Anemia gizi merupakan masalah gizi yang cukup banyak dialami remaja Indonesia, terutama pada remaja putri. Tanda-tandanya sering merasa lesu, lemah, letih, lelah, pusing dan mata berkunang-kunang serta mata menjadi pucat
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Salah satu siwa SMAN 78 Jakarta menunjukkan tablet tambah darah yang digunakan untuk mencegah terjadinya anemia pada remaja.
Hari semakin siang. Sinar matahari yang semakin terik membuat mata Alisya Rachel mengernyit. Topi abu-abu berlogo Tut Wuri Handayani yang dikenakan siswi SMAN 78 Jakarta itu tak lagi mampu menahan sengatan sinar matahari. Pandangan remaja berusia 17 tahun itu mulai buram. Tubuhnya lemas. “Rasanya mau pingsan,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak hanya Rachel, ada 15 anak perempuan yang juga lemas dan terpaksa menyingkir ke barisan belakang saat upacara peringatan Hari Pahlawan diselenggarakan pada Senin (11/11/2019). Dua anak di antaranya bahkan pingsan.
Maria (17), anggota palang merah remaja yang kali itu bertugas mengatakan, sebagian besar murid yang lemas belum sarapan dari rumah. “Sudah biasa (lemas) kalau upacara. Pasti ada anak yang pingsan. Apalagi kalau panas. Kadang kalau ada pelajaran olahraga juga ada yang lemas,” ucapnya.
Lemas, lesu, hingga pingsan saat upacara dianggap sebagai hal biasa. Tidak sarapan pun menjadi alasan yang lumrah. Padahal, pemenuhan gizi di pagi hari dengan gizi seimbang sangat penting bagi kebutuhan tubuh anak usia sekolah dalam menjalankan aktivitas seharian.
Jika kebiasaan kurangnya pemenuhan gizi ini terus berlangsung, kondisi malanutrisi atau tidak mendapatkan asupan gizi cukup bisa terjadi. Malnutrisi bisa menyebabkan beberapa penyakit, salah satunya anemia.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Suasana kantin sekolah SMAN 78 Jakarta ketika waktu istirahat berlangsung. Mayoritas warung yang tersedia di kantin ini menjual minuman kemasan dan makanan yang diolah dengan digoreng.
Anemia gizi merupakan masalah gizi yang cukup banyak dialami remaja Indonesia, terutama pada remaja putri. Tanda-tandanya sering merasa lesu, lemah, letih, lelah, pusing dan mata berkunang-kunang, serta kelopak mata, bibir, lidah, dan telapak tangan menjadi pucat.
Dampak bagi kesehatan
Dampak jangka pendek dapat menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar, mengganggu pertumbuhan, serta menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit. Jika tidak ada intervensi sejak dini dampak jangka panjangnya dapat berlanjut menjadi seorang ibu yang anemia.
Dokter spesialis gizi klinik yang juga Kepala Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Nurul Ratna Mutu Manikam menjelaskan, ibu yang mengalami anemia berisiko memiliki anak dengan anemia, melahirkan seperti bayi dengan berat badan lahir rendah, dan mengalami perdarahan yang bisa memicu kematian.
“Anemia tidak hanya berdampak bagi dirinya sendiri, namun juga keturunannya kelak. Apabila tidak segera ditangani dengan serius, kualitas sumber daya manusia lintas generasi bisa terancam,” ungkapnya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Dokter Spesialis Gizi Klinik yang juga Kepala Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Nurul Ratna Mutu Manikam
Masalah ini makin serius karena jumlah remaja putri yang menderita anemia amat besar. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi anemia pada usia 15-24 tahun sebesar 32 persen. Jumlah itu meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 2013 sebesar 18,4 persen. Angka itu amat tinggi sebab menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka kasus anemia 10 persen dari populasi sudah dinilai tinggi.
Dampak anemia pada remaja makin mengkhawatirkan karena jumlah perkawinan anak di Indonesia masih tinggi. Semakin muda usia perkawinan, risiko anemia kian besar. Dari data Riskesdas 2018, prevalensi anemia pada ibu hamil usia 15-24 mencapai 84,6 persen. Risiko ini tidak hanya mengancam calon ibu, tetapi juga janin yang dikandungnya.
Konsumsi makanan
Anemia gizi sangat dipengaruhi karena kurangnya konsumsi sumber zat besi yang berasal dari makanan. Zat besi bisa didapatkan dari daging merah, hati sapi, kacang-kacangan, dan sayuran hijau. Zat besi dalam daging merah dan hati yang paling baik diserap oleh tubuh.
Meski demikian, remaja dianjurkan mengonsumsi makanan bergizi seimbang. Sebab, penyerapan zat besi sangat bergantung pada kandungan lain dalam makanan. Faktor pemicu penyerapan dapat diperoleh dari konsumsi sayur dan buah yang kaya akan vitamin C. Sementara, faktor penghambat penyerapan zat besi berupa minuman berkafein seperti kopi, minuman bersoda, serta teh.
Masalahnya, remaja saat ini sering mengonsumsi minuman manis yang menghambat penyerapan zat besi dibanding makanan yang memicu penyerapan tersebut. Anya (16) misalnya, siswi SMA yang tinggal di Jakarta ini hampir tiap hari mengonsumsi minuman mengandung kopi. Kemudahan membeli dengan aplikasi di telepon pintar ditambah dengan iming-iming promo untuk dipilih.
Jika dibandingkan dengan konsumsi buah dan sayur, Anya menyatakan, “Kalau makan sayur paling tiga kali seminggu. Aku memang enggak suka sayur, kalau makan juga paling bayam, kangkung, pokoknya yang rasanya netral. Mama juga enggak pernah maksa.”
Anya bisa menjadi gambaran sebagian besar remaja saat ini. Riskesdas 2018 mencatat, proporsi konsumsi buah atau pun sayur per hari dalam seminggu pada usia 15-19 tahun lebih dari lima porsi sesuai anjuran WHO hanya 3,6 persen. Gambaran serupa juga terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun sebesar 4,3 persen. Sekitar 70 persen di antaranya mengonsumsi sayur dan buah hanya 1-2 porsi per hari dalam seminggu.
ANTARA/RAHMAD–Petugas medis rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Aceh Utara memeriksa kesehatan warga korban banjir di Desa Bungong, Pirak Timu, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, Selasa (9/1/2018). Pengobatan gratis itu untuk warga korban banjir terutama lansia, anak-anak dan balita yang mayoritas diserang penyakit, flu dan batuk, demam, gatal-gatal, dehidrasi dan kurang darah atau anemia.
Masalah malnutrisi pada remaja perempuan seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Pasalnya, remaja yang kini berusia 10-19 tahun akan berusia 26-35 tahun pada 2035. Tahun itu digadang-gadang menjadi awal puncak bonus demografi. Artinya, para remaja ini nanti sudah menginjak usia produktif dan siap untuk melahirkan serta memiliki anak.
Belum prioritas
Namun, sebagian besar remaja kini justru tidak memiliki bekal yang optimal sebagai generasi emas saat Indonesia menghadapi bonus demografi nanti. Masalah gizi yang kompleks, termasuk anemia yang nyata dihadapi saat ini seharusnya menjadi peringatan agar remaja menjadi prioritas dalam intervensi.
Namun, hal itu belum dilakukan. Setidaknya dalam empat prioritas Presiden di bidang kesehatan yang sering diungkapkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, remaja tidak langsung disebutkan di dalamnya. Prioritas itu yakni, menurunkan angka stunting atau tengkes, menyelesaikan persoalan Jaminan Kesehatan Nasional, mengatasi harga obat dan alat kesehatan yang tinggi, serta meningkatkan penggunaan alat kesehatan dalam negeri.
Kepala Subdirektorat Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja Kementerian Kesehatan, Wara Pertiwi pun mengakui jika remaja belum menjadi prioritas dalam program pemerintah. Koordinasi antar kementerian dan lembaga juga masih berjalan sendiri-sendiri. Hanya program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang sudah dikerjakan bersama empat kementerian lembaga, yakni Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Kepala Subdirektorat Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja Kementerian Kesehatan, Wara Pertiwi
“Remaja belum mendapatkan perhatian optimal sementara masalahnya cukup kompleks. Selama ini program banyak merujuk pada ibu dan anak. Sejumlah pihak memasukkan remaja sebagai anak, padahal tak bisa disamakan,” ujarnya.
Tanpa intervensi menyeluruh dan berkelanjutan, masalah gizi akan terus mengancam masa depan bangsa. Ironi jika remaja yang diharapkan menopang perekonomian bangsa malah tak diselamatkan lebih dulu. Jika kondisinya tetap seperti ini, kecemasan hilangnya satu generasi akan terus menghantui Indonesia.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor KHAERUDIN KHAERUDIN, EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 20 November 2019