Gelar Akademis Menjadi Simbol dan Gengsi
Kasus pemalsuan ijazah yang dilakukan lembaga pendidikan tinggi dan adanya para peminat ijazah itu antara lain mencerminkan masyarakat masih lebih mementingkan gelar kesarjanaan sebagai simbol gengsi. Padahal, gelar semestinya jaminan atas pengetahuan dan keahlian seseorang.
Seperti diberitakan sebelumnya, inspeksi mendadak oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, Kamis (21/5), mendapati lembaga kursus yang mengeluarkan ijazah palsu hingga jenjang strata 3. Lembaga Manajemen Internasional Indonesia (LMII) terdaftar sebagai tempat kursus manajemen. Namun, mereka mengaku sebagai cabang University of Berkley, Michigan, Amerika Serikat. Ada 147 alumni dengan ijazah palsu yang dikeluarkan lembaga tersebut. Selain itu, disidak pula lembaga yang diduga mempratikkan jual beli ijazah dan sembarangan meluluskan mahasiswa, yakni Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Adhy Niaga di Bekasi, Jawa Barat.
“Gengsi belum sempurna kalau seseorang belum punya gelar sarjana meskipun punya kekayaan atau karier sukses,” ujar Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Muchlis Rantoni Luddin, saat ditemui di Jakarta, Jumat (22/5).
Hal itu mengakibatkan orang berbondong-bondong membeli ijazah demi memenuhi gengsi memiliki gelar sarjana. Bahkan, gelar seolah-olah menjadi benda yang dikoleksi. Ada orang yang memiliki gelar sarjana sampai lebih dari tiga jenis. Padahal, mereka tak pernah menempuh pendidikan untuk mendapatkan gelar-gelar tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Muchlis lantas mengutip teori yang dikemukakan filsuf Austria, Ivan Illich, yakni masyarakat transisi naif yang hanya mementingkan hasil, bukan proses. Gelar sarjana semestinya hanya diperoleh jika seseorang sudah menjalani proses pendidikan dan melewati serangkaian ujian untuk membuktikan kemampuan dia pada suatu bidang. Namun, hal itu tidak diindahkan.
“Buktinya, masyarakat tidak pernah mempertanyakan asal-muasal gelar seseorang,” ujar Muchlis.
Pendapat serupa diungkapkan pakar pendidikan tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro secara terpisah. “Lihat saja, dalam proses perekrutan pegawai, perusahaan lebih mementingkan ijazah daripada kemampuan pelamar. Percuma ada tes masuk jika kemampuan tidak dipertimbangkan,” katanya.
Semata hasil
Permasalahan di atas menunjukkan, masyarakat Indonesia belum modern. Pembangunan, misalnya, hanya berfokus pada hasil baik, tetapi tidak ada pemetaan kebutuhan tenaga kerja untuk mendukung rencana itu. Akibatnya, tidak ada pengadaan sarana dan prasarana untuk mencapai hasil yang diimpikan.
Salah satu contoh ialah pembangunan infrastruktur. “Tidak ada penanaman investasi ke lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang bisa mendukung pembangunan infrastruktur. Akibatnya, tenaga ahli infrastruktur yang dihasilkan lembaga pendidikan minim. Indonesia terpaksa bergantung kepada tenaga kerja kasar tidak berpendidikan,” tutur Muchlis.
Keahlian lebih penting
Menghadapi masalah itu, pemerintah dan para pendidik perlu menanamkan pemahaman bahwa gelar bukan hal nomor satu dalam penilaian kepada masyarakat. “Apabila pemikiran masyarakat lebih mementingkan penguasaan keahlian, mereka tidak akan mau membeli ijazah palsu karena itu tidak diperlukan,” ujarnya.
Di samping itu, perusahaan yang merekrut pegawai diimbau memverifikasi ijazah pelamar. Dengan begitu, mereka bisa mencegah orang-orang dengan ijazah palsu masuk ke perusahaan.
Sebagai contoh, ijazah palsu dari LMII yang digunakan mantan pejabat rektor SH di Universitas PGRI Nusa Tenggara Timur merugikan mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Sekitar 2.300 ijazah yang ditandatangani mantan rektor itu pada Januari 2014-Mei 2015 pun diragukan.
Dari pertemuan antara pendiri Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi PGRI NTT Fredrik Bolang dan anggota DPRD NTT di Kupang, Jumat (22/5), terungkap bahwa SH sudah diberhentikan sejak 27 Desember 2014 dan namanya dihapus dari Pangkalan Data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. (DNE/KOR)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Mei 2015, di halaman 11 dengan judul “Masyarakat Transisi Naif”.