Tahun 1978, ketika Organisasi Kesehatan Dunia mencanangkan “Health for All by the Year 2000”, harapan begitu membubung. Dikenal sebagai Deklarasi Alma-Ata, salah satu kota di Uni Soviet yang kini disebut Almaty dan masuk wilayah Kazakhstan, target ambisius itu diwujudkan dengan sistem layanan kesehatan dasar yang komprehensif.
Caranya, dengan memberi layanan kesehatan disertai penyuluhan kesehatan, nutrisi, sanitasi, imunisasi, keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, serta ketersediaan obat esensial. Pendekatan komprehensif ini-selama 12 tahun menuju tahun 2000-dinilai pas untuk mengatasi masalah kesehatan di negara miskin dan berkembang, yang menghadapi angka kematian ibu, bayi, dan anak usia balita amat tinggi.
Namun, hingga 27 tahun kemudian, tahun 2015, kondisi kesehatan masyarakat dunia masih memprihatinkan. Termasuk di Indonesia. Hasil Sensus Penduduk 2010, misalnya, menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia 1,49 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan dekade sebelumnya, yakni 1,45 persen, yang berarti program KB belum mencapai sasaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Demikian pula dengan imunisasi. Menurut data Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi nasional tahun 2014 mencapai 86,8 persen, sementara target 90 persen. Di tingkat pedesaan, cakupan imunisasi bahkan hanya 82 persen. Kesenjangan ini antara lain akibat kondisi geografis, sosial-ekonomi masyarakat, dan kampanye negatif terhadap manfaat vaksin. Padahal, cakupan imunisasi yang rendah membuat masyarakat, terutama anak-anak usia balita, rentan terinfeksi penyakit.
Pemahaman paling penting
Sebenarnya, kembali ke Deklarasi Alma-Ata, kegagalan ini sudah diingatkan Cecil G Helman (Culture, Health and Illness, 2000). Menurut Helman, masalah organisasi dan teknik dengan mudah bisa ditangani. Namun, abai mengupayakan pemahaman masyarakat bisa menjadi hambatan serius.
Ia mengutip penelitian Nichter di Kanara, India. Di Distrik Kanara Utara, hanya 11 persen yang mendapat informasi tentang imunisasi dan di Kanara Selatan 28 persen. Informasi para penyuluh kesehatan bahwa imunisasi baik untuk kesehatan dan mencegah penyakit membuat banyak ibu hamil mengasumsikan vaksin sebagai tonikum yang justru membuat bayi dalam kandungan menjadi besar dan menyulitkan proses kelahiran.
Inilah yang terjadi di Indonesia dekade terakhir. Informasi yang kurang komprehensif dan kurang memperhatikan aspek geografis, agama, dan budaya memunculkan persepsi beragam di masyarakat. Perlawanan terjadi dalam diam atau terbuka di mimbar peribadatan. Di dunia tanpa sekat sekarang, media sosial yang langsung masuk ke sasaran di mana pun mereka berada-sesuatu yang tak terbayangkan tahun 1978-mempercepat penyebaran keraguan terhadap program imunisasi, apalagi dengan bahasa keagamaan yang meyakinkan.
Di Sumatera Barat, cakupan imunisasi DPT 60,2 persen tahun 2013 (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Di Aceh 52,9 persen dan di Papua 40,8 persen. Dampaknya adalah kejadian luar biasa difteri di Padang, Sumatera Barat, dan Aceh baru-baru ini. Di Padang, 62 orang diduga terinfeksi, dengan 6 orang didiagnosis positif dan 2 orang meninggal. Di Aceh, 16 orang terinfeksi dan 2 orang meninggal (The Jakarta Post, 17/6).
Tak ada jalan lain. Kementerian Kesehatan harus mengubah model pendekatan penyuluhan ke masyarakat. Mengikuti uraian Helman, kuncinya adalah mampu menjelaskan bahwa isu-isu krusial yang menjadi sumber penolakan masyarakat adalah tidak benar. Seperti vaksin mengandung bahan yang diharamkan, efek samping bahan baku tambahan, dan hasil konspirasi untuk kepentingan negara-negara Barat.
Dengan memahami persepsi masyarakat, Kementerian Kesehatan bisa memberikan informasi secara terbuka, sekaligus menjelaskan pentingnya imunisasi sebagai upaya preventif. Seperti di pihak yang kontra, manfaatkan semua wahana, termasuk media sosial, tokoh masyarakat, dan pemuka agama.–AGNES ARISTIARINI
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Ironi Imunisasi”.