Kuota penerimaan guru yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah lulusan sarjana pendidikan membuat mahasiswa program pendidikan khawatir. Kondisi ini menyebabkan peluang kerja dan masa depan mereka tidak terjamin.
Saat ini, kuota penerimaan guru di Indonesia sekitar 40.000 per tahun. Jumlah itu tidak sebanding dengan lulusan sarjana pendidikan yang mencapai ratusan ribu setiap tahun. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadi pengangguran di kalangan sarjana pendidikan.
“Kalau perbandingan kuota penerimaan dan jumlah lulusan terlalu timpang, kami khawatir. Jangan sampai ketika lulus kuliah tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia,” ujar mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Muhammad Nurul Ikhsan (25), Rabu (17/6), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ikhsan mengatakan, pemerintah perlu segera mencari solusi untuk menyediakan lapangan kerja bagi sarjana pendidikan. Dia berharap agar persyaratan untuk menjadi guru dan penerimaan pegawai negeri sipil tidak dipersulit dan transparan.
Kekhawatiran serupa diutarakan Erwin (22), mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. Dia mengatakan, mahasiswa pendidikan butuh kepastian mengenai ketersediaan lowongan kerja ketika menyelesaikan kuliah.
“Sejak adanya program sertifikasi guru, banyak yang berminat menjadi guru. Namun, jika lapangan kerjanya terlalu sedikit, angka pengangguran akan semakin tinggi,” ujarnya.
Sejumlah guru mengamati peragaan nitrogen cair pada lokakarya “Science Center sebagai Media Pembelajaran Sains di Sekolah” yang diselenggarakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di Andrawina Convention Hall, Owabong Cottage, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (14/5). Beragam program pelatihan untuk guru diberikan untuk meningkatkan kemampuan guru dan kualitas pendidikan.–KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO
Pengamat pendidikan Universitas Muhammadiyah Dr Hamka, Elin Driana, mengatakan, pemerintah perlu mendata ulang jumlah dan kebutuhan guru di Indonesia. Hal ini dibutuhkan untuk melihat peluang kerja mahasiswa program pendidikan pada masa mendatang.
“Wajar mahasiswa pendidikan khawatir dengan masa depannya. Untuk itu, perlu data akurat mengenai hal ini sehingga kita bisa mengetahui jumlah kebutuhan guru di Indonesia,” ujarnya.
Dia mengatakan, universitas ataupun sekolah tinggi yang membuka program pendidikan juga harus mencari solusi atas perbandingan kuota penerimaan guru dan jumlah lulusan sarjana pendidikan yang timpang. Salah satu caranya adalah dengan membekali keahlian lain kepada mahasiswa.
“Tujuan utama mahasiswa pendidikan pasti ingin menjadi guru. Namun, kampus perlu mencari alternatif lain, yaitu membekali keterampilan, seperti kemampuan komunikasi, berorganisasi, atau justru membuka usaha sehingga ketika kuota penerimaan guru minim, mereka tetap survive,” ujar Elin.
Distribusi guru
Elin mengatakan, salah satu persoalan serius dunia pendidikan di Indonesia adalah distribusi guru. Menurut dia, jumlah guru berlebihan di kota-kota besar, tetapi mengalami kekurangan di daerah-daerah terpencil.
“Pemerintah harus memberi perhatian serius pada masalah pemerataan pemenuhan kebutuhan guru. Penumpukan guru di daerah tertentu tidak efektif bagi program pendidikan nasional,” ujarnya.
Untuk menjadi guru, tidak cukup hanya berstatus sebagai sarjana pendidikan. Dibutuhkan keikutsertaan dalam program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) serta Pendidikan Profesi Guru (PPG). Program ini diharapkan mampu meningkatkan pelayanan guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun, tidak semua mahasiswa program pendidikan mengetahui program tersebut. Ikhsan yang sudah memasuki semester VIII mengaku belum pernah mendengar program SM3T.
Dia mendukung program SM3T untuk menambah wawasan calon guru dengan mengajar di daerah-daerah terpencil. Namun, jika hal tersebut menjadi persyaratan pokok sebelum menjadi guru, program itu harus disosialisasikan lebih intensif.
“Saya yakin masih banyak yang belum mengetahui program itu,” ujarnya. Ikhsan mengatakan, saat kuliah, mahasiswa program pendidikan sudah dibekali dengan kemampuan untuk mengajar melalui program penelitian lapangan (PPL).
Sebelum mengajukan skripsi, mahasiswa pendidikan terlebih dahulu harus mengikuti PPL untuk mengajar ke sekolah selama enam bulan. Lokasi PPL dapat ditentukan oleh universitas ataupun usulan dari mahasiswa.
“Dalam perkuliahan, kami tak hanya diajarkan pengetahuan akademik, tetapi juga teknik mengajar yang baik dan cara memahami psikologis siswa,” ujarnya.(B07)
Sumber: Kompas Siang | 17 Juni 2015