CATATAN IPTEK
Minggu pagi, 26 Desember 2004, pukul 7.58 WIB. Gempa besar mengguncang Aceh. Gempa berkekuatan M 9,3 yang berpusat di bawah Samudera Hindia, sekitar 250 kilometer tenggara pesisir Banda Aceh itumerupakan salah satu yang terkuat yang pernah terjadi di Bumi.
?Tak lama setelah gempa, laut surut, namun masyarakat tak segera menjauhi pantai. Bahkan, beberapa orang memungut ikan yang terhampar. Hingga saat itu, mayoritas masyarakat Aceh, dan juga di Indonesia, memang belum mengetahui bahwa gempa kuat bisa diikuti tsunami.
?Bahkan, ketika gelombang setinggi lebih dari 20 meter menerjang, banyak yang masih belum sadar itu tsunami. Menyelamatkan diri dari serbuan tsunami yang memiliki kecepatan di lautan selaksa pesawat jet dan sekitar 30 km per jam di darat menjadi mustahil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
?Tsunami Aceh 2004 jelas bukan yang pertama terjadi di kawasan ini. Penelitian paleotsunami, arkeologi, maupun pernaskahan menemukan jejak perulangan tsunami yang pernah melanda kawasan ini. Namun, pengetahaun ini tak lagi dimiliki masyarakat Aceh sebelum bencana.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Warga mengais puing-puing di pelataran Masjid Baiturrahman yang penuh dengan puing akibat sapuan gempa dan gelombang tsunami di Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Selasa (28/12/2004). Masjid Baiturahman tak mengalami kerusakan berarti dan tetap tegar berdiri mesti tempat di sekitarnya yaitu Pasar Aceh porak poranda.–Kompas/Agus Susanto (AGS)–28-12-2004
?Hanya masyarakat di Pulau Simeulue, yang masih menyimpan pengetahuan tentang tsunami sebelumnya. Pengetahuan tentang tsunami 1907, atau dalam bahasa mereka sebagai smong 07 itulah, yang menyelamatkan penduduk di pulau dalam tsunami 2004. Sesaat setelah gempa dan menyaksikan laut surut, mereka segera berlari ke perbukitan. Ribuan rumah hancur, namun korban jiwa tidak lebih dari tiga orang.
?Sekalipun jumlah korban jiwa mencapai 200.000 jiwa, namun tsunami Aceh tahun 2004 ini belum sepenuhnya membuka mata kita tentang kerentanan bencana di negeri ini. Ancaman tsunami kerap diabaikan, bahkan ditutupi, dengan alasan investasi dan pembangunan.
?Dengan menggandeng peneliti dari kampus negeri, pemerintah daerah berupaya meyakinkan masyarakat bahwa pantai Pangandaran, Jawa Barat, aman dari tsunami. Kajian mereka kemudian dirilis di media, seperti diberitakan koran Pikiran Rakyat, edisi 4 Maret 2005 dengan judul ”Tsunami Tak Akan Terjadi di Jabar Selatan: Tim Ahli Pastikan Pangandaran Aman”.
?Disebutkan, “Dari hasil kajian atau penelitian yang kita lakukan, akhirnya kami simpulkan bahwa pantai ini, termasuk Pangandaran aman dari tsunami. Karena dengan kondisi laut dalam serta pantai terjal, sehingga energi gelombang yang diakibatkan dari tabrakan lempengan Benua Australia dan Asia, tidak akan sampai ke daerah kawasan pantai ini…Wisatawan tidak perlu takut lagi untuk datang ke Pangandaran. Penelitian ini bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena pakar yang tergabung juga benar-benar ahli dan punya dasar keilmuan yang kuat dalam bidangnya…”
?Narasi ini memang dikonstruksi untuk mendorong agar pariwisata di Pangandaran kembali menggeliat, karena sebelumnya melesu pascatsunami Aceh 2004. Namun, setahun setelah setelah publikasi ini, persisnya pada 17 Juli 2006, pantai Pangandaran dilanda gempa diikuti tsunami. Sebanyak 653 jiwa meninggal dunia.
?Pengingkaran risiko bencana juga terjadi di Teluk Palu, Sulawesi Tengah. Sekalipun daerah ini berulangkali dilanda gempa bumi dan tsunami, namun risiko ini tidak menjadi perhatian, sebelum kemudian terjadi bencana pada 28 September 2018 lalu. Padahal, kajian Gegar Prasteya (2001) menyebutkan, dari tahun 1820 hingga 1882 telah terjadi 14 tsunami di Selat Makassar dan Teluk Palu. Adapun sejak 1927 hingga 2001 telah terjadi enam kali tsunami di kawasan ini. Ditambah dengan kejadian kali ini, berarti total kejadian tsunami di kawasan ini sudah 19 kali dari tahun 1820 hingga 2018.
?Kisah tentang tsunami di masa lalu juga terekam dalam bahasa lokal, seperti bombatalu dan lembotaluyang berarti tiga gelombang yangmematikan. Bahkan,saksi mata dua tsunami terakhir di Teluk Palu, yaitu tahun 1938 dan 1968 juga masih hidup.
?Kejadian terbaru, kita bisa menyaksikan pengabaian risiko tsunami dari Selatan Sunda, yang sebenarnya telah lama diketahui. Berdasarkan katalog tsunami Soloviev dan Go (1974), sejak tahun 416 telah terjadi 11 kali tsunami di Selat Sunda.
?Penelitian Gegar Prasetya (1998) membuktikan bahwa runtuhnya kaldera Krakatau sebagai penyebab utama tsunami yang menewaskan 36.000 jiwa di pesisir Selat Sunda pada tahun 1883. Tahun 2008, Gegar menghitung ketinggian dan waktu tiba tsunami di pesisir Banten dan Lampung jika kaldera Anak Krakatau runtuh.
?Berikutnya, kajian Giachetti (2012) juga telah memperingatkan ancaman runtuhnya lereng Anak Krakatau yang bisa memicu tsunami dan tiba di pesisir Anyer dengan waktu tiba hingga Lampung. Pemodelan ini mirip dengan kejadian ini. Namun demikian, kajian-kajian ini sama sekali tak menjadi perhatian, hingga tsunami melanda pada Sabtu malam, 22 Desember 2018.
?Setelah tsunami Aceh, kita sudah berulangkali mengalami tsunami dengan berbagai sumber dan mekanismenya. Ratusan ribu jiwa melayang dan kerugian ekonomi sudah ratusan triliun.
?Kini, 14 tahun setelah bencana itu, rumah-rumah baru tumbuh di sepanjang pesisir yang pernah dilanda tsunami: Banda Aceh, Aceh Besar, Calang, Meulaboh.Tak hanya di Aceh, kecenderungan kembali ke tapak bencana merupakan fenomena umum di negeri ini.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)–Kembali Ditempati – Sejumlah kawasan hunian di Aceh yang dulu porak-poranda diterjang tsunami pada tahun 2004 saat ini kembali dibangun dan tempati masyarakat. Salah satunya adalah rumah bantuan yang ada di Desa Lambung, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Senin (26/3/2012). Deretan rumah bantuan tersebut dilihat dari atas escape building atau gedung penyelamatan saat terjadi tsunami.–Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
?Sebagai negara kepulauan, menjauh dari pantai yang menjadi pusat ekonomi memang bukan pilihan gampang. Namun, pilihan untuk berhuni di zona rentan tsunami, harus diikuti dengan pengetahuan dan kesiapsiagaan menghadapinya, seperti ditunjukkan masayarakat di Pulau Simeulue. Kita harus dengan rendah hati menerima risiko bencana tsunami dan menjadikannya sebagai bagian dari strategi pembangunan dan budaya hidup sehari-hari.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 26 Desember 2018