Masih ingat dengan suara dengung dari langit yang menghebohkan di Condet, Jakarta Timur, pada September 2015 silam? Dari sejumlah rekaman video yang beredar di berbagai media sosial, dengungan itu terdengar mirip suara terompet atau deru pesawat.
Ketika itu, sejumlah orang menyakini dengungan itu adalah bunyi sangkakala, terompet penanda datangnya kiamat dalam sejumlah kepercayaan. Bahkan, sejumlah media daring mengaitkan sangkakala dengan model evolusi alam semesta yang bentuknya mirip terompet. Repotnya, informasi keliru itu justru dipercayai sejumlah pemuka agama yang menyebut alam semesta berbentuk terompet.
Fenomena serupa juga bermunculan di banyak negara. Suara dengung yang terdengar pun lebih beragam, seperti suara cerobong asap, ranting pohon yang berderak, desiran angin, hingga deru mobil. Bahkan, suara dengung itu juga terdengar di dasar laut. Namun, asal usul semua suara dengung itu tetap jadi misteri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari Bumi
Hal yang pasti, suara itu pasti berasal dari Bumi, bukan dari langit karena suara butuh medium untuk perambatan gelombang suara, termasuk udara. Masalahnya, luar angkasa adalah ruang hampa udara sehingga tidak mungkin ada suara yang merambat.
Lantas dari mana suara dengung itu berasal?
Sejak 1990-an, ahli kebumian sudah mengetahui bahwa Bumi bergetar secara konstan. Getaran itu dipicu oleh aktivitas mikroseismik yang dikenal dengan sebutan osilasi bebas. Getaran mikroseismik itulah yang menghasilkan dengung yang bisa dideteksi di darat menggunakan seismometer, alat pendeteksi dan perekam getaran.
Sebagian besar gerakan di bawah tanah memang sangat lemah sehingga tidak bisa dirasakan manusia. Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) seperti dikutip Livescience, Senin (11/12), memperkirakan ada sekitar 500.000 gempa bumi setiap tahun. Dari jumlah itu, hanya 100.000 gempa yang cukup bisa dirasakan dan sekitar 100 gempa yang menimbulkan kerusakan.
Di masa jeda antargempa pun Bumi tetap bergetar sangat lemah. Itulah getaran mikroseismik.
Selama bertahun-tahun, para ahli berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan getaran mikroseismik yang berlangsung secara terus-menerus itu. Sejumlah ahli menduga irama ombak dan arus yang merambat hingga dasar lautlah yang bertanggung jawab memicu getaran itu. Sementara ahli lain menilai tabrakan antargelombang lautlah yang menimbulkan getaran.
Pada 2015, para ahli sepakat gelombang dan arus lautlah yang menjadi pemicu getaran mikroseismik itu.
Jika getaran mikroseismik yang memicu dengung di daratan bisa diukur, dengung di dasar laut masih jadi tantangan. Studi yang dilakukan M Deen dan kawan-kawan dari Institut Fisika Bumi Paris Perancis dan dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters pada 14 November lalu mampu membuktikan untuk pertama kali keberadaan dengung di dasar laut.
Observasi itu dilakukan dengan menggunakan seismometer khusus yang dijatuhkan ke dasar Samudra Hindia di sekitar Pulau La Reunion di timur Madagaskar. Sebanyak 57 seismometer itu diletakkan di wilayah seluas 2.000 kilometer persegi antara September 2012-November 2013.
HTTPS://WWW.GOOGLE.CO.ID/MAPS/@-18.7178037,50.8470781,6Z?HL=ID&HL=ID–Pulau Reunion
Data seismometer yang diperoleh itu kemudian disaring untuk dikurangi dengan suara gangguan hingga diperoleh suara dengung yang bebas dari suara bising yang dihasilkan oleh gelombang dan arus di dasar laut. Hasilnya, diperoleh gelombang suara dengung yang konsisten selama 11 bulan.
Puncak dari gelombang suara dengung itu juga sangat jelas dengan amplitudo sama suara dengung yang direkam di dataran Aljazair. Puncak gelombang dengung di bawah laut itu berkisar 2,9-4,5 milihertz . Itu berari, frekuensi suara dengung 10.000 kali lebih rendah dibandingkan batas terendah frekuensi suara yang mampu di dengar manusia, yaitu 20 hertz.
Terdeteksinya suara dengung di dasar laut untuk pertama kali ini memecahkan misteri yang lama tersimpan. Namun, manfaat temuan ini ternyata jauh lebih luas dari sekadar membuktikan adanya dengung di dasar laut secara ilmiah. Temuan ini membuka jalan bagi para ilmuwan untuk memetakan bagian dalam Bumi.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 14 Desember 2017