BEBERAPA tahun terakhir ini para pakar kelautan berbagai negara tengah digusarkan dengan mencuatnya suatu fenomena alam red tide di laut, yaitu melimpahnya jenis fitoplankton yang meracuni biota laut dan membahayakan manusia.
Red tide –pasang merah– didefinisikan sebagai perubahan warna air di laut karena ledakan populasi fitoplankton tertentu di perairan luas dan bertahan untuk waktu tertentu. Fitoplankton adalah organisme halus yang berada di perairan dan termasuk ke dalam kelompok tanaman seperti juga di daratan. Salah satu jenis fitoplankton penyebab fenomena ini adalah Pyrodinium bahamense var compressum. Jenis fitoplankton ini pertama kali dikenal 80 tahun yang lalu di Kepulauan Bahama, Amerika Tengah. Pyrodinium bahamense menghasilkan racun yang biasanya menyerang sistem persyarafan yang dikenal sebagai gejala paralytic shellfish paisoning ( PSP). Pyrodinium bahamense var compressum adalah jenis fitoplankton yang menyukai air laut bersalinitas tinggi, antara 24,3-36,8 promil.
Pemantauan yang dilakukan sejak 1976, menggejalanya red tide telah menelan korban jiwa lebih dari 1.000 kasus keracunan akibat mengkonsumsi sea food yang terkontaminasi racun Pyrodinium. Khusus di perairan Indonesia ada tiga titik rawan yang paling kerap dijumpai gejala alam itu, yaitu perairan sekitar NTT, Ujung Pandang dan Pulau Sebatik, Kalimantan Timur. Di wilayah itu tercatat 414 kasus keracunan dan PSP dan 15 orang meninggal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di NTT tanggal 24 November 1983 tercatat 373 terkena PSP dan sembilan tewas setelah memakan ikan yang mabuk. Juli 1987, di Ujung Pandang emput orang meninggal setelah memakan kerang kepah dan di Pulau Sebatik Selatan, Kecamatan Nunukan, tercatat 68 orang terkena PSP dan dan dua diantaranya meninggal setelah memakan kepah yang bermunculan diatas pasir pada pagi hari 9 Januari 1988.
Bila ditelusuri kejadian di atas sangat erat kaitannya dengan kejadian serupa di perairan Asia Tenggara. Di perairan Filipina Tengah, Laut Samar, kejadian pertama, berlangsung bulan Juni-September 1983, mengakibatkan 750 orang menderita dan 20 lainnya meninggal setelah makan kerang hijau (Perna viridis). Melihat pergerakan arus dari utara ke selatan maka kejadian PSP di NTT besar kemungkinan merupakan kelanjutan kejadian di Filipina.
Demikian pula di Ujung pandang pada bulan Juli 1987 secara bersamaan terjadi juga kasus serupa di Teluk Filipina. Ketika terjadi gejala red tide di P. Sebatik juga terjadi gejala serupa di Sabah, Malaysia Timur. Jadi tidak berlebihan jika seluruh perhatian ahli kelautan tercurah pada perairan Asia Tenggara, seperti Brunei Darussalam, Sabah-Malaysia Timur, Muang Thai, Filipina dan negara Pasifik Barat seperti Papua Niugini, Kepulauan Solomon dan Palau, untuk melakukan studi red tide.
Dampak ekonomis
Gejala red tide bisa mematikan,juga mengakibatkan kerugian ekonomis yan serius karena kerusakan biota laut sekitarnya. Di Amerika Serikat, misalnya, kerusakan ekonomis akibat gejala red tide, karena ditutupnya beberapa pantai untuk penangkapan ikan dan batalnya musim turis di akhir pekan, mencapai jutaan dollar setiap tahunnya.
Red tide yang terjadi di Pulau Pari, Teluk Jakarta, bulan Mei-November 1992 mengakibatkan hampir seluruh tambak di pantai timur Lampung hancur dan hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Berdasarkan kerugian yang diderita mencapai 1,4 juta dollar AS dan memangkas hasil panen udang windu dari lima ton per hektar tinggal dua kuintal.
Penulis pernah mengamati sendiri selama dua hari proses terbentuknya red tide di P. Pari. Fenomena itu dimulai pagi hari sekitar pukul 07.00. Organisme Trichodesmium mulai bergerak mengkuti arah angin, seperti kendaraan yang padat mulai bergerak setelah lampu hijau menyala. Begitu menakjubkan, dalam waktu satu jam seluruh perairan seluas 50 kilometer terutup oleh organisme trichodesmium.
Ternyata di seluruh pantai P. Pari dan sekitamya banyak terlihat hewan-hewan dasar air, di pasir, tergenang dalam keadaan non aktif atau mati. Air laut kotor beruntai warna hijau seperti benang dan sangat pedih di mata. Rasa pedih yang ditimbulkan oleh plankton itu karena tubuh organisme itu mempunyai kemampuan mengikat amoniak dan udara dan amoniak ini racun, bagi ikan dan hewan lainnya. Sehingga ketika organisme itu meledak populasinya, maka ikan-ikan akan menghilang dan hewan dasar laut akan mati dalam jumlah yang besar.
Eutrofikasi
Apa sebenarnya yan menjadi pemicu ledakan populasi fitoplankton yang menyebabkan red tide. Pertanyaan itu sampai sekarang masih belum terjawab secara pasti oleh para pakar kelautan. Para ahli kelautan sendiri memperkirakan faktor angin lebih berpengaruh terhadap terjadinya red tide.
Apabila, angin bertiup kencang dengan arah tertentu, yang erat hubungannya dengan proses global seperti ENSO(El Nino Southern Oscillation), akan mengakibatkan terusiknya dasar laut. Di dasar laut terkumpul kista Pyrodinium maupun zat hara yang bisa terangkat ke permukaan laut, sehingga terjadi ledakan Pyrodinium.
Red tide sendiri lebih merupakan fenomena alam yang dapat terjadi di mana saja di dunia. Dan kejadiannya tidak dapat diramalkan sebelumnya, seperti juga gempa bumi. Kendati demikian red tide sering terjadi menyusul musim hujan dan topan seperti di perairan Filipina. Booming fitoplankton yang sering menyertai red tide sebetulnya merupakan indikator bahwa perairan itu sedang mengalami eutrofikasi (eutrophication). Jika eutrofikasi sedang berlangsung, dengan ditandai meledaknya algae yang hebat, maka beberapa saat kemudian di dasar perairan sering dijumpai keadaan kekurangan oksigen, yang selanjutnya dapat mengakibatkan kematian masal hewan dasar laut. Keadaan kurang oksigen ini dapat meluas sampai ke dekat permukaan. Hewan dasar laut dan ikan mati masal atau ikan-ikan menghindar.
Bilakeadaan ini berlangsung terus dalam waktu lama, maka populasi hewan di dasar air maupun ikan di permukaan akan menurun dan bisa mengubah ekosistem di perairan itu.
Pencegahan
Di antara negara Asia Tenggara yang paling sering dijumpai gejala alam inj, pemantauan red tide telah dijalankan dengan seksama. Bagi Indonesia, yang memilki wilayah perairan terluas di kawasan Asia Tenggara, pemantauan red tide mendatangkan kerumitan tersendiri. Bahkan harus diakui, pengendalian red tide secara ekonomis dan efektif sangat sukar dilaksanakan.
Untuk mengatasi ini ada baiknya penanganan yan akan dilakukan diusahakan berdasarkan skala prioritas. Masalah mendesak yan perlu dilakukan adalah pembuatan stasiun pemantauan pada wilayah-wilayah yang kerap dijumpai fenomena alam ini.
Selain itu juga diperlukan tindakan untuk segera mengadakan berbagai penyuluhan mengenai bahaya masalah red tide kepada masyarakat luas. Sedangkan untuk antisipasi lebih jauh perlu difikirkan pembentukan suatu komisi koordinasi yang melibatkan instansi terkait untuk mengatasi dan menghindari dampak negatif menggejalanya red tide perairan nusantara yang luas ini.
Quraisyin Adnan, stafpeneliti Pusat Penelitian dan pengembangan Oseanologi, LIPI
Sumber: Kompas, Jum’at, 29 Januari 1993