Sebagian penderita infeksi virus korona baru tidak mengalami gejala. Belum dipastikan apakah pasien dengan infeksi asimptomatik ini bisa menularkan virus itu. Jika itu terjadi, penangkalan virus itu bakal lebih sulit.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI–Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan Palu, Sulawesi Tengah, memeriksa suhu tubuh penumpang pesawat di Bandara Mutiara Sis Aljufri Palu, Sulteng, Selasa (28/1/2020) dengan alat pengukur suhu tubuh. Sejauh ini belum ada temuan yang mencolok yang mengarah ke terjangkit virus baru korona. KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Pada awal Februari 2003, pneumonia atau radang paru-paru yang dipicu oleh virus baru korona mewabah di China bagian selatan. Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih berusaha mempelajari tentang penyakit baru ini, virus itu telah memulai penyebaran globalnya. Kasus serupa ditemukan di Vietnam dan Hong Kong, yang menyebabkan WHO mengeluarkan peringatan global pada 12 Maret.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 15 Maret, WHO mengeluarkan peringatan kedua dan travel advisory, dan akhirnya menamakan penyakit tersebut sebagai sindrom pernafasan akut yang parah (SARS). Setelah wabah SARS akhirnya bisa diatasi pada Juli 2003, penyakit ini telah menginfeksi 8.098 orang di 29 negara dan menewaskan 774 orang.
Belakangan diketahui, virus SARS telah menginfeksi seorang pria berusia 45 tahun di Kota Foshan, Guangdong dengan gejala demam dan gangguan pernapasan akut, yang kemudian menularkannya ke empat saudaranya. Dia diidentifikasi secara sebagai kasus pertama SARS. Keterlambatan identifikasi SARS saat itu, yang menyebabkan keterlambatan isolasinya.
Dibandingkan penyakit menular lain yang disebabkan virus, SARS bukanlah yang paling mematikan. Misalnya, virus ebola yang mewabah di Kongo pada 1976 memiliki tingkat mortalitas 71 persen. Virus ebola yang mewabah di Afrika Barat selama 2014 hingga 2016 telah menginfeksi 28.600 orang dan 11.325 di antaranya meninggal dunia. Bahkan, galur baru virus ebola yang kini kembali mewabah di Kongo, memilik tingkat kematian hingga 90 persen, yang menjadikannya sebagai salah satu penyakit menular paling mematikan.
Namun, SARS lebih mengguncangkan dunia dibandingkan ebola, terutama karena luasnya penyebarannya dalam tempo yang relatif singkat. “SARS telah mengguncang dunia….(virus ini) menyebabkan lebih banyak ketakutan dan gangguan sosial daripada wabah lain di zaman kita,” sebut Shigeru Omi, Direktur Regioal WHO dalam pengantar buku SARS, How Global Epidemic was Stopped (WHO, 2006). Diperkirakan total kerugian ekonomi akibat SARS saat itu mencapai sekiar 30 miliar–100 miliar dollar AS.
Galur baru
Sebagaimana SARS, kini dunia kembali diguncang oleh galur baru virus korona. Lagi-lagi, China menjadi episentrumnya. WHO memang belum mengumumkan darurat kesehatan masyarakat internasional. Namun, serangan virus korona galur baru yang diberi nama 2019-nCoV ini berpotensi menjadi pandemi, jika kita gagal menanganinya.
Pemetaan waktu nyata oleh peneliti dari Johns Hopkins University, Maryland dalam gisanddata.maps.arcgis.com menunjukkan, sejak pertama kali dilaporkan merebak di Kota Wuhan, Provinsi Hubei pada akhir Desember 2019, hingga Selasa (28/1) pukul 18.17 WIB, virus ini telah menginfeksi 4.474 orang dan 107 di antaranya meninggal dunia, 63 orang sembuh. Sebanyak 4.409 kasus infeksi ditemukan di China, sisanya di 18 negara lain. Sebagian besar korban berada di Provinsi Hubei, yaitu 2.714 kasus infeksi dan 100 orang di antaranya meninggal.
Berdasarkan data sementara ini diketahui, tingkat kematian serangan virus ini 2,39 persen. Dibandingkan dengan SARS yang memiliki mortalitas 8,8 persen, tingkat kematian karena virus korona baru atau 2019-nCoV ini lebih kecil.
Sekalipun demikian, perlu dicatat bahwa ini masih merupakan data sementara. Masih sangat sulit untuk menilai tingkat keparahan dan bahaya 2019-nCoV. Diduga masih jauh lebih banyak kasus infeksi yang belum diuji atau terdeteksi karena perbedaan karakter 2019-nCoV dengan virus SARS.
“Kita beruntung kali ini (bisa mengatasi SARS),” sebut sebut Direktur Pengendalian Penyakit Menular WHO Brian Doberstyn, di buku tentang SARS (WHO, 2006).
Menurut dia, virus SARS sebenarnya bisa menjadi ancaman konstan bagi kesehatan manusia di dunia, sebagaimana influenza. Selain karena upaya yang dilakukan, terdapat katakteristik virus SARS yang memungkinkan penghentian kasus ini.
Sebagai contoh, orang yang terinfeksi biasanya tidak menularkan virus sampai beberapa hari setelah gejala muncul dan paling menular hanya pada hari kesepuluh atau lebih setelah inkubasi saat penderita dalam tahap parah. Oleh karena itu, isolasi pasien yang efektif cukup untuk mengendalikan penyebaran.
“Jika virusnya menular sebelum gejala muncul, atau bahkan jika virus bisa ditularkan tanpa gejala, SARS akan jauh lebih sulit di atasi, bahkan bisa jadi tidak mungkin untuk dikendalikan,” sebut Doberstyn.
Persoalannya, 2019-nCoV dikhawatirkan memiliki katakter ini. Studi Kwok-Yung Yuen, dari Rumah Sakit Universitas Hong Kong-Shenzhen di jurnal Lancet pada 24 Januari lalu menunjukkan, ada satu anak terinfeksi, namun tidak menunjukkan gejala apa pun.
Sekalipun 2019-nCoV ini lebih cepat dideteksi dan ditangani, dibandingkan sepupunya yang menyebarkan SARS, namun belum dipastikan apakah pasien dengan infeksi asimptomatik ini bisa menularkan virus baru korona ini kepada orang lain. Jika itu terjadi, penangkalan penyebaran virus ini bakal lebih sulit dan deteksi dini melalui penapisan suhu tidak akan memadai. Jadi, untuk saat ini sepertinya kita belum bisa: “…Enjoy aja, makan yang cukup,” seperti disarankan Menteri Kesehatan Terawan Agus.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 29 Januari 2020