Indonesia punya Aeshnina Azzahra Aqilani (12) yang berani mengampanyekan bahayanya sampah impor bagi lingkungan. Setelah protes ke Duta Besar Jerman untuk Indonesia Peter Schoof, dia akan melanjutkan kampanyenya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Aeshnina Azzahra Aqilani
Keberanian Aeshnina Azzahra Aqilani (12) mengampanyekan bahayanya sampah plastik impor bagi lingkungan terus menguat. Seusai bertemu dan menyampaikan protesnya kepada Duta Besar Jerman untuk Indonesia Peter Schoof, ia juga berencana melayangkan protes serupa ke pemimpin negara pengekspor sampah lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keberanian Aeshnina atau Nina mengingatkan banyak orang pada keberanian aktivis lingkungan berusia 16 tahun asal Swedia, Greta Thunberg. Nama Greta sempat mencuat berkat pidatonya tentang perubahan iklim pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa 2019 lalu di New York, Amerika Serikat.
Perlawanan Nina berawal dari pencemaran lingkungan yang terjadi di sekitar tempat tinggalnya. Ia bersama keluarganya saat ini tinggal di Desa Wringinanom, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tak jauh dari tempatnya tinggal, terdapat sebuah area yang menjadi tempat pembuangan sampah impor plastik dari pabrik-pabrik kertas.
Selama ini, pabrik-pabrik kertas di Jawa Timur dikenal kerap mengimpor sampah kertas bekas dari negara-negara maju, seperti Kanada, Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Sayangnya, tak jarang ditemukan sampah plastik di antara tumpukan sampah kertas impor tersebut.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Aeshnina Azzahra Aqilani
Alhasil, sampah plastik tersebut dibuang ke desa-desa kecil yang berada di daerah Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik. Sampah plastik buangan pabrik kertas tersebut kemudian dipilah oleh para pengepul. Sampah yang dapat didaur ulang akan dijadikan palet dan dikirimkan ke industri daur ulang untuk diekspor ke Cina.
Sayangnya, dalam proses pembuatan palet, para pengepul memanfaatkan air di Sungai Brantas sehingga menyebabkan pencemaran air. Air di Sungai Brantas tersebut dinilai mengandung mikroplastik yang dapat menyerap polutan, seperti logam berat.
”Saya pernah ikut membedah ikan yang ada di Sungai Brantas. Di dalamnya ditemukan remah-remah plastik jenis mikrofiber yang bentuknya seperti benang. Bahaya jika dikonsumsi manusia,” kata Nina di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Sementara itu, plastik yang tidak dapat didaur ulang dikirimkan ke pabrik pembuatan tahu untuk dijadikan bahan bakar. Padahal, asap hasil pembakaran tersebut juga mengandung gas beracun dioksin yang dapat menyebabkan infeksi hingga kanker. Terlebih abu hasil pembakaran di sana juga sering dimakan oleh ayam.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Sampah botol plastik bekas minuman asal Vietnam di pantai Desa Pengadah, Kecamatan Bung Timur Laut, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (7/2/2020).
Keprihatinan Nina terhadap pencemaran lingkungan di tempat tinggalnya itu terus meningkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan. Hal ini juga tidak terlepas dari peran kedua orangtuanya yang juga merupakan pemerhati lingkungan. Ayahnya, Prigi Arisandi, adalah Direktur Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton). Sementara ibunya, Daru Setyo Rini, bertindak sebagai Manajer Program Ecoton.
”Sejak kecil memang diajak orangtua. Apalagi, Ecoton punya laboratorium. Saya pernah ikut mengecek kandungan mikroplastik dalam limbah pabrik, bahkan kotoran manusia,” katanya.
Beberapa tahun lalu, kakak Nina bahkan sempat menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) saat keluarganya masih tinggal di seberang pabrik kertas Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik. Mereka memutuskan pindah setelah seorang pakar kesehatan lingkungan menyatakan bahayanya pencemaran lingkungan yang ada di sana, terutama bagi anak-anak.
Nina saat ini duduk di bangku kelas VII SMP Negeri 12 Gresik. Di sana kampanyenya untuk menjaga lingkungan berawal. Ia menyebarkan kesadaran tersebut kepada teman-temannya. Bahkan, ia dijuluki ”Polisi Sampah” oleh teman-temannya tersebut karena sering memperingatkan untuk tidak menggunakan sampah plastik sekali pakai.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Pekerja menjahit sampah plastik bekas kemasan untuk dijadikan berbagai jenis tas di Pejaten Indah 2, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (13/1/2020).
Awalnya, hanya ada sekitar empat atau lima temannya yang mau mendengarkannya. Sekarang, jumlahnya semakin banyak, bahkan di antaranya ikut berkampanye. Tidak hanya karena Nina, hal ini juga berkat andil dari sekolahnya yang mengeluarkan larangan penggunaan plastik sekali pakai di kantin-kantin. ”Banyak teman yang menyembunyikan plastik atau sedotan yang mereka bawa kalau ada saya karena takut dicereweti,” ujarnya.
Nina bahkan membuat pameran tentang sampah impor plastik di sekolahnya. Ia membuat sebuah replika ikan berdimensi sekitar 4 x 2 x 2 meter dan melapisinya dengan sampah kemasan plastik bermerek perusahaan luar negeri. Bagian perut ikan tersebut ia biarkan menganga sambil dipenuhi oleh botol-botol plastik.
Dari pameran tersebut, teman-teman Nina menjadi mengerti tentang fenomena impor sampah plastik di Indonesia. Mereka juga mendapatkan pengetahuan tentang dampak pencemaran dari pengolahan sampah tersebut terhadap kesehatan dan kerusakan lingkungan.
Menurut Nina, banyak dari temannya yang mendukung kampanyenya tersebut meski tak sedikit yang menganggapnya angin lalu. Dalam pameran itu, ia juga membuat petisi agar impor sampah plastik dari luar negeri ke Indonesia dihentikan. Setidaknya, ada 200 temannya yang ikut menandatanganinya.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Suasana pengolahan sampah botol plastik menjadi sapu di Kelurahan Sambiroto, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (5/1/2020).
Saat masih duduk di bangku kelas V SD, Nina pernah menuliskan surat kepada Bupati Gresik tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di dekat tempat tinggalnya. Ia mendesak bupati untuk memperhatikan dampak pencemaran limbah industri, baik limbah cair maupun limbah asap. ”Setelah mengirim surat, saya diundang Bupati dan diminta menceritakan soal industri yang ada di desa saya,” ungkapnya.
Tak sampai di situ, Nina juga berani menyurati para pemimpin dunia untuk menghentikan ekspor sampah ke Indonesia. Teranyar, Nina diundang ke Jakarta dan bertemu dengan Duta Besar Jerman untuk Indonesia Peter Schoof pada 21 Januari 2020. Melalui Schoof, ia mengirimkan surat kepada Kanselir Jerman Angela Merkel untuk menghentikan ekspor sampah.
”Take back your trash from Indonesia” tulisnya dalam kalimat penutup. Ke depan, Nina juga berencana mengirimkan surat kepada Duta Besar Kanada dan Duta Besar Inggris. Keberanian Nina tak luput dari perhatian media asing. Sosoknya muncul dalam sebuah program anak-anak dari media Jerman.
Pekan lalu, Nina hadir dalam Rapat Koordinasi Nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor. Di sana ia didaulat untuk membacakan hasil rekomendasi diskusi panel BNPB, ”Ancaman Bencana Non-Alam (Limbah, Kegagalan Teknologi, Edpidemi)”.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Timbulan sampah ditutupi menggunakan plastik ramah lingkungan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipayung, Depok, Jawa Barat, Selasa (21/1/2020).
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Joko Widodo hadir dan sempat menyalami Nina yang duduk di kursi tribune paling depan. Momen kurang dari 5 detik tersebut dimanfaatkan Nina untuk meminta Presiden ikut mencegah impor sampah plastik. Presiden tersenyum sambil mengiyakan permintaan Nina.
Perasaan senang sekaligus kecewa dirasakan Nina. Ia senang karena bisa bertemu dengan Presiden, tetapi kecewa karena tak punya banyak waktu untuk berbincang. Untuk itu, ia juga berencana menuliskan surat untuk Presiden Joko Widodo.
Bersama Prigi, ayahnya, Nina bermimpi membangun museum sampah impor di rumahnya. Di dalamnya akan dipamerkan kemasan plastik dari beberapa negara. Saat ini, Prigi masih berupaya menggalang dana melalui banyak cara. Museum ini diharapkan menjadi bukti bahwa Indonesia pernah menjadi tempat sampah oleh negara maju.
Aeshnina Azzahra Aqilani
Lahir: Sidoarjo, 17 Mei 2007
Pendidikan :
SD Muhammadiyah 1 Wringinanom, Kabupaten Gresik
SMP Negeri 12 Kabupaten Gresik
Ayah: Prigi Arisandi
Ibu: Daru Setyo Rini
Oleh FAJAR RAMADHAN
Editor: ANDY RIZA HIDAYAT, MARIA SUSY BERINDRA
Sumber: Kompas, 16 Februari 2020