Perhatian akan perubahan iklim cenderung pada sisi mitigasi. Adaptasi perubahan iklim sebagai persiapan akan kejadian terburuk ataupun melihat peluang masih terkesan tertinggal.
Perubahan iklim membuat pola hidup dan gaya hidup harus berubah. Ini karena dampaknya sangat luas, seperti kesehatan, air, pangan, infrastruktur, keanekaragaman hayati, dan bencana.
Namun, langkah nyata adaptasi belum terstruktur dan tergantung dari niat dan kemampuan di daerah atau sektor. ”Kami ingin setiap daerah punya kajian kerentanan,” kata Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sri Tantri Arundhati, Rabu (17/1), dalam seri diskusi Festival Iklim 2018 di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara ini, alat yang dimiliki daerah untuk mengukur perencanaan pembangunan dan tata ruang menggunakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, serta Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang sedang disusun rancangan peraturan pemerintahnya. Ini masih akan ditambah PP Perubahan Iklim yang sedang disusun pemerintah.
Peraturan pemerintah ini salah satunya dibutuhkan sebagai payung hukum program adaptasi perubahan iklim. Selama ini, dasar hukumnya pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 33/2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim yang langsung mengacu pada UU Persetujuan Paris, UU PPLH, dan UU Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim.
Meski demikian, langkah adaptasi ini telah masuk program dalam Dokumen Niatan Kontribusi Nasional (NDC) yang didaftarkan Indonesia ke Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Dalam hal ini, Indonesia membawa 9 program di antaranya kondisi pemungkin (enabling condition) dan penyusunan kebijakan, rencana, dan program intervensi.
Dari sisi pelaksanaan di daerah, Yudhi Timor Bimo Prakoso dari Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri mengatakan, terdapat 8 peraturan presiden terkait isu perubahan iklim yang wajib diterjemahkan dalam perencanaan pembangunan di daerah.
Di sisi lain, target penurunan 29 persen emisi gas rumah kaca dalam NDC sebagian besar menjadi kewenangan pusat. Dicontohkan, penurunan emisi 17,2 persen di sektor kehutanan dan 11 persen di sektor energi.
Di sisi lain, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan belum melakukan penandaan anggaran (budget tagging) program perubahan iklim di daerah. ”Bersama Kementerian Dalam Negeri baru direncanakan (penandaan anggaran). Kami sedang siapkan perangkat hukumnya,” kata Eka Hendra Permana dari Pusat Kebijakan Perubahan Iklim BKF.
Sejak APBN 2016, BKF melakukan penandaan program perubahan iklim di Kementerian LHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian ESDM. Ini pun masih sebatas isu mitigasi yang mengacu Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca. (iCH)
Sumber: Kompas, 18 Januari 2018