Tahun ini, 43 tahun setelah penetapan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Sedunia, Pemerintah Indonesia berada pada babak baru. Pemerintah Joko Widodo melebur Kementerian Lingkungan Hidup ke Kementerian Kehutanan, kementerian “penguasa” wilayah hutan. Terbit harapan, pun rasa cemas.
Asa lahir karena kebijakan kementerian diharapkan akan lebih berorientasi pada kepentingan menjaga keseimbangan ekosistem demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Lingkungan hidup menjadi panglima kebijakan. Nama kementerian yang mendahulukan lingkungan hidup pun menyemaikan harapan: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kecemasan terbit karena Kementerian Kehutanan memiliki kekuatan (power)-seperti diakui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (Kompas, 13/11/2014). Ketika itu, ia mengatakan, “Kehutanan power-nya kuat dalam arti politik, kekuasaan, dan aset. Semua tahu aset kehutanan itu jagoan.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rasa cemas muncul dari sejarah yang kita baca. Sejak 1980-an, hutan menjadi locus delicti terkait lingkungan dan hak asasi manusia alih-alih aktivitas ekonomi yang menyejahterakan masyarakat.
Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk pertambangan dan perkebunan di dalam kawasan hutan tak terawasi maksimal. Catatan sanksi terkait amdal nyaris tak ada.
Sementara kejadian bencana, seperti kebakaran hutan, banjir, longsor, kecelakaan yang merenggut nyawa orang, kekeringan, kerusakan badan sungai, dan berbagai defisit jasa lingkungan tak pernah masuk kalkulasi. Akhirnya, kita tak pernah tahu apakah aktivitas ekonomi di kawasan hutan benar membuat negara lebih kaya dan rakyat lebih sejahtera?
Saat bersamaan, hukum terhadap kejahatan kehutanan masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kasus nenek Asyani yang dijatuhi hukuman penjara karena tuduhan mencuri kayu menjadi cermin nyata.
Di sisi lain, audit kepatuhan oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan yang melibatkan 15 perusahaan dengan 17 kasus tak terdengar kelanjutannya.
Sebagai catatan, kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, kebakaran hutan di Riau selama 3 bulan menyebabkan kerugian Rp 20 triliun.
Multisektor dan multipihak
Siti Nurbaya sering menyatakan, koordinasi selalu dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan beberapa kementerian lain, mulai dari kementerian yang mengurus agraria, infrastruktur, hingga masalah sosial.
Hal positif lain, yaitu pelibatan pemangku kepentingan, seperti masyarakat, baik langsung maupun melalui organisasi masyarakat sipil (LSM) dan media massa, juga selalu dilakukan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun membentuk satuan tugas untuk mengurai kekusutan masalah tenurial yang merugikan masyarakat sekitar hutan atau masyarakat adat serta membentuk tim untuk meninjau berbagai perizinan pada kawasan hutan.
Dalam suatu diskusi, Menteri Siti Nurbaya mengakui beratnya mengatasi pembalakan liar yang, menurut dia, bersifat sistemik dan melibatkan korporasi.
Saat ini dilakukan peninjauan terhadap produk hukum yang tidak sinergis satu sama lain. Sebagai contoh, regulasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan beberapa regulasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Paris COP-21
Semua pembicaraan tentang hutan adalah pembicaraan tentang masalah dan solusi bagi persoalan perubahan iklim. Indonesia menjadi sentral diskusi pada konferensi perubahan iklim, ketika bersama Norwegia membuat Surat Niatan (Letter of Intent) tentang Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan Plus (REDD+). Semua mata mengarah ke program REDD+ Indonesia.
Indonesia diharapkan banyak pihak memimpin negara-negara berkembang dan pemilik hutan tropis. Tak kurang dari utusan khusus perubahan iklim dari Inggris, Sir David King, dan pemimpin South Center Martin Khor menegaskan itu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah kementerian penanggung jawab masalah perubahan iklim.
Tidak ada yang tidak jelas dalam afirmasi: hutan solusi masalah perubahan iklim. Harapan dan tuntutan dunia luar adalah hal positif untuk mendorong perbaikan tata kelola hutan, terutama setelah ada “rem” lingkungan hidup di dalamnya.
Namun, ada dua perkara membayangi. Pertama, struktur baru kementerian itu ibarat “bungkus baru isi lama”. Struktur baru diisi orang-orang lama. Kita pun harap-harap cemas. Secara teori, sulit berubah cara pandang ketika sosoknya sama.
Hal lain, pelibatan semua pemangku kepentingan adalah baik. Namun, hanya benar-benar baik jika menghasilkan kebijakan dan tindakan yang berbeda dari sebelumnya, bukan business as usual, seperti pelepasan kawasan hutan terus terjadi dengan berbagai alasan, korporasi terus saja lolos dari jaring hukum, amdal tak ditinjau ulang, dan penegakan hukum terhadap korporasi seret.
Semua perangkat dan alat untuk itu ada. Yang dibutuhkan kemauan dan keberanian politik. Masyarakat menanti, dunia pun menanti.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Masyarakat dan Dunia Menanti”.