botol-botol bekas yang hendak dibuang.
Untuk sampah perangkat rumah tinggal non-organik, seperti kulkas dan televisi yang masih bagus kondisinya, bisa dibuang di tempat pembuangan resmi dan nanti bisa diambil orang lain. Namun, untuk yang sudah rusak, pemiliknya harus membayar mahal untuk membuangnya. Alasannya, barang-barang itu butuh biaya dalam proses daur ulangnya.
Begitu kembali ke Indonesia dan tinggal di Jakarta, Muhari berupaya mempertahankan praktik memilah sampah. “Di rumah saya pisahkan kantong sampah organik dengan kantong sampah plastik,” katanya.
Masalahnya, upaya yang dilakukannya terasa sia-sia karena di truk sampah, sampah yang telah dipilih dicampur lagi. “Harusnya ada sistemnya,” kata Muhari.
Mengubah perilaku
Kesadaran warga memang tidak cukup, dibutuhkan sistem untuk mengubah perilaku warganya.
“Di Jerman sampah harus dipisahkan menjadi tiga kategori, yaitu plastik dan kertas, organik, dan kaca. Jika kita tidak memisahkan, dan ketahuan petugas pengumpul kolektor sampah, satu apartemen kena denda,” kata Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir KKP Widodo Setiyo Pranowo yang pernah tinggal dan belajar di Jerman.
Tak hanya menghukum pembuang sampah sembarangan, perubahan perilaku bisa dilakukan dengan memberikan ganjaran. Jerman merupakan contoh negara yang menerapkan hal ini. Warga yang mau menukarkan botol plastik bertanda tertentu akan mendapatkan kupon yang bisa dibelanjakan.
“Tahun 2010-an saat saya di sana, botol kecil (330 mililiter) bisa dapat 10 sen (euro) dan botol besar (2 liter) dapat 25 sen (euro),” kata Widodo.
Karena itu, Widodo pun kerap “memulung” botol bekas dan ditukarkan ke mesin otomatis dan akan mendapat kupon. Dari hasil menukar botol plastik setiap dua minggu sekali, Widodo bisa membeli telur satu kotak isi 12 butir, susu UHT, dan sayur. “Bisa untuk dimakan seminggu,” katanya.
Untuk mengurangi penggunaan plastik, menurut Widodo, Pemerintah Jerman menetapkan harga tinggi untuk kantong plastik, mencapai 2 euro (sekitar Rp 31.000) per kantong. “Kondisi ini membuat orang kalau belanja pasti bawa kantong sendiri dari rumah,” katanya.
Dengan menerapkan sistem pemilahan sampah tersebut, Jepang dan Jerman sukses mengolah sampahnya. Jepang sukses mendaur ulang lebih dari 50 persen sampahnya. Di Jerman, 87 persen dari total 50 juta ton sampah per tahun bisa didaur ulang, sisanya berakhir di pembakaran atau insinerator.
Auditor teknologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Yanto Sugiharto, mengatakan, dari aspek teknologi pengolahan sampah, sudah sangat banyak di pasaran. Bahkan, insinerator sudah bisa diproduksi di dalam negeri.
Namun, menurut pengajar Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Etty Riani, teknologi saja tidak akan bisa menyelesaikan persoalan sampah dan limbah di Indonesia. Aspek sosial ekonomi lebih dominan, termasuk juga bagaimana mengubah perilaku masyarakat agar menjadi lebih sadar lingkungan. Selain itu juga pentingnya penegakan hukum.
Sejumlah daerah sudah memiliki peraturan tentang larangan membuang sampah sembarangan. Di Jakarta, misalnya, ada Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang mengatur denda sebesar Rp 500.000 terhadap pembuang sampah sembarangan. Praktiknya, perda ini tak berlaku.
Terkait pembuangan limbah berbahaya, juga banyak peraturan yang mewajibkan industri mengolah limbahnya. Namun, hal ini juga tak diterapkan. Kajian Tarsoen Waryono, dosen Departemen Geografi Universitas Indonesia, pencemaran logam berat di sungai-sungai Jakarta terutama berasal dari pabrik-pabrik dan industri. Penegakan hukum yang lemah menjadi penyebab ini terus terjadi.
Pada dasarnya, perilaku membuang sampah sembarangan merupakan karakter dasar manusia. Nyatanya, masih banyak masyarakat yang memiliki sindrom not in my back yard (NIMBY), yang penting tidak mengotori halaman rumah sendiri. (Ahmad Arif)
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2017