Ancaman Kencing Manis

- Editor

Kamis, 7 April 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hari ini, 7 April 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingati Hari Kesehatan Dunia dengan mengangkat topik kencing manis (diabetes melitus).

Tahun lalu, terdapat 415 juta penderita diabetes melitus (DM) di dunia. Tahun 2040, jumlah penderita DM di dunia diperkirakan meningkat menjadi 642 juta orang. Di Indonesia, diperkirakan 10 juta orang menderita DM, dan jumlahnya akan naik jadi 16 juta orang pada 2040.

Kebanyakan mereka adalah penduduk yang tinggal di kota. Ada dua jenis DM, yaitu tipe I yang sejak kecil tubuh tidak cukup memproduksi hormon insulin dan tipe II yang memproduksi insulin, tetapi tidak cukup efektif mengendalikan gula darah. Sekitar 90 persen penderita DM adalah tipe II karena faktor risiko kegemukan dan tubuh kurang gerak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mengapa WHO peduli DM? penyakit DM merupakan penyakit yang tidak mudah dikenali penduduk. Gejala awal hampir tidak bisa dikenali. Separuh penderita DM tidak terdiagnosis karena tidak ada gejala sehingga tak mendorong orang untuk mencari pengobatan. Tidak sedikit penderita DM diketahui setelah serangan jantung atau gagal ginjal. Sekitar separuh penderita DM berkomplikasi gangguan saraf sampai lumpuh, sekitar 50 persen penderita DM berkomplikasi serangan jantung, dan sampai 20 persen berakhir dengan gagal ginjal. Sekali menderita DM, seseorang harus diet atau berobat selama sisa hidupnya.

Penyakit perilaku
Penyakit DM adalah penyakit perilaku buruk penduduk. Kehidupan modern yang menyediakan berbagai kemudahan hidup memicu peningkatan DM. Ketersediaan makanan cepat saji tinggi lemak meningkatkan selera makan dan meningkatkan kegemukan/obesitas. Makanan rendah serat, serta kurang sayuran dan buah-buahan menambah mudahnya terjadi obesitas. Konsumsi makanan dan minuman manis yang semakin tersedia memudahkan generasi muda menderita obesitas dan DM. Ketersediaan alat transportasi membuat semakin banyak penduduk malas berjalan kaki. Sepeda motor, mobil, dan ojek mengurangi gerak penduduk. Tidaklah mengherankan jika prevalensi penyakit DM meningkat dari 1,7 persen penduduk tahun 1985 menjadi 6,9 persen tahun 2013.

Yang mengkhawatirkan adalah hanya seperempat penderita DM di Indonesia yang terdiagnosis tahun 2013. Hal itu akibat rendahnya akses layanan dan jaminan kesehatan kala itu. Penyakit DM umumnya tidak disadari penduduk yang sedang memasuki gerbang kesejahteraan. Pemerintah pun belum mampu menyediakan upaya promotif-preventif yang berujung pada perlambatan pertumbuhan penyakit kronis ini.

Sebagian penduduk beruntung mendapatkan pesan komersial sekaligus edukatif dari produsen makanan sehat yang mengambil peluang pasar. Iklan mereka sekaligus juga berpeluang meningkatkan kesadaran dan perubahan perilaku akan bahaya DM. Tren pola hidup urban di pusat-pusat kebugaran juga membantu sebagian penduduk menambah aktivitas fisik. Namun, tidak semua penduduk menyadari, mampu membeli, dan mampu mengubah perilaku mereka.

Pemahaman utuh dan pembangkitan kesadaran perubahan perilaku membutuhkan bimbingan praktis terus-menerus dari tenaga kesehatan. Di negara maju, dengan tingkat pendidikan dan kesadaran publik jauh lebih baik, banyak perusahaan menyediakan fasilitas yang mendorong aktivitas fisik di tempat kerja. Sebaliknya, tersedianya jaminan kesehatan tanpa upaya preventif perorangan dapat memicu morale hazard, perilaku yang kurang peduli pada pola hidup sehat.

Perubahan perilaku diperlukan juga bagi mereka yang telah terkena DM. Penyakit DM bukanlah vonis mati. Disiplin diet, olahraga, dan terapi merupakan cara paling ampuh untuk mencegah komplikasi DM. Masalahnya, kebanyakan pasien berpikiran pendek (short sighted). Sebagian besar pasien DM tidak merasakan proses perburukan penyakit karena lambatnya proses penyakit.

Banyak penderita DM juga tertipu dengan nafsu makan yang besar, yang diduga sebagai keadaan sehat-padahal hal itu dapat merupakan suatu kegagalan kendali penyakitnya. Pencegahan sekunder bagi penderita DM dan obat tersedia. Jaminan kesehatan kini juga tersedia bagi kebanyakan mereka yang menderita DM. Pemerintah, pengusaha, BPJS Kesehatan, dan para ahli harus terus mengingatkan publik akan bahaya laten DM ke depan.

Kerugian ekonomis
Suatu penyakit tidak saja menimbulkan risiko fisik dan mental. Penyakit DM menimbulkan kerugian ekonomis yang besar yang timbul dari biaya berobat, kehilangan hari produktif, sampai kematian dini dengan meninggalkan anak yatim sebelum usia kerja. Perkiraan WHO menghasilkan perkiraan kerugian ekonomis untuk biaya pengobatan mencapai Rp 8.700 triliun di seluruh dunia pada 2015. Jumlah itu belum termasuk kehilangan hari produktif.

Pekerja yang menderita DM kerap bolos atau izin kerja karena komplikasi gangguan saraf sampai kebutaan dan amputasi, serangan jantung, dan harus cuci darah. Diperkirakan, tahun 2030, dunia kehilangan Rp 470.000 triliun dari penyakit DM, termasuk kerugian ekonomis akibat produktivitas yang hilang.

Di Indonesia, perhitungan menyeluruh kerugian ekonomis akibat DM belum dihitung karena masih terbatasnya data yang tersedia. Yang jelas, klaim JKN yang masuk ke BPJS Kesehatan tahun 2015 menunjukkan lebih dari Rp 5 triliun untuk pengobatan penyakit jantung dan cuci darah. Kedua penyakit itu merupakan komplikasi yang umum terjadi dari DM.

Biaya pengobatan DM saja, berupa obat-obat rutin, biaya konsultasi dokter, dan biaya perawatan yang menderita komplikasi diperkirakan Rp 4 juta per orang per tahun. Jika DM telah berkomplikasi gagal ginjal, sekitar Rp 200 juta dana JKN per pasien tersedot untuk cuci darah. Kini terdapat lebih dari 20.000 orang peserta JKN yang rutin cuci darah dengan klaim tahun 2015 lebih dari Rp 2 triliun. Secara kasar, penyakit DM dapat menimbulkan kerugian ekonomis di Indonesia sampai Rp 30 triliun per tahun.

Para penderita DM harus menyadari, ketersediaan jaminan terapi DM dan terapi komplikasi DM sangat mahal. Penyakit DM dapat menyedot dana JKN lebih dari Rp 1 miliar per pasien. Namun, jaminan kesehatan tidak menjamin rasa sakit, transportasi, kehilangan waktu produktif, dan berbagai masalah bagi anggota keluarga yang ditinggalkan. Maka, meskipun imbal hasil, return on investment, upaya pencegahan komplikasi DM belum diketahui, mencegah terjadinya komplikasi dengan disiplin diet dan terapi merupakan pilihan terbaik buat pasien.

Hasbullah Thabranychair, Center for Health Economics and Policy Studies Universitas Indonesia
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 April 2016, di halaman 7 dengan judul “Ancaman Kencing Manis”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Sejarah Ilmu Kedokteran
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:27 WIB

Sejarah Ilmu Kedokteran

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB