CATATAN IPTEK
Sejak awal tahun 2020, dunia bergelut dengan virus korona tipe baru, 2019-nCoV. Namun, masyarakat dan pemerintah enggan mengakui ancaman pandemi penyakit infeksi baru akibat ulah manusia.
Sejak awal tahun 2020, dunia bergelut dengan virus korona tipe baru, 2019-nCoV. Wabah virus ini pertama kali dilaporkan di Wuhan, China, pada 31 Desember 2019. Hingga Senin (10/2/2020), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut 40.554 orang terinfeksi di 25 negara dan 910 orang meninggal.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Tim gabungan dari Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Mataram Wilayah Kerja Pemenang, Syahbandar Pemenang, Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara, TNI Angkatan Laut, dan kepolisian memeriksa wisatawan mancanegara yang baru tiba di Pelabuhan Bangsal, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Rabu (12/2/2020). Pemeriksaan dilakukan sebagai langkah antisipasi merebaknya virus korona baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bukan kali ini saja dunia menghadapi pandemi penyakit yang bersumber dari virus. Dalam 20 tahun terakhir, setidaknya ada pandemi sindrom pernapasan akut yang parah (SARS) pada tahun 2002-2003, flu burung 2004-2007, flu babi tahun 2009, sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), dan yang terbaru gejala mirip pneumonia yang dipicu 2019-nCoV.
Jauh sebelum itu, sejak peradaban manusia dimulai, aneka pandemi silih berganti dihadapi. Ada wabah black death yang menyerang Asia Tengah hingga Eropa pada tahun 1300-an dan menewaskan puluhan juta orang, flu spanyol pada 1918-1920 yang menginfeksi ratusan juta penduduk Bumi, hingga HIV/AIDS yang masih dihadapi manusia hingga kini.
Berbagai pandemi itu disebabkan oleh patogen, baik virus maupun bakteri. Semula, patogen itu hanya ada pada satwa liar, mulai dari burung, unggas, babi, kelelawar, tikus, unta, hingga sejumlah kera besar. Patogen itu, khususnya virus, mengalami lompatan evolusioner hingga menyerang manusia. Sebagian virus itu akhirnya bisa menular antarmanusia hingga meningkatkan risiko penularan.
Menginfeksi inang
Sebagian besar hewan memang membawa patogen yang bisa memicu penyakit. Untuk bertahan hidup dan berevolusi, patogen itu harus menginfeksi inang baru. Akibatnya, patogen tersebut harus berpindah dari satu spesies ke spesies lain.
Di tubuh inang yang baru, patogen belum tentu selamat. Sistem kekebalan tubuh inang baru akan selalu berusaha membunuh patogen tersebut. Situasi itu, menurut Tim Benton, Direktur Riset Emerging Risks, Chatham House, Inggris, seperti dikutip BBC, Jumat (31/1/2020), menjadikan manusia dan patogen senantiasa terlibat pertarungan abadi, siapa yang kalah bisa mati.
Invasi aneka patogen itu akan makin menjadi ancaman besar manusia seiring dengan berubahnya lingkungan, perubahan iklim, hingga globalisasi yang membuat dunia makin tanpa batas. Berbagai perubahan itu akan mengubah habitat binatang, cara mereka hidup, pilihan tempat tinggal, hingga peran patogen dan binatang inang dalam rantai makanan.
NOEL CELIS / AFP–Warga memakai masker saat naik kereta di Shanghai, China, Senin (10/2/2020). Setelah libur Tahun Baru Imlek yang diperpanjang akibat epidemi infeksi virus korona baru dari kota Wuhan, Provinsi Hubei, warga China hari Senin mulai masuk kerja.
Cara hidup manusia pun berubah. Jumlah penduduk Bumi yang makin besar membuat manusia banyak mengubah lingkungan untuk bertahan hidup. Mereka membuka hutan, mengubah fungsi lahan, hingga menyulap desa dengan lingkungan harmonis menjadi perkotaan dengan tekanan lingkungan tinggi.
Departemen Ekonomi dan Urusan Sosial (DESA) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2018 menyebut 55 persen penduduk Bumi tinggal di perkotaan, padahal pada tahun 1950 baru 30 persen. Situasi serupa terjadi di Indonesia. Sebanyak 56 persen penduduk Indonesia diperkirakan tinggal di kawasan urban pada 2020 meski pada 1971 baru 17 persen penduduk.
Munculnya kota-kota baru menyediakan rumah baru bagi aneka satwa liar, mulai dari curut, tikus, rakun, tupai, aneka burung, ular, babi hutan, monyet, hingga aneka binatang buas lain. Mereka tidak hanya memberi ancaman langsung hingga menimbulkan konflik seperti yang terjadi antara manusia dengan gajah dan harimau di Sumatera atau ular di Jakarta dan sekitarnya akhir tahun 2019.
Meski lingkungan berubah, aneka satwa liar itu nyatanya mampu bertahan hidup di perkotaan. Kota menyediakan pasokan makanan yang melimpah walau sebagian makanan itu berbeda dengan makanan di habitat asli mereka. Kota menjadi pusat pertemuan antara manusia, satwa liar, dan patogen yang sama-sama beradaptasi atas lingkungan yang berubah.
Situasi itu menjadikan penduduk perkotaan lebih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi baru. Di tengah kepadatan penduduk yang tinggi, mereka memanfaatkan banyak fasilitas bersama hingga menghirup udara yang sama. Kebiasaan sebagian warga kota memelihara dan mengonsumsi binatang liar membuat kaum urban makin dekat dengan potensi penyakit.
Meski demikian, menurut Benton, masyarakat dan pemerintah cenderung menghadapi ancaman pandemi penyakit infeksi baru itu sebagai sebuah krisis tunggal, enggan mengakui bahwa situasi itu terjadi akibat lingkungan yang mereka ubah. Padahal, semakin besar manusia mengubah lingkungan, makin besar pula potensi penyakit yang mereka hadapi.
Hingga kini, baru sekitar 10 persen patogen di dunia yang sudah terdokumentasi, termasuk hewan yang membawa mereka kepada manusia. Karena itu, potensi munculnya penyakit baru yang menimbulkan pandemi lainnya di masa depan masih sangat besar.
Untuk menekan risiko itu, pemerintah dan warga kota perlu menata lingkungan, memperbaiki sanitasi, membangun sistem pembuangan sampah dan pengolahan limbah yang baik, hingga mengontrol masuknya binatang liar ke perkotaan. Membangun budaya dan perilaku sehat juga bisa menghindarkan penyebaran yang makin luas dari berbagai penyakit infeksi baru tersebut.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 12 Februari 2020