Pasien gagal ginjal terus meningkat seiring tingginya pembiayaan pengobatan penyakit tersebut setiap tahun. Namun, hal itu tidak dibarengi dengan ketersediaan peralatan hemodialisis di setiap daerah. Penggunaan metode dialisis peritoneal secara efektif sebagai alternatif terapi pengganti kerja ginjal rusak pun mulai didorong.
Berdasarkan Registrasi Ginjal Indonesia (RGI) 2016, pasien aktif gagal ginjal terus meningkat. Pada tahun 2011, ada terdapat 17.259 pasien, kemudian meningkat menjadi 52.835 pasien di tahun 2016. Namun, angka tinggi itu tidak disertai dengan penyebaran unit hemodialisis yang merata di setiap daerah. RGI mencatat, dari 460 unit hemodialisis, sebanyak 68 persen unit di antaranya tersedia di Pulau Jawa.
NIKOLAUS HARBOWO–Ketua Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Aida Lydia (baju merah), Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Hidayat, dan Ketua Kompartemen Health Technology Assesment Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Santoso Soeroso, dalam Forum Diskusi Dialisis bertema “Kidneys & Women’s Health: Include, Value, Empower” di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (8/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Aida Lydia mengatakan, persebaran fasilitas hemodialisis yang belum merata mengakibatkan pasien tidak mendapatkan akses pengobatan yang maksimal. Angka kematian pasien yang menjalani hemodialisis kurang dari tiga bulan mencapai 39,3 persen.
“Unit hemodialisis masih belum terdistribusi dengan baik, seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Itu yang menyebabkan angka kematian tinggi karena pasien sering terlambat dirujuk, sehingga terlambat pula untuk memulai dialisisnya,” ujar Aida yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), dalam Forum Diskusi Dialisis bertema “Kidneys & Women’s Health: Include, Value, Empower” di Kementerian Kesehatan Jakarta Selatan, Kamis (8/3).
NIKOLAUS HARBOWO–Ketua Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Aida Lydia memberikan penjelasan mengenai terapi dialisis peritoneal dalam Forum Diskusi Dialisis bertema “Kidneys & Women’s Health: Include, Value, Empower” di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (8/3).
Aida menambahkan, hal itu bisa diantisipasi antara lain dengan metode dialisis peritoneal (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis/CAPD). Metode CAPD menggunakan selaput tipis pada perut manusia atau disebut selaput peritoneum. Kemudian, pemasangan kateter dilakukan di dalam perut pasien untuk memasukkan cairan yang berfungsi menarik racun dari tubuh.
Pada metode hemodialisis, pencucian darah dari sisa-sisa metabolisme dilakukan menggunakan mesin cuci darah (mesin dialiser). Mesin tersebut hanya ada di klinik-klinik tertentu dan rumah sakit.
Metode CAPD dinilai bisa digunakan di rumah dan biayanya pun lebih murah dibanding menggunakan metode hemodialisis. Namun, cakupan CAPD di Indonesia masih rendah, yakni 2-3 persen. Total pembiayaan seumur hidup untuk metode hemodialisis bisa mencapai Rp 735 juta per pasien, sedangkan dengan metode CAPD sebesar Rp 700 juta per pasien.
Harus Higienis
Ketua Kompartemen Health Technology Assesment Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Santoso Soeroso mengatakan, CAPD mulai digunakan pada pasien yang sudah memasuki stadium lima atau ginjal kronik di mana laju filtrasi glomerulus pasien di bawah 15 milimeter per menit. Penggunannya pun harus diawasi oleh perawat khusus CAPD.
“Itu harus selalu dipantau oleh perawat khusus, karena mereka yang tahu soal higienis alat dan pencatatan apabila ada infeksi perut atau kelainan-kelainan lain,” ujar Santoso.
Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Hidayat memaparkan, pelaksanaan CAPD tidak mudah karena ada dua hal penting yang harus mendapat perhatian yakni edukasi pasien dan insentif dokter.
“Pasien CAPD akan memakai alat CAPD sendiri, karena itu perlu edukasi yang serius. Karena kalau pasien careless bahaya, dia bisa infeksi,” ujarnya. “Selain itu juga, harus ada sistem insentif untuk dokter agar dokter juga termotivasi untuk beri nasehat kepada pasien menggunakan CAP. Karena dokter tidak mendapatkan apa-apa kalau pasien diterapi CAPD,” ujarnya.
Uji coba
Kepala Sub Direktorat Rumah Sakit Pendidikan Direktorat Pelayanan Kesehatan Kemenkes Tengku Djumala Sari mengatakan, Kemenkes tahun ini akan mengadakan proyek percontohan di Jawa Barat (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Cimahi) dalam penggunaan metode CAPD di masyarakat. Metode tersebut menjadi pertimbangan untuk menggantikan metode hemodialisis karena biaya yang dinilai lebih rendah.
NIKOLAUS HARBOWO–Kepala Sub Direktorat Rumah Sakit Pendidikan Direktorat Pelayanan Kesehatan Kemenkes Tengku Djumala Sari (tengah) dalam Forum Diskusi Dialisis bertema “Kidneys & Women’s Health: Include, Value, Empower” di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (8/3).
“Uji coba di Jawa Barat ini untuk menentukan gap-gapnya dan kendalanya apa, agar saat pelaksanaan sebenarnya tidak menjadi kendala. Semua akan mulai diperhitungkan untuk dijawab di program selanjutnya yang harapannya bisa mengurangi pembiayaan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan,” kata Djumala.
Kemenkes menargetkan peningkatan cakupan CAPD dari sekitar 2 persen menjadi 30 persen pada tahun 2030. Djumala mengakui, hal itu tidak mudah karena ada beberapa tantangan seperti ketersediaan perawat CAPD dan pasokan cairan dialisa (dialisat) yang besar. “Ketersediaan cairan harus kami jamin, jangan sampai di tengah jalan tidak ada, juga pelatihan bagi para perawat. Ini yang perlu kita perhitungkan sebelumnya,” katanya.(DD18 10)
Sumber: Kompas, Maret 2018