Usia 54 tahun bagi sebagian pegawai negeri barangkali identik dengan masa-masa menjelang pensiun. Namun, bagi peneliti ikan air tawar seperti Renny Kurnia Hadiaty, berarti kian pendeknya waktu mengumpulkan berbagai jenis ikan, terutama yang belum pernah terdata.
Berkarya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ia jadi saksi betapa Indonesia kaya, megabiodiversitas. Bermacam jenis ikan baru seperti tiada habisnya.
Kelincahan Renny menembus hutan seperti mengatakan usia tak boleh membuat peneliti berhenti ke lapangan. Selasa (21/4) pagi, di hutan di Kampung Bendung, Desa Banjarsari, Pulau Enggano, Bengkulu, Renny berburu jenis ikan asli Enggano. Ia berjalan cepat menuju hutan bersama anggota tim yang terdiri atas staf LIPI dan beberapa penduduk lokal.
Dengan petunjuk penduduk lokal, Renny menuju Sungai Kahabi. Untuk mencapainya, mereka harus melewati hutan primer bertanah licin dan gembur, pohon-pohon tumbang, duri rotan yang siap menusuk kulit, dan akar atau batang tumbuhan merambat yang kerap menjerat kaki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Enggano, Renny bersama peneliti dan teknisi LIPI lainnya melakukan Eksplorasi Bioresources Indonesia 2015, bagian dari Ekspedisi Widya Nusantara. Pulau itu berjarak 175 kilometer dari Kota Bengkulu, luasnya lebih dari 39.000 hektar dan memiliki enam desa.
Sebagai salah satu pulau terdepan Indonesia yang menghadap langsung ke Samudra Hindia dan informasi awal Enggano tidak pernah menyatu dengan daratan Sumatera, membuat peneliti menduga bahwa banyak spesies endemis atau khas serta spesies baru di Enggano, termasuk ikan tawar.
Keragaman hayati masih kerap terabaikan dan tak dilihat sebagai harta negara yang patut dijaga dan dipelihara. Di mata peneliti, harta besar adalah terjaganya keragaman hayati, yang berarti juga menjaga keseimbangan ekosistem. Sumber daya alam ini akan jadi sumber pendapatan negara. Inilah yang disebut bioresources atau sumber daya berbasis hayati.
Pemikiran itulah di antaranya yang mendorong Renny turut dalam Eksplorasi Bioresources 2015 LIPI ke Pulau Enggano.
Renny memaparkan, ia seperti dikejar waktu mendata dan mengoleksi jenis ikan tawar asli di Indonesia, terutama jenis baru. Sementara, laju pembangunan yang mendesak dan merusak alam liar lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan pendokumentasian keragaman hayati.
Di tengah cepatnya laju alih fungsi lahan mengatasnamakan pembangunan, jumlah ekspedisi riset masih minim. Anggaran negara pun belum berpihak pada dunia riset.
”Dalam setiap ekspedisi, hampir pasti saya temukan ikan jenis baru, sedangkan saat ini masih banyak daerah belum saya datangi,” ucapnya.
Dari Enggano, Renny pun mendapatkan satu kandidat spesies baru.
Peneliti asing
Penelitian tugas akhir S-1 pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, menjadi awal ketertarikan Renny terhadap dunia ikan air tawar. Saat itu, ia berupaya memperoleh metode meningkatkan produktivitas gurami.
Mendapat gelar sarjana pada 1985, Renny memutuskan menjadi peneliti ikan di LIPI setahun kemudian. Saat itu, ia lebih banyak berkecimpung dalam bidang ekologi (ilmu tentang hubungan antarorganisme dan lingkungan hidup) ikan. Ia masih belum masuk ke taksonomi, ilmu yang mempelajari pengelompokan jenis.
Hingga suatu saat, ia melihat peneliti asing datang silih berganti meneliti pengelompokan spesies ikan tawar di Indonesia dan mengejar publikasi spesies baru. Ia pun terpacu turut mendalami taksonomi.
Istri dari Elistyo Sritaman itu berharap kekayaan jenis ikan tawar benar-benar dimiliki bangsa sendiri. Alhasil, pada 1998 atau 12 tahun setelah masuk LIPI, Renny untuk pertama kalinya memublikasikan spesies baru ikan tawar. Ia mengoleksi dari Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, dan mendeskripsikan dua spesies baru, yaitu Osteochilus jeruk (karena warnanya mirip jeruk) dan Osteochilus serokan (serokan adalah nama lokal ikan ini).
”Perburuan” Renny terus berlanjut dan membawanya ke seantero Nusantara. Hingga tahun ini, ia sudah memublikasikan 57 spesies baru ikan tawar dari Indonesia, baik sebagai penulis utama maupun penulis pendamping.
Atas dedikasinya tersebut, ia memperoleh gelar doktor lewat external doctor program pada University of the Ryukyus, Okinawa, Jepang, tanpa harus memperoleh gelar magister dan menjalani pendidikan doktoral terlebih dulu. Ia langsung menyerahkan rancangan disertasi pada Mei 2014, mempertahankan disertasi pada Agustus, dan diwisuda pada September tahun yang sama.
Pengakuan atas karya dan prestasinya juga diwujudkan lewat penyematan nama Renny pada jenis ikan baru, yang juga asli Indonesia. Ikan itu adalah Oryzias hadiatyae dari Danau Masapi, Sulawesi Selatan, dan Paracheilinus rennyae, ikan perairan koral Pulau Flores.
Bertaruh nyawa
Hutan primer Enggano masih belum seberapa bagi Renny. Ia pernah merasakan medan yang lebih berat dalam ekspedisi sebelumnya.
Pada 2003, misalnya, saat Renny dalam ekspedisi danau-danau Malili, Sulawesi Selatan. Di sana terdapat tiga danau yang berjejer, yaitu Danau Matano, Mahalona, dan Towuti. Suatu sore, ia bersama tim selesai meneliti di Danau Mahalona dan kembali ke tempat berkumpul melalui sungai serta Danau Towuti.
Naas, badai datang menerjang di danau seluas 561,1 kilometer persegi dan berkedalaman maksimum 203 meter tersebut. Dua motor diesel pada perahu bercadik yang ditumpangi Renny macet dan salah satu cadik kapal patah. Beruntung, kru perahu berhasil mengikat cadik yang patah tadi, kemudian perahu bisa dibawa menuju tempat teraman terdekat.
Tim pun bisa selamat setelah pada maghrib perahu tiba di Loeha, salah satu pulau di tengah Danau Towuti. Mereka mendarat pada bagian pulau yang sangat jarang dilewati penduduk hingga seorang penduduk yang kebetulan menuju kebunnya lewat. Akhirnya, mereka pun tertolong.
Meski sudah melalui pengalaman menyeramkan, Renny tidak kapok. Niat Renny adalah mengamankan rekaman keragaman jenis ikan tawar. Semoga pemerintah juga memiliki niat serupa sebelum habitat rusak atas nama pembangunan.–J Galuh Bimantara
———–
Renny Kurnia Hadiaty
LAHIR
Malang, 21 Agustus 1960
PEKERJAAN
Kepala Laboratorium Iktiologi dan kurator koleksi ikan di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB); peneliti ikan air tawar di Pusat Penelitian Biologi LIPI
SUAMI
Elistyo Sritaman (57)
ANAK
Arief Aditya Hutama (26)
Muhammad Baiquni Bramantyo (22)
Rani Puri Permata (17)
PENDIDIKAN
Doctor of Science (Dsc), University of the Ryukyus, Okinawa, Jepang (2014)
Doktoranda (Dra), Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1985)
PENGHARGAAN
Pengabadian nama pada dua jenis ikan: Oryzias hadiatyae dan Paracheilinus rennyae
Salah satu tokoh yang biografinya masuk buku “Who’s Who in the World 2011”, Amerika Serikat
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2015, di halaman 16 dengan judul “Keragaman Ikan adalah Harta”.