Bulu anjing peliharaan sering dikaitkan sebagai penyebab alergi bagi penderitanya, terutama penderita asma. Namun, penelitian di Swedia menunjukkan, anjing betina berisiko lebih rendah menyebabkan alergi dibandingkan anjing jantan.
KOMPAS/LASTI KURNIA (LKS)–Pencinta anjing yang tergabung di kelompok Jakarta Dog Lover berpiknik dengan anjing peliharaan mereka di Taman Hutan Kota Srengseng, Kebun Jeruk, Jakarta, Minggu (8/2/2015).
Penelitian berjudul “Karakteristik Anjing dan Risiko Masa Depan Asma pada Anak-Anak yang Tumbuh dengan Anjing” itu dimuat dalam jurnal Scientific Reports edisi 15 November 2018 yang juga dipublikasikan sciencedaily.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelitian dilakukan oleh tim ilmuwan seperti Catarina Almqvist dari Institut Karolinska, Stockholm, Swedia, dan Tove Fall dari Universitas Uppsala, Swedia.
KOMPAS/RIZA FATHONI (RZF)–Para penggemar anjing biasa bekumpul di Taman Semanggi, Jakarta setiap Minggu (21/2/2015).
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan hubungan antara tumbuh bersama anjing dan risiko rendah asma masa kanak-kanak, tetapi belum diketahui apakah hubungan ini dimodifikasi oleh karakteristik anjing.
Dalam studi baru ini, para peneliti telah mendalami bagaimana variabel seperti jenis kelamin, perkembangbiakan, jumlah anjing, atau ukuran anjing dikaitkan dengan risiko asma dan alergi di antara anak-anak yang dibesarkan di rumah dengan anjing selama tahun pertama kehidupan mereka.
–Pameran anjing di Bandung beberapa waktu lalu.
Penelitian ini mencakup 23.600 anak yang lahir di Swedia dari 1 Januari 2001 hingga 31 Desember 2004 yang memiliki anjing di rumah mereka selama tahun pertama kehidupan. Anjing-anjing itu diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, berkembang biak, jumlah, ukuran, dan hipoalergenik.
Anjing hipoalergenik adalah jenis anjing yang diduga tidak menyebabkan alergi. Beberapa jenis anjing yang diduga hipoalergenik yang populer di Indonesia adalah maltese, shih tzu, terrier, poodle, samoyed, dan chihuahua.
Para peneliti kemudian mempelajari hubungan antara karakteristik anjing dan risiko asma dan diagnosis alergi atau resep obat asma atau alergi pada usia enam tahun.
KOMPAS/INGKI RINALDI (INK)–Sebagian anggota Komunitas Himpunan Trah Anjing Kintamani Bali, Sabtu (19/3/2016) di sela-sela FCI Asia Pacific Section Dog Show 2016 di Ecovention, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi asma pada usia enam tahun adalah 5,4 persen. Anak-anak dengan peliharaan hanya anjing betina di rumah memiliki risiko 16 persen lebih rendah menderita asma daripada mereka yang dibesarkan dengan anjing jantan. Namun, hidup dengan anjing jantan tidak berkorelasi dengan risiko yang lebih tinggi daripada hidup tanpa anjing sama sekali. Anak-anak yang hidup dengan dua atau lebih anjing memiliki 21 persen lebih rendah risiko asma daripada mereka yang hanya hidup dengan satu anjing.
“Jenis kelamin anjing dapat mempengaruhi jumlah alergen yang dilepaskan. Kita tahu bahwa anjing jantan lebih banyak mengekspresikan alergen tertentu daripada anjing yang dikebiri dan anjing betina,” kata Tove Fall.
KOMPAS/RIZA FATHONI (RZF)–Para penggemar anjing biasa bekumpul di Taman Semanggi, Jakarta setiap Minggu (21/2/2015).
Anak-anak dari orangtua dengan asma/alergi lebih sering memiliki anjing hipoalergenik (11,7 persen) daripada anak-anak dari orang tua tanpa asma/alergi (7,6 persen). Paparan jenis anjing ini dikaitkan dengan 27 persen lebih tinggi risiko alergi tetapi tidak ada peningkatan risiko asma.
“Beberapa jenis anjing dijelaskan secara anekdot sebagai hipoalergenik atau ramah alergi dan dikatakan lebih cocok untuk orang-orang dengan alergi, tetapi tidak ada bukti ilmiah untuk ini,” tutur Tove Fall.
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH (DOE)–Para penyayang anjing berkumpul di acara My Furry Valentine, Minggu (15/2/2015) di Taman Langsat, Jakarta Selatan.
Catarina Almqvist mengatakan, penjelasan yang mungkin untuk risiko yang lebih tinggi ini adalah bahwa keluarga dengan riwayat alergi terhadap hewan peliharaan berbulu lebih sering memilih anjing-anjing hipoalergenik ini, dan juga bahwa anjing-anjing yang disebut menyebab alergi tidak melepaskan lebih sedikit alergen.
“Penemuan ini harus diperlakukan dengan hati-hati karena kami tidak dapat mengatakan apa pun tentang sebab-akibat yang sebenarnya. Lebih banyak penelitian diperlukan untuk memantau perbedaan dari waktu ke waktu, mengukur risiko alergi menggunakan biomarker, dan memperhitungkan mikroflora,” kata Catarina Almqvist.–SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 16 November 2018