Pembangunan Korbankan Ketahanan Wilayah Pesisir
Abrasi pantai dan hilangnya daratan meluas seiring kerusakan masif lingkungan pesisir. Seiring tren kenaikan muka laut global, degradasi ekologi pesisir akan memicu dampak buruk berlipat pada masyarakat. Kehancuran pesisir tak hanya terjadi di Pulau Jawa.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sekitar 100 lokasi di 17 provinsi dengan panjang pantai sekitar 400 kilometer (km) telah tergerus. Pantai utara Jawa mengalami abrasi terparah, mencapai 745 km atau 44 persen total panjang garis pantainya. Total luasan area yang hilang karena abrasi di Jawa itu setara 10.988 hektar.
“Beberapa kawasan wisata pesisir di Jawa hilang. Contohnya, Pantai Tirtamaya di Indramayu, Jawa Barat, yang rusak digerus ombak,” kata Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Subandono di Jakarta, Kamis (26/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melihat tren itu, kota-kota di pesisir Pulau Jawa, seperti Pekalongan, 100 tahun mendatang akan tergenang air laut hingga 2,1 km dari garis pantai sekarang. Kota Semarang akan tergenang 3,2 km dari garis pantai.
Menurut Subandono, kerusakan serupa juga terjadi di pantai selatan Bali, pantai Sumatera Barat, Bengkulu, pantai timur Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan lain-lain. “Sebagian memang ada upaya pemulihan. Sebagian lagi belum,” katanya.
Sebagian besar abrasi pesisir ditimbulkan aktivitas manusia dan dampak pembangunan. Contohnya, pembangunan dermaga di Muara Dadap, Indramayu, dan pembangunan saluran beton untuk mengambil air laut yang menjorok ke laut di Tambak Inti Rakyat Karawang.
Abrasi pantai juga disebabkan penambangan karang dan pasir pantai, seperti di Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, dan Tangerang. Abrasi juga bisa karena pembangunan tembok laut, seperti di Malalayang, Manado.
Subandono mengatakan, persoalan abrasi yang semakin masif itu bisa ditangani melalui berbagai pendekatan, di antaranya peremajaan pantai, restorasi mangrove, rehabilitasi karang, dan pengelolaan kawasan pantai terpadu.
Kontrol pembangunan
Peneliti dinamika kelautan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjo Kongko, mengatakan, kerusakan ekologi pesisir disebabkan kontrol pada pembangunan yang cenderung lemah. “Pembangunan sering kali tak diikuti evaluasi dan monitoring dan abai risiko,” katanya.
Persoalan lain, ada kecenderungan segregasi tanpa memperhitungkan dampak terhadap wilayah lain. Contohnya, reklamasi Teluk Jakarta yang menurut penelitian KKP sebagian materialnya diambil dari pesisir Serang, Banten. “Jika prosesnya benar, material bisa dari normalisasi sungai di Teluk Jakarta,” ujarnya.
Widjo menambahkan, ekologi pantai merupakan coastal cell, suatu wilayah yang saling memengaruhi. Perubahan di satu tempat pasti akan berdampak ke tempat lain dalam satu wilayah ekologi.
Seiring perubahan iklim yang memicu kenaikan muka laut, kata Widjo dan Subandono, kontrol pembangunan yang berdampak buruk bagi kawasan pesisir harus dilakukan serius. Apalagi, analisis stasiun pasang surut di Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, Batam, dan Kupang selama sembilan tahun pengamatan menunjukkan, rata-rata kenaikan muka air laut dibandingkan daratan di kawasan itu mencapai 8 milimeter per tahun. (AIK)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Januari 2017, di halaman 13 dengan judul “Abrasi Pantai Belum Teratasi”.