Beras berevolusi bersama manusia sejak pertama kali didomestifikasi di China sekitar 9.000 tahun lalu. Dengan mengurutkan genom padi dari berbagai dunia, kita bisa melihat riwayat penyebaran hingga kedatangannya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO—Sejumlah petani bekerja di sawah yang menggunakan sistem irigasi subak, di Tegalalang, Ubud, Bali, pada tahun 2013. Subak merupakan tradisi dari kultur Austronesia.
Padi (Oryza sativa) merupakan salah satu tanaman pangan penting yang menyediakan lebih dari 20 persen kalori untuk separuh penduduk Bumi. Besarnya konsumsi beras ini tidak bisa dilepaskan dari luasnya penyebaran tanaman ini, yang mencakup zona tropis, hingga subtropis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanaman padi biasanya dikelompokkan ke dalam kelompok japonica dan indica. Berdasarkan jejak arkeologi, padi japonica pertama kali didomestifikasi di Lembah Yangtze, China bagian selatan, sekitar 9.000 tahun lalu. Sementara itu, padi indica mulai dibudidayakan di lembah Sungai Gangga sekitar 5.000 tahun lalu. Di Indonesia sendiri ada jenis padi javanica, namun IRRI memasukkannya sebagai varian japonica yang beradaptasi di kawasan tropis.
Riset genomik terbaru dari para peneliti di New York University (NYU) Center for Genomics and Systems Biology menunjukkan, diversifikasi padi japonica hingga menyebar luas ke daerah lintang tinggi di Asia Timur dan kawasan tropis di Nusantara—hingga menjadi varian javanica itu—terjadi selama masa pendinginan global sekitar 4.200 tahun lalu. Hasil kajian itu dipublikasikan di jurnal Nature Plant pada 15 Mei 2020.
Dalam studi ini, para peneliti merekonstruksi pergerakan historis beras di seluruh Asia menggunakan urutan genom lebih dari 1.400 varietas padi, termasuk varietas japonica dan indica, dua subspesies utama beras Asia. Kajian kemudian dilengkapi dengan geografi, arkeologi, dan data perubahan iklim di masa lalu.
Dengan menelusuri data genom ini, para peneliti menyimpulkan, hingga 4.000 tahun pertama sejak didomestifikasi, padi japonica ini hanya ada di China. Hingga kemudian terjadi pendinginan global sekitar 4.200 tahun yang lalu atau kerap dikenal sebagai epos 4.2k.
Mendinginnya suhu di penanggalan geologi Holocene ini mencipta kekeringan di sebagian wilayah dan menyebabkan mundurnya peradaban Mesopotamia, Mesir, hingga Lembah Yangtze. Pada saat itulah diperkirakan terjadi migrasi manusia dari kawasan China ke berbagai penjuru, di antaranya ke wilayah utara hingga Korea dan Jepang, selain juga bermigrasi ke selatan ke Kepulauan Asia Tenggara, termasuk Nusantara.
Migrasi ini diduga membawa padi japonica, yang kemudian terdiversifikasi menjadi varietas padi beriklim subtropis dan tropis. Varietas padi beriklim sedang berkembang menyebar di China bagian utara, Korea, dan Jepang, sedangkan varietas tropis menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan kemudian variannya menjadi javanica.
“Data genom kami, serta pemodelan paleoklimat, menunjukkan bahwa peristiwa pendinginan terjadi pada saat yang sama dengan munculnya japonica beriklim sedang dan migrasi pertanian padi dan komunitas petani ke Asia Tenggara,” ungkap Rafal M Gutaker, penulis utama studi tersebut dari NYU.
Temuan ini, menurut Gutaker, didukung data tinggalan beras yang digali dari sejumlah situs arkeologis di Asia. “Terlihat bahwa setelah peristiwa 4.2k, beras tropis bermigrasi ke selatan sementara beras juga beradaptasi dengan garis lintang utara sebagai varietas beriklim sedang,” kata Michael D Purugganan, dari tim peneliti NYU.
Setelah fenomena pendinginan global, padi tropis japonica ini terus mengalami diversifikasi. Tanaman ini terutama tersebar luas di pulau-pulau di Asia Tenggara sekitar 2.500 tahun yang lalu, seiring dengan tumbuhnya jaringan perdagangan.
Sementara itu, padi indica ini didomestifkasi pertama kali di Lembah Gangga, India sekitar 4.000 tahun yang lalu. Hingga 2000 tahun kemudian dibawa ke China dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, di era perdagangan.
Berkembang di Nusantara
Secara arkeologis, jejak padi di Nusantara sejak ribuan tahun lalu memang masih samar. Sejumlah bukti tertua di antaranya ditemukan jejak sekam padi di situs perapian di gua Maros, Sulawesi Selatan yang bertanggal sekitar 500 M (Glover 1985), dan Paz (2005) menemukan jejak padi berumur 2000 SM dari lokasi yang sama.
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sony Wibisono mengatakan, selain ditemukan di relief candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, jejak sekam padi juga ditemukan di situs bata Candi Batujaya, Karawang dari abad ke-7 hingga 13 Masehi. Sekam padi bersia sekitar 800 SM juga ditemukan di Bali utara. “Jejak padi di Nusantara jauh lebih tua dari ini, tetapi bukti-bukti arkeologinya terbatas,” tuturnya.
Riset genom dari NYU ini menjadi bukti sebaran padi ke Nusantara sejak 4.200 tahun lalu. Ini sejalan dengan riset ahli genetika dari University of Cambridge, Eske Willerslev di jurnal Science pada 2018.
Dengan mengurutkan DNA fosil manusia kuno, Eske menyimpulkan, populasi di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, berasal dari pembauran genetika antara pemburu-peramu dan petani padi dari Lembah Yangtze. Sebagian petani padi ini bermigrasi ke Taiwan dan jadi leluhur Austronesia.
Sebagian lain bermigrasi ke selatan dan berbaur dengan para pemburu-peramu Hoabinhian yang lebih awal menghuni area ini. Para pendatang ini kemudian mengenalkan budaya bercocok tanam padi—kemungkinan fase awal ialah budidaya padi ladang.
Selain migrasi awal 4.000-4.500 tahun lalu, gelombang migrasi petani padi dari utara ke selatan terjadi 2.000 tahun lalu, membawa teknologi dan teknik budidaya padi lebih maju. Pada periode yang sama, juga datang orang-orang dari India yang membawa benih padi indica dan teknik budi daya padi sawah.
Berada di silang geografis, selain menjadi melting pot genetik manusia, Nusantara juga menjadi tempat pertemuan dua jenis padi utama dunia, yaitu japonica tropis atau javanica dan indica. Javanika dikenal berumur panjang, postur tinggi, lemmanya memiliki “ekor” atau “bulu” dan nasinya pulen. Sedangkan padi indica, umumnya berumur pendek, lebih kecil, lemmanya tidak ber-“bulu”, dan bulir cenderung oval dan tidak lengket.
“Sekalipun tanaman padi memang bukan asli Indonesia, adaptasinya sudah panjang dan kekayaan hayati kita luar biasa. Ini juga menyebabkan, kita memiliki sumbangan penting bagi benih unggul padi di dunia,” kata Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementerian Pertanian Mastur.
Salah satu kontribusi itu adalah lahirnya kultivar padai “IR8”, yang merupakan hasil seleksi dari persilangan japonica kultivar ‘Deegeowoogen’ dari Formosa dengan indica kultivar Peta dari Indonesia. “Sejak tahun 2000-an, para ahli padi dunia juga mengembangkan padi unggul dengan indukan padi javanica kultivar dari Banyuwangi yang dikenal memiliki malai banyak,” kata Mastur.
Indonesia memang kaya sumber hayati, namun seperti diingatkan Mastur, padi bukanlah satu-satunya sumber pangan negeri ini. Bahkan, jika merunut asal-usulnya, padi merupakan tanaman pendatang yang baru datang belakangan.
Makanan asli Nusantara, sebelum padi yang sudah beradaptasi lebih lama di negeri ini berupa aneka ragam umbi-umbian, sukun, pisang, dan juga sagu. Aneka ragam tanaman pangan ini merupakan sumber pangan penting leluhur, yang seharusnya kembali dikembangkan, di saat tanaman padi saat ini menghadapi berbagai tantangan, di antaranya perubahan iklim.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 28 Mei 2020