Ivan Goenawan; Berhitung Horizontal

- Editor

Senin, 6 Desember 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Merasa jemu berhitung dengan konsep vertikal, Stephanus Ivan Goenawan mengembangkan penghitungan secara horizontal atau mendatar, sejak duduk di bangku SMP. Penemuan strategi berhitung dengan metode horizontal atau dinamakan Metris, lalu berkembang menjadi Gen Metris. Dosen Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta itu dengan gigih mengembangkan Metris.

Ivan juga menggagas digelarnya Olimpiade Kreativitas Angka (OKA) yang dikemas layaknya kuis atau game, sejak tahun 2008, di Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Jakarta. Kompetisi ini unik karena siswa SD hingga orang tua bisa berkompetisi bersama dengan menerapkan cara berhitung Metris.

Dalam kompetisi ini, siswa SD bisa mengalahkan seniornya. Pengguna metode Metris ala Ivan bisa memecahkan penghitungan melebihi jumlah angka di kalkulator tanpa bantuan alat tulis sekalipun.

Saat kompetisi OKA III, akhir November lalu, soal perkalian yang diajukan kepada peserta mulai dari angka yang mudah diingat, semisal dengan mencari hasil dari 40404 pangkat dua, hingga yang rumit, seperti 2000002000002 x 142857142857142857, ternyata bisa dijawab peserta dalam waktu kurang dari dua menit dari batas waktu yang ditentukan panitia. Bahkan, dalam hitungan 10-30 detik, soal-soal hitungan itu dengan mudah diselesaikan peserta yang langsung menuliskan jawaban di laptop.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Awalnya, Ivan mengembangkan Metris untuk dipakai menghitung perkalian, penambahan, pengurangan, dan pembagian, yang bisa menggantikan cara berhitung dari atas ke bawah seperti yang dikenal selama ini.

Ia semakin penasaran sampai menemukan bahwa Metris juga bisa dipakai untuk mengembangkan kreativitas seseorang dengan media angka. ”Angka tak melulu untuk logika, tetapi bisa mengasah kreativitas. Kalau ini dikenalkan kepada anak-anak, mereka tak takut dengan Matematika,” ujarnya.

Sesuai namanya, Metris merupakan cara berhitung yang dilakukan secara mendatar menggunakan notasi pagar (I). Ivan meyakini penemuannya itu merupakan penyempurnaan dari proses hitung secara vertikal.

Ia menambahkan, ada banyak metode hitung, seperti metode sempoa, trachtenberg, mathmagic, mathemagic, vedic, mathflash, polamatika, dan jarimatika.

Menurut dia, selama ini konsep asosiasi tempat satuan, ratusan, ribuan, dan seterusnya sudah ada dalam metode vertikal, tetapi pemisahannya tak ditandai secara tegas dengan menggunakan notasi pemisah. Kekurangan ini disempurnakan pada metode horizontal dengan menggunakan notasi pagar sehingga nilai tempat sebagai satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya menjadi lebih mudah dipahami dan dibayangkan siswa.

”Metode horizontal belum dikenal karena tak ada di kurikulum. Tetapi, ini bisa jadi fondasi dasar untuk anak-anak senang Matematika. Jika Metris dikembangkan, saya yakin anak-anak kita semakin jago,” katanya.

Manfaat dalam kehidupan

Kalau pada masa awal saja anak-anak sudah mengalami fobia pada aritmatika, penguasaan ilmu hitung akan menjadi sulit bagi mereka. Pelajaran selanjutnya, seperti aljabar, geometri, trigonometri, dan kalkulus, yang merupakan bagian dari Matematika juga jadi sulit.

”Agar banyak siswa tertarik pada aritmatika, dapat dipicu dengan menjelaskan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Pemicu utama itu bisa diwujudkan dengan membawa aritmatika sebagai sarana hiburan melalui media angka,” katanya.

Sejak tahun 2005 Ivan memberi pelatihan Metris kepada para pengajar. Dia juga mendatangi sekolah-sekolah untuk menjelaskan konsep Metris yang membuat berhitung menjadi lebih cepat dibandingkan dengan cara vertikal.

Ivan ingin memperkuat Metris sebagai media hiburan. Dia mengembangkan pola-pola angka yang semakin rumit, yang tak muat jika dihitung dengan kalkulator. Hanya dengan mengetahui pola-pola keteraturan dan memanfaatkan cara hitung Metris, bermain-main dengan angka menjadi menarik.

”Dengan memakai Metris, siswa mampu melakukan penghitungan perkalian melebihi kemampuan kalkulator 12 digit. Kemampuan ini bukan lagi merupakan bakat sejak lahir, tetapi dapat dipelajari melalui Metris,” katanya.

Dorongan guru

Dorongan untuk tidak berhenti mengembangkan Metris diperoleh Ivan antara lain lewat peran guru Matematika dia saat bersekolah di kelas satu SMP Bruderan, Purworejo, Jawa Tengah. Ivan yang merasa bosan dengan pelajaran Matematika pernah ribut di kelas.

Sang guru kemudian memanggil Ivan untuk berbicara berdua. Ivan mengira gurunya bakal marah karena dia tak berkonsentrasi saat sang guru menjelaskan soal Matematika. ”Tetapi, saya malah kagum dengan guru SMP saya itu. Guru seharusnya seperti dia, yang bisa menginspirasi siswa. Saya bukan dimarahinya, tetapi dibukakan tentang kelebihan yang saya punyai,” ceritanya.

Ivan ingat betul perkataan gurunya saat itu. ”Kamu punya potensi Matematika yang bagus,” ujar sang guru memberinya semangat. Sejak itu Ivan semakin cinta mengutak-atik cara menghitung karena telah diyakinkan dirinya memiliki potensi di bidang itu.

”Saya merasa berhitung itu menjemukan. Saya tak tertarik dengan cara berhitung vertikal seperti yang diajarkan. Saya yakin, pasti ada cara yang menarik, efisien, dan efektif. Awalnya, saya tidak tahu bagaimana memulainya,” tuturnya.

Selulus SMA, Ivan justru memilih kuliah pada jurusan Fisika. Ia beralasan, karena Fisika dapat mengasah intuisinya. ”Matematika itu cuma alat. Saya ingin belajar banyak soal fenomena alam.”

Ketika masih kuliah, Ivan terus mengembangkan Metris dan menemukan formula-formula baru. Dia yang saat itu mahasiswa jurusan Fisika, pernah mendatangi seorang profesor Matematika untuk berdiskusi tentang penemuannya. ”Tetapi, responsnya kurang memuaskan. Untunglah hal itu tidak mematahkan semangat saya,” kenangnya.

Dia baru memublikasikan Metris pada jurnal Unika Atma Jaya tahun 2000. Kampusnya mendukung Ivan untuk meluaskan Metris. Dia lalu membagi pengetahuan cara hitung Metris lewat buku-buku.

Ia juga memanfaatkan internet untuk menyebarkan Metris yang sudah dipatenkannya, antara lain lewat www.sigmetris.com. ”Saya berharap para guru bisa memperkenalkan metode alternatif berhitung ini. Saya yakin, Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya dari negara lain,” ujar Ivan. [Ester Lince Napitupulu]

Sumber: Kompas, Senin, 6 Desember 2010 | 02:28 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 17 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB