Selama tiga tahun kepemimpinannya, Wali Kota Bogota, Kolombia, Enrique Penalosa (1998-2001) sukses memaksa warga kotanya meninggalkan kendaraan pribadi dengan menyediakan sistem bus rapid transit Trans Millenio. Publikasi Land Transport Authority Journey Singapura pada November 2014 menunjukkan pengguna transportasi publik di Bogota mencapai 62 persen dari total 6,8 juta penduduk kota tersebut.
Pengadaan angkutan massal memang menjadi kebutuhan mendesak di kawasan perkotaan, termasuk di Indonesia. Dalam rapat terbatas tanggal 25 Februari 2015, Presiden Joko Widodo juga menginstruksikan kota-kota besar di Indonesia segera memulai pembangunan infrastruktur transportasi massal. Sedemikian pentingnya angkutan massal perkotaan, hal ini juga dimasukkan sebagai satu dari 12 agenda sektor prioritas pembangunan infrastruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Angkutan massal perkotaan di Indonesia kian dibutuhkan karena urbanisasi ke kota yang tak bisa dicegah. Wilayah pedesaan akan terus ditinggalkan orang dan perkotaan akan semakin didambakan. Mengacu pada proyeksi Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 65 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2030. Bank Dunia pun memprediksi sebanyak 68 persen dari populasi Indonesia bakal memadati wilayah perkotaan pada 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Proyeksi urbanisasi perlu disikapi serius mengingat tren pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia termasuk tinggi. Dalam laporan bertajuk East Asia’s Changing Urban Landscape: Measuring a Decade of a Spatial Growth, Bank Dunia menunjukkan tingginya tingkat urbanisasi Indonesia di antara negara Asia. Rata-rata pertumbuhan urbanisasi Indonesia 4,4 persen per tahun pada 1960-2013. Sementara negara lain seperti Tiongkok, Filipina, dan India, pertumbuhan kaum urban masing-masing 3,6 persen, 3,4 persen, dan 3 persen setiap tahun.
Dari kerangka waktu, proyeksi-proyeksi ini menunjukkan bahwa ancaman kepadatan penduduk perkotaan sudah di depan mata. Hanya dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun ke depan, transportasi massal di kota-kota seluruh Indonesia perlu segera diwujudkan.
Jika transportasi massal yang andal tak juga terwujud, pemakaian kendaraan pribadi terus meningkat. Imbasnya, kepadatan di jalan raya akan semakin tinggi dan kemacetan parah tak bisa dihindari. Padahal, saat ini lalu lintas di beberapa kota besar sudah mengkhawatirkan.
Publikasi Kementerian Perhubungan tahun 2014 menunjukkan, 10 kota, yakni Bogor, Bandung, Jakarta, Surabaya, Depok, Bekasi, Tangerang, Medan, Makassar, dan Semarang, tercatat sebagai kota termacet di Indonesia. Kecepatan rata-rata kendaraan di 10 kota tersebut hanya 15,32 km/jam hingga maksimal 27 km/jam.
Problemnya, kemacetan menimbulkan rentetan dampak ikutan, yakni kerugian sosial ekonomi. Salah satu contohnya Jakarta yang diperkirakan mengalami kerugian akibat kemacetan senilai Rp 68,2 triliun per tahun.
Sebanyak Rp 38,5 triliun adalah nilai kerugian karena penyakit dari polusi udara, ditambah kerugian dari sisi penggunaan bahan bakar minyak senilai Rp 29,7 triliun. Angka itu belum termasuk biaya sosial dan psikologis yang harus ditanggung warga akibat pemborosan waktu tempuh beraktivitas. Hitungan ini baru Jakarta, belum ditambahkan kerugian di kota-kota lain yang tak kecil. (BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2015, di halaman 17 dengan judul “Angkutan Massal”.