Penemuan tumor berukuran kurang dari 4 milimeter pada pasien Ibu Setiawan oleh dokter Ario Djatmiko menjadi sejarah penanganan kanker payudara di Indonesia. Tumor mini berupa gambaran bintik-bintik perkapuran dalam foto mamografi pasien itu kemungkinan memiliki sifat ganas.
Benjolan harus dicabut dengan operasi dan diperiksa di laboratorium untuk mengetahui tingkat “ancaman jahat” bagi pasien.
“Saya berterima kasih kepada pasien karena membawa sejarah baru di Indonesia dalam penanganan kanker payudara,” ujar Djatmiko yang lebih senang disapa dengan dokter Mik. Dokter Mik ahli bedah kanker payudara dari Rumah Sakit Onkologi Surabaya (RSOS), Jawa Timur. Kami berbincang di sela kesibukannya, Jumat (31/1/2020) sore.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
–Foto-foto Kompas, Ambrosius Harto
Peristiwa bersejarah 29 tahun lalu itu tetap membekas dalam ingatan dokter Mik. Untuk pertama kali, di Indonesia, tim dokter mampu menemukan lalu menangani kanker payudara dalam ukuran mini. Penanganan dini terhadap kanker membantu pasien selamat dari ancaman kematian. Keberhasilan tadi memelihara dan menggelorakan semangat Djatmiko untuk berbakti di jalan kesehatan, terutama menyelamatkan Para pasien kanker payudara.
Menjadi dokter adalah jalan hidup adik dari Makarim Wibisono dan kembaran dr Ario Djatmoko alias dokter Mok ini. Selepas menamatkan pendidikan di SMA Negeri 3 Yogyakarta, Si Kembar harus pulang ke tanah kelahiran di Lombok Nusa Tenggara Barat.
Ayahanda, Sumantri Wirokusumo, sakit keras dan ekonomi keluarga di tepi jurang. Ibunda, Onnie Muawanah, menyerahkan uang kepada Si Kembar untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Jawa. Saat menunggu ayahanda opname di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, Mik dan Mok tersadar bahwa sakit merupakan pukulan dan beban berat bagi keluarga. Untuk itu, mereka atau setidaknya salah satu harus jadi dokter.
Si Kembar kemudian diterima dan lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Dokter Mik kemudian memilih menjadi ahli bedah kanker, khususnya payudara. Tak bisa ditampik, latar belakang keputusan menjadi ahli bedah kanker payudara terutama karena ibunda tercinta terkena kanker payudara pada 1974. Dokter Mik mengambil pendidikan subspesialis bedah onkologi di Academish Ziekenhuis Groningen (AZG), Belanda, 1983-1984.
Dokter Mik ingat betul, dokter-dokter AZG memiliki budaya mulia. Mereka selalu berkumpul untuk mendiskusikan secara detail kondisi setiap pasien yang sedang ditangani. Ada budaya ilmiah dan keterbukaan sebagai dasar pelayanan medik terbaik demi ketenteraman pasien.
Wejangan sang guru, Prof J Oldhoff, selalu diingat dan dijalankan, yakni terbuka, kerja tim, tanggung jawab, dan percaya diri. Pengalaman itu disempurnakan dengan pendidikan breast training di An-toni van Leeuwenhoek Nederlands Kanker Instituut di Amsterdam, Belanda, 1991.
Integrasi
Pulang dari “Negeri Tulip”, dokter Mik membawa oleh-oleh perubahan mendasar pada penanganan kanker payudara Ia menyimpulkan, keputusan medik terhadap pasien harus berdasarkan bukti sahih. Kualitas terbaik hanya dapat dihasilkan melalui kerja tim terbaik. Performa, pengetahuan, dan kepakaran tim ahli harus terukur dan berkembang. Kejujuran ilmiah dan keterbukaan antar-anggota tim dengan pasien dan keluarga pasien merupakan kunci keberhasilan penanganan kesehatan.
Semangat tadi yang menurut Djatmiko, kelahiran Mataram, Lombok, 7 April 1950, mampu mendorongnya dan tim dokter membuat sejarah penemuan tumor payudara terkecil pada November 1991.
Budaya mulia seperti dilihat dan dialarni di Groningen terus dipelihara oleh Djatmiko bersama tim dokter RSOS. Lebih terang, prosedur deteksi dini, diagnostik, dan terapi dilaksanakan secara intensif dan terpadu di RSOS. Untuk radioterapi, bekerja sama dengan pusat radioterapi di Surabaya.
Di RSOS ada dewan tumor, di mana tim dokter duduk bersama mencari solusi terbaik dan memantau tindakan medik setiap pasien. Dengan demikian, ada kendali mutu dan biaya serta pelayanan yang humanistis.
–Foto-foto Kompas, Ambrosius Harto
Kanker adalah penyakit mematikan. Betapa seram alias angker serangan penyakit berupa tumor yang kemudian melurnpuhkan, bahkan mematikan, jaringan saraf, organ, lalu kehidupan individu. Kendati demikian, penyakit ini ternyata bisa disembuhkan. Singkat kata, kanker memang angker, tetapi bisa dicabut dari “bungker” pasien dan dibinasakan.
Namun, jika ingin menjinakkan keangkeran kanker, pasien atau individu harus datang pada saat dan tempat yang tepat. Djatmiko menegaskan, penyakit ini tidak memberi gejala di awal. Misalnya, muncul benjolan pada tubuh dan tidak menimbulkan rasa nyeri atau tak nyaman sehingga hampir selalu diabaikan.
“Penyadaran publik tentang kewaspadaan terhadap kanker menjadi penting”, ujar Djatmiko. Untuk itulah, satu dasawarsa setelah mendirikan Klinik Onkologi Surabaya, dokter Mik mendorong mantan-mantan pasiennya membentuk Reach to Recovery Surabaya (RRS) pada 21 Mei 2005.
RRS merupakan kelompok khusus pendukung bagi penderita kanker payudara untuk memberikan dukungan psikologis, emosional, dan informasi kepada pasien dan keluarga. Dengan begitu, pasien dan keluarga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam penanganan kanker dan termovitasi untuk sembuh.
Djatmiko melalui Ikatan Dokter Indonesia dan Yayasan Kanker Indonesia mengupayakan pendirian pusat-pusat penanganan kanker terpadu. Penanganan kanker tidak bisa lagi dilakukan di rumah sakit umum, tetapi di tempat khusus. Di Jawa Timur yang berpenduduk 40 juta jiwa dan tersebar di 38 kabupaten/kota diperlukan 155 pusat penanganan kanker. Keberadaan pusat-pusat ini disesuaikan dengan jumlah penduduk di suatu daerah. Surabaya, misalnya, yang berpenduduk 3,1 juta jiwa perlu lebih dari 20 pusat penanganan kanker.
Di hadapan kanker, dokter Mik adalah sosok yang lebih angker. Namun, untuk sesamanya, Djatmiko menolak angker. Kecerdasan putra kelahiran Lombok yang semasa kecil kerap menghabiskan waktu menikmati senja di Pantai Ampenan ini bukan sekadar dalam menyelamatkan nyawa pasien kanker payudara. Jiwa-jiwa manusia coba diselamatkannya lewat jalan penulisan dan bermusik.
Dokter Mik adalah sosok yang rajin menulis. Buku berjudul Dilema Bangsaku Pandangan Seorang Dokter adalah bukti kepiawaian Djatmiko dalam mendaraskan gagasan bermutu bagi perkembangan kedokteran dan dunia kesehatan Nusantara.
Tidak hanya menulis, dokter Mik juga piawai bermusik. Lewat betotan bas, Djatmiko adalah motor dr Mik’n the Blues Project. Baginya, menulis dan bermusik adalah “kanker”, tetapi begitu positif dalam meningkatkan kualitas kehidupan diri. Karya-karya dewa blues seperti BB King bukan sekadar menu latihan atau pentas, melainkan semangat yang menguatkan diri Djatmiko untuk bertempur melawan kanker. Dokter Mik juga sangat mengagumi komposisi Eric Clapton dan The Yard-birds.
Ario Djatmiko
Lahir : Mataram, 7 April 1950
Pendidikan:
– SMA Negeri 3 Yogyakarta
– Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, 1976
– Spesialis Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, 1982
– Subspesialis Bedah Onkologi Academish Ziekenhuis Groningen 1985
– Training Breast Cancer Management Antonii van Leeuwenhoekhuis Nederlands Kanker Instituut 1991
Istri: Alia Wahyuna Djatmiko (Lia)
Aktivitas:
– Pengajar Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
– Pendiri Rumah Sakit Onkologi Surabaya
– Pendiri Reach to Recovery Surabaya
Oleh: Ambrosius Harto & Agnes Swetta Pandia
Sumber: Kompas, 12 Februari 2020