Rumah di kawasan Veteran, Bintaro, Jakarta Selatan, itu terasa lengang sekitar pukul 10.00 awal Juni lalu. Tuan rumah, Yudi Latif, baru kembali dari mengambil rapor putrinya, Bening (14), di Bumi Serpong Damai. Paginya, dia mengantar putri bungsunya, Binar (8), ke sekolah di Pasar Minggu.
Mengurus dua putrinya menjadi prioritas Yudi Latif setelah istrinya, Linda Natalia Rahma, meninggal dalam kecelakaan mobil di Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur, Senin (25/5) dini hari. Karena itu pula Yudi terpaksa menolak beberapa undangan menjadi pembicara di luar kota, kecuali yang telanjur dia sepakati.
Selama ini, Yudi praktis berkonsentrasi pada profesi sebagai dosen, memenuhi undangan di sejumlah kota untuk berbicara tentang tema kenegaraan dan kebangsaan, terutama Pancasila, dan tentu saja menulis.
Dari tangannya lahir 17 buku, tetapi yang membuat Yudi menjadi istimewa adalah ketekunannya mendalami Pancasila. Dia mencoba mengilmiahkan Pancasila dari sisi sistem berpikir, menjawab tantangan dari sisi keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Dari sisi keyakinan kita harus meyakinkan bangsa kita bahwa Pancasila adalah ideologi negara paling pas,” jelas Yudi.
Maka, melalui pendekatan historis, filosofis, epistemologis, dan ontologis lahir buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Gramedia Pustaka Utama), ditulis pada tahun 2008 dan terbit 2011. Buku tersebut segera disusul Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (Mizan, 2014) dan Revolusi Pancasila (Mizan, 2015).
Negara Paripurna hadir bersamaan dengan saat (alm) Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR (2009-8 Juni 2013) membuka wacana ”empat pilar kebangsaan”, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
”Seolah buku ini memberi legitimasi atas proyek sosialisasi MPR tentang empat pilar. Padahal, sebenarnya dua hal terpisah sama sekali. Jadi, co-accident. Saya menulis bukan karena motif-motif ekonomi. Saya tulis betul-betul karena panggilan hati,” tutur Yudi.
Keteladanan
Negara Paripurna setebal hampir 700 halaman sudah tercetak 25.000 buku. Dengan ini Yudi meyakini, orang Indonesia juga mau membaca buku serius jika ditulis serius.
Buku itu kini digunakan sebagai pegangan dalam pendidikan dan pelatihan pejabat eselon 1, 2, dan 3 kementerian dan lembaga pemerintah untuk materi ”integritas dan wawasan kebangsaan”.
Mata Air Keteladanan dia tulis untuk menjawab tantangan membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dia terinspirasi dari para nabi, yang terus hidup dan diteladani masyarakat meskipun melalui waktu ribuan tahun karena keteladanan mereka terus dikisahkan.
”Negeri kita juga punya teladan-teladannya, tetapi pelajaran sejarah kita gagal mengajarkan keteladanan itu. Pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang sifatnya angka tahun dan silsilah. Pelajaran moral dari sejarah tidak diberikan. Pelajaran sejarah gagal mengajarkan keteladanan yang penting untuk membentuk karakter bangsa,” kata Yudi.
Pada saat bersamaan, ruang publik dipenuhi peristiwa buruk, seperti skandal korupsi, yang mengarusutamakan hal-hal negatif. Masyarakat mengalami situasi seolah-olah tidak ada tokoh-tokoh teladan dari masa ke masa.
Yudi membuktikan ada banyak tokoh, dari Aceh hingga Papua, dari beragam agama, etnis, jender, dan kelamin, yang dapat menjadi contoh penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Buku ketiganya menegaskan, semangat Pancasila ada di dalam sikap hidup masyarakat Indonesia, tetapi negara belum secara sadar mewarnai tindakannya dengan Pancasila.
Tanda baru
Pencarian Yudi atas Pancasila berawal dari masa kecil. Ayahnya dari keluarga Nahdlatul Ulama tulen, sementara keluarga ibunya berada dalam tradisi Muhammadiyah dan pengikut Soekarno melalui Partai Nasional Indonesia.
Perpaduan Islam tradisional dan modernis, serta nasionalis membuat dia terbiasa mengayun pada keberagaman pandangan. Konflik politik di ruang publik menjadi bagian keseharian diskusi di ruang keluarga.
”Saya khatam Di Bawah Bendera Revolusi tulisan Soekarno sejak SMP. Ketika kakek dari pihak ibu meninggal, dia mewariskan buku itu untuk saya,” kenang Yudi yang merupakan cucu lelaki terbesar. Ayahnya kemudian menyekolahkan Yudi ke Pondok Pesantren Gontor yang menerima semua aliran dan tidak mengubah latar belakang santri.
Praktik hidup dengan pandangan terbuka terhadap perbedaan tersebut menjadi visi ideologis setelah Yudi bertemu Nurcholish Madjid di Jakarta, terutama saat Cak Nur menjelang menjalani operasi hati di Tiongkok.
”Saya diberi amanah ikut mengurus dan menegaskan Paramadina,” kata Yudi. ”Kalau diberi mandat, saya harus menempatkan diri dalam sepatu orang yang memberi amanah. Saya mulai bertanya, apa kira-kira pandangan orang tentang Paramadina dan Nurcholish Madjid yang membuat pantas dihargai. Nilai-nilai apa yang membedakan dari yang lain.”
Yudi terdorong mengembangkan pergaulan lintas budaya, lintas agama, memenuhi undangan sejumlah kota dari Aceh hingga Papua; mempertanyakan apa basis ideologi yang dapat menyatukan Indonesia yang begitu luas wilayahnya dan beragam masyarakatnya.
Pengalaman-pengalaman tersebut memperkokoh keyakinannya bahwa Pancasila adalah jawaban yang cocok karena lahir dari situasi aktual bangsa Indonesia. Apalagi masyarakat internasional, terutama di wilayah yang terganggu konflik suku, agama, ras dan antargolongan, kini melirik Pancasila sebagai model hidup damai berdampingan dalam keberagaman.
Ideologi terbuka
Bagi Yudi, Pancasila adalah landasan lebih stabil bagi Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan ketidakpastian. Sayangnya, nilai-nilai Pancasila tidak lagi diajarkan di sekolah dan ditinggalkan dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan.
Untuk itu, perlu ada tanda baru bagi kembalinya Pancasila melalui pendekatan horizontal untuk memberi penafsiran baru. Pemahaman Pancasila harus membuka ruang semua elemen bangsa ikut mengisi.
Jika pada masa lalu Pancasila kerap menjadi alat mengeksklusi suatu kelompok, semangat pendekatan baru terhadap Pancasila adalah inklusi terhadap semua keberagaman.
”Gotong royong semangatnya, menyertakan semua golongan mengisi dalam konteks bukan aspek eksklusif dari agama atau golongan, tetapi pengayaan moral publik. Itu pengertian Pancasila sebagai ideologi terbuka,” papar Yudi.
Banyak praktik kenegaraan dan pemerintahan, menurut Yudi, belum diwarnai Pancasila. Pancasila, misalnya, kental dengan nilai sosial-demokrasi. Karena itu, pengelolaan ekonomi harus berprinsip kooperasi, gotong royong. Artinya, tidak boleh ada satu golongan atau kelompok, termasuk BUMN, menguasai produksi dari hulu sampai hilir.
Dalam semangat nasionalisme, Yudi berpendapat Pancasila tidak anti-asing karena sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, bersemangat internasionalisme.
Jika, misalnya, pemerintah ingin memproduksi pangan sendiri, semangatnya harus karena tidak ingin menjadi beban dunia sebab jumlah penduduk Indonesia besar. Hal itu akan menentukan cara pandang, yaitu tidak membenci asing, tidak eksklusif.
Adakah optimisme Pancasila dapat kembali menjadi pijakan dasar bersama masyarakat Indonesia?
Yudi sangat optimistis bisa. ”Secara institusional, fungsional, negara kita sakit. Namun, Indonesia sebagai bangsa masih cukup kuat. Dulu yang mengambil inisiatif mengembangkan Pancasila adalah negara. Sekarang, masyarakat yang berinisiatif. Itu yang saya temui dari perjalanan dari Aceh hingga Papua,” kata Yudi.
Yudi Latif
LAHIR
Sukabumi, Jawa Barat, 26 Agustus 1964
ISTRI
Linda Natalia Rahma (alm)
ANAK
Matahari Kesadaran
Cerlang Gemintang
Bening Aura Qalby
Binar Aqlia Semesta
PENDIDIKAN
PhD dalam sosiologi politik (2004), Master of Arts dalam Kajian Asia (1999), keduanya dari The Australian National University, 1999
S-1 Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (1990)
Pondok Modern Gontor Ponorogo dan SMA Ma’arif Bandung (1984)
Pengalaman profesional:Beberapa pengalaman profesional dalam pengajaran dan penelitian, antara lain:
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Kumpulan Ilmuwan Terkemuka, 2015-sekarang)
Dosen tamu untuk Diklatpim I dan II, Lembaga Administrasi Negara (mata kuliah Pancasila dan Wawasan Kebangsaan, 2006-sekarang)
Narasumber untuk Program-program Lemhanas/Lembaga Ketahanan Nasional (Pancasila, Wawasan Kebangsaan dan Kenegaraan, 2010-sekarang)
Ketua Harian Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila (2012-sekarang)
Direktur Eksekutif Reform Institute (2015-sekarang); Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (2007-sekarang)
Penasihat lepas untuk program MPR RI dan Pendidikan Politik Kemendagri (2010-sekarang)
Wakil Rektor Universitas Paramadina untuk urusan penelitian, pengabdian masyarakat dan kemahasiswaan (2004-2007)
PENGHARGAAN
Anugerah kebahasaan dari Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 18 Agustus 2014
Buku Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Gramedia Pustaka Utama, 2011) menjadi salah satu dari 44 buku paling penting dalam Pembangunan Bangsa, dalam rangka memperingati 44 tahun Media Indonesia (2014)
Penghargaan Ilmu Sosial 2013 dari Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS)
Megawati Soekarnoputri Award (2012)
Nabil Award (2012)
BUKU
Sudah terbit 19 buku karya Yudi Latif, antara lain, Revolusi Pancasila (Mizan, 2015); Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (Mizan, 2014); Tuhan Pun Tidak Partisan: Melampaui Sekularisme dan Fundamentalisme (Syabas Books, 2013); Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Gramedia Pustaka Utama, 2011) Indonesian Muslim Intelligentsia and Power (Institute of Southeast Asian Studies, 2008); Bayang-Bayang Fanatisisme: Esai-Esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid (editor), PSIK Universitas Paramadina, Jakarta, 2007; Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Mizan, 2005)
–Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih–
———-
Puncak-puncak Pencapaian
Tahun ini adalah masa puncak-puncak pengakuan sumbangan Yudi Latif dalam dunia pengetahuan. Dia diangkat sebagai anggota termuda Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Yudi juga dipilih menjadi satu dari 70 orang yang menginspirasi Indonesia dalam peringatan 70 tahun Indonesia merdeka.
“Lalu Kompas memberi saya penghargaan sebagai cendekiawan,” kata Yudi di rumahnya di kawasan Veteran, Bintaro, Jakarta Selatan.
Di tengah kegembiraan itu, tiba-tiba istrinya, Linda Amalia Rahma, tewas karena kecelakaan lalu lintas di Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur, Senin (25/5) dini hari.
“Tiba-tiba istri saya hilang dari ruang hidup. Apa yang dapat dibanggakan seorang istri dari seorang scholar seperti saya karena tidak dapat memberikan kebahagiaan material, tentu kebahagiaan dia adalah ketika saya mendapat public recognition, dia juga ikut merasakan,” ungkap ayah empat anak itu yang merasa sangat terpukul dengan kehilangan terebut.
Bagi Yudi, Linda telah memungkinkan dia menjelajah dunia kecendekiawanan dengan leluasa, bebas pergi dari Aceh hingga Papua mengalami dan menyintesis pengalaman menemui keberagaman Indonesia. Pengalaman itu berakhir pada kesimpulan Pancasila adalah landasan terbaik bagi bangsa Indonesia menghadapi berbagai perubahan. Menurut Yudi, negara-negara yang mengalami masalah kerukunan agama, etnis, dan antarkelompok, seperti Afganistan, Tajikistan, dan beberapa negara lain, mulai melihat Pancasila sebagai model hidup damai dalam keragaman.
Untuk sementara Yudi memfokuskan diri menjalani peran yang dulu dilakukan almarhum istrinya terhadap dua putrinya, terutama bungsunya, Binar (8), yang sangat dekat dengan ibunya. Dua anak lelakinya bersekolah di Bandung.
Pengalamannya dengan harian Kompas dimulai sejak 9 Juni 1989 ketika artikelnya pertama kali dimuat di harian Kompas. “Kalau banyak orang impiannya ingin segera jadi sarjana, saya bilang saya tidak ingin jadi sarjana sebelum tulisan saya dimuat di Kompas,” tutur Yudi mengingat masa ketika masih kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Hal itu tidak terlepas dari tidak terlalu berkembangnya jurnal-jurnal ilmiah. Bahkan, polemik kebudayaan pun terjadi melalui koran. “Pemberi sertifikasi intelektual itu sebetulnya koran dan pemberi sertifikat paling otoritatif itu Kompas,” kata Yudi. (NMP/MH)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juni 2015, di halaman 35 dengan judul “Keteladanan dan Inisiatif Ada di Masyarakat”.