Anak-anak dianjurkan untuk berkegiatan fisik paling kurang selama 60 menit setiap hari guna melancarkan metabolisme serta menguatkan tulang dan sendi sehingga mencegah obesitas. Selain itu, kegiatan fisik juga berpengaruh kepada kesehatan mental dan kepercayaan diri.
”Dalam kegiatan fisik 60 menit per hari itu harus dimasukkan prinsip baik, benar, terukur, dan teratur. Bentuknya berupa olahraga, seperti jalan cepat, berlari, berenang, atau olahraga permainan seperti sepak bola dan bola basket,” tutur Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan Kartini Rustandi di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (11/10/2019).
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Para siswa peserta peluncuran program Aksi Bergizi di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat mengikuti senam poco-poco, Jumat (11/10/2019). Anak harus bergerak minimal 60 menit setiap hari agar pertumbuhan fisiknya optimal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Mataram, Kartini menghadiri pencanangan program minum tablet tambah darah untuk remaja dan Aksi Bergizi di Kabupaten Lombok Barat yang diinisiasi oleh Kemenkes, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), Pusat Studi Regional Pangan dan Gizi Asia Tenggara (SEAMEO RECFON), dan pemerintah kabupaten.
Kartini menjelaskan, waktu 60 menit itu bisa dibagi-bagi setiap hari. Misalnya, 15 menit pada pagi hari, 15 menit pada siang hari, dan sisanya pada sore hari. Selain olahraga, kegiatan fisik bagi anak-anak juga bisa berupa bermain kejar-kejaran, petak umpet, dan ketangkasan lainnya. Di rumah bisa dialokasikan beberapa menit untuk melakukan tugas beres-beres.
”Kegiatan fisik ditambah olahraga teratur penting sekali bagi tumbuh kembang anak. Mereka harus melakukan aktivitas yang mengandung lari, lompat, loncat, dan lempar setiap hari,” tutur Kartini.
Tubuh manusia terdiri dari otot, tulang, dan sendi yang secara alami memang dirancang untuk bergerak. Melalui kegiatan fisik dan olahraga tulang-tulang memadat, sendi menguat, saraf berkembang, dan otot terlatih. Hasilnya adalah tubuh yang sehat, bugar (mampu melakukan tugas rutin dan kegiatan lain), dan produktif.
Aliran darah, pernapasan, dan hormon membuat emosi dan pikiran menjadi tenang. Apalagi, olahraga dan permainan juga mengajarkan anak mengenai sportivitas. Ditambah pula aktivitas di bawah sinar matahari membantu tubuh mengurai vitamin D yang diperoleh melalui makanan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Anak-anak melakukan gerakan senam Paud saat acara evaluasi Gerakan Sayang Ibu di Desa Merdikorejo, Tempel, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (31/10). Gerakan Sayang Ibu merupakan salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian ibu saat hamil, melahirkan, dan nifas, serta mengurangi angka kematian bayi dan anak balita.
Kurang gerak
Kondisi anak Indonesia saat ini sangat kekurangan kegiatan fisik. Pada 2015, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melakukan survei kesehatan siswa sekolah yang berumur 12-17 tahun. Terungkap hanya 5 persen siswa yang rutin berkegiatan fisik dan berolahraga.
”Tanpa olahraga tubuh menjadi kisut karena kehilangan kekuatan. Jika dipadu kurang sinar matahari, bisa mengakibatkan risiko terkena osteoporosis (keropos tulang) di usia 30-an tahun,” papar Kartini.
Menurut dia, maraknya fenomena anak sibuk dengan gawai menjadikan mereka tidak lagi melakukan kegiatan fisik. Jam belajar yang panjang seperti melakukan les seusai sekolah yang bukan bersifat gerak juga menyita waktu anak. Padahal, kalori yang masuk melalui makanan dan minuman harus dikeluarkan secara seimbang melalui gerak badan.
”Orangtua juga banyak yang mengira jika postur anak langsing tidak perlu berolahraga. Sehat tidak hanya diukur dari bentuk badan karena ukuran kurus pun bisa memiliki kolesterol tinggi, gangguan paru dan jantung, serta risiko diabetes,” ucap Kartini.
Sinergi
Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid mengatakan, kegiatan Aksi Bergizi di 48 sekolah rintisan belum memasukkan olahraga ataupun permainan fisik. Tindakan yang diambil baru memastikan siswa memakan makanan bergizi, kantin sehat, pengaktifan unit kesehatan sekolah, dan sekali dalam sepekan mengonsumsi tablet penambah darah.
”Dinas kesehatan dan dinas pendidikan akan berkoordinasi mencari cara kegiatan fisik bisa disisipkan dalam kegiatan belajar di sekolah,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat Rachman Sahnan Putra menambahkan, intervensi terhadap anak dengan obesitas lebih sulit dibandingkan dengan pengentasan anak tengkes (stunting) dari masyarakat. Alasannya karena pandangan masyarakat bahwa semakin gemuk anak semakin menggemaskan dan pertanda orangtua mampu memberi banyak makanan.
Salah satu sekolah yang menerapkan kegiatan rutin olahraga di luar pelajaran adalah SMPN 1 Labuapi. ”Setiap hari Sabtu ada kegiatan Sabtu Bugar. Anak-anak melakukan senam selama satu jam pelajaran, setelah itu mereka mengonsumsi buah-buahan,” kata Nurdin, Kepala SMPN 1 Labuapi.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 11 Oktober 2019