Kita perlu belajar dari sejarah agar mampu keluar dari krisis kesehatan. Kita pernah berhasil mengatasi flu babi. Jangan mengulang kesalahan Pemerintah Hindia Belanda dalam menanggulangi flu spanyol.
ANDREAS RENTZ / GETTY IMAGES–Peneliti mengubah asam nukleat RNA menjadi asam nukleat DNA komplementer selama analisis untuk virus influenza A (H1N1) yang biasa disebut sebagai ‘flu babi’, di Laboratorium Berlin-Brandenburg, Jerman, pada 14 Agustus 2009.
Pada 1 April 1976, pemerintah berupaya menenangkan masyarakat dengan menyatakan bahwa kecil kemungkinan flu celeng yang sedang berjangkit di Amerika Serikat menjalar ke Indonesia. Kalaupun ada, virusnya segera mati oleh panasnya suhu daerah tropis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rupanya flu celeng yang dimaksud, yang pernah melanda dunia tahun 1918, adalah flu spanyol. Laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), AS, menyatakan, virus flu spanyol adalah H1N1. Flu ini kembali menyerang dunia pada 2009, dikenal sebagai flu babi.
Maka, pernyataan pemerintah pada 1976 salah besar. Kenyataannya, pada 11 Agustus 2009, berdasarkan data Departemen Kesehatan, terdapat 812 kasus flu babi di 23 provinsi di Indonesia, tiga orang di antaranya meninggal dunia.
Sepanjang tahun 2009-2010, diperkirakan ada 700 juta-1,4 miliar orang terjangkit flu babi di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, 18.036 orang meninggal akibat pandemi itu. CDC memperkirakan angka kematian sebenarnya 151.700-575.400, namun tidak semua kasus terdeteksi dan terlaporkan.
Sampai saat ini, kasus flu babi masih terjadi. Untunglah, sejumlah obat antivirus disebut manjur untuk penyakit itu, yakni oseltamivir, peramivir dan zanamivir.
FOTO: C. GOLDSMITH – PUBLIC HEALTH IMAGE LIBRARY #11098–Gambar berwarna dari virus 1918 yang diambil oleh mikroskop elektron transmisi (TEM). Virus 1918 menyebabkan pandemi flu paling mematikan dalam sejarah manusia, yang merenggut nyawa sekitar 50 juta orang di seluruh dunia.
Sejarah mencatat, flu spanyol yang menjangkiti 500 juta orang di seluruh dunia, juga mewabah di Indonesia. Tahun 1918-1920, tak kurang dari 1,5 juta nyawa melayang di Hindia Belanda (Kompas, 21 Maret 2020), melengkapi sekitar 50 juta korban di seluruh dunia.
Manusia tak boleh pongah. Kita tak boleh meremehkan makhluk berukuran sekitar 2 mikrometer itu.
Tak juga saat ini. Saat pandemi virus lain, yakni SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, berlangsung. Sempat diremehkan, kini kasus positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Langkah pengendalian penyakit kalah cepat dengan penularan virus di masyarakat. Padahal, sejauh ini belum ada obatnya.
Saatnya kita belajar dari sejarah untuk mencari cara terbaik keluar dari krisis kesehatan. Jangan mengulang kesalahan masa lalu. Kita tidak perlu terperosok berkali-kali ke lubang yang sama.
Oleh ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 1 April 2020