Istilah 4G atau teknologi seluler generasi keempat kian akrab bagi warga Indonesia setelah para operator telekomunikasi menggelar layanan mereka secara komersial pada akhir 2014. Dimulai dengan Telkomsel, XL Axiata, lantas Indosat menggarap kota-kota besar, seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.
Kebutuhan informasi yang tidak terbatas mendorong perkembangan broadband (pita lebar). Salah satunya teknologi 4G yang memungkinkan pengguna untuk menikmati akses internet berkecepatan tinggi hingga puluhan megabit per detik di gawai mereka. Teknologi ini pula yang dikembangkan Huawei, sebagaimana dipamerkan perusahaan itu di ruang pamer di dalam Huawei Industrial Base di Distrik Longgang, kota Zhenzhen, Tiongkok, Kamis (23/4).—–Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo
4G memungkinkan penggunanya untuk menikmati akses internet berkecepatan tinggi hingga puluhan megabit per detik di gawai yang mereka gunakan. Manfaatnya adalah menikmati video tanpa putus karena proses buffering atau menyimpan sebagian file yang diunduh untuk ditampilkan, hingga streaming atau menikmati konten secara langsung tanpa diunduh sama sekali, berjalan lancar.
Tersedianya opsi terkait dengan kecepatan akses pun memunculkan kesempatan untuk menikmati konten baru dengan resolusi lebih tinggi. Itulah mengapa layanan video seperti Youtube mulai memperkenalkan resolusi 4K pada beberapa konten mereka. Belum lagi layanan streaming video, seperti Periscope dan Meerkat lahir pada era akses internet yang kencang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perkembangan layanan 4G di Indonesia belum kencang, Telkomsel saja baru memiliki tidak lebih dari 300.000 pengguna yang berselancar menggunakan jaringan tersebut. Penyebabnya berasal dari keterbatasan jangkauan jaringan yang masih terkonsentrasi di kawasan niaga dan pusat perbelanjaan, belum banyak pengguna telepon seluler yang bekerja di jaringan seluler 4G meski pilihan di pasar terbuka luas dengan beragam pilihan merek dan rentang harga.
Penataan
Kondisi saat ini juga dinilai belum dianggap ideal karena frekuensi yang digunakan untuk menggelar layanan 4G di Indonesia masih dilangsungkan pada spektrum 900 megahertz (MHz) dengan lebar pita maksimal 5 MHz sehingga kecepatan maksimal yang dihasilkan tidak terpaut jauh dengan jaringan 3G saat ini. Solusi yang sedang diupayakan adalah menggunakan frekuensi lain, yakni 1.800 MHz yang memiliki blok frekuensi lebih lebar.
Sayangnya, hal itu juga tidak bebas dari masalah, blok-blok yang digunakan oleh operator telekomunikasi, seperti Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Hutchinson 3, tersebar di sepanjang frekuensi serta digunakan untuk menggelar layanan seluler 3G. Itulah yang menjadi fokus pemerintah dengan melaksanakan refarming atau penataan frekuensi dan mengubah peruntukan dari 3G ke 4G.
Menggeser peruntukan tidak sesederhana mengubah peruntukan karena harus memperhatikan para pelanggan yang terdampak selama migrasi berlangsung. Saat ini frekuensi 1.800 MHz lebih banyak dipakai oleh pengguna 2G yang kebanyakan memanfaatkan telepon seluler untuk panggilan suara ataupun pesan singkat, dan meminta mereka untuk beralih menggunakan ponsel pintar tentu saja bukan perkara gampang.
Penataan frekuensi dilakukan sejak Senin (4/5) hingga November mendatang dengan jeda pada bulan Juli karena tiap-tiap operator bakal sibuk mempersiapkan layanan mereka demi menghadapi lonjakan penggunaan pada hari raya Idul Fitri. Terdapat 42 klaster berdasarkan populasi pengguna dan persebaran menara pemancar telekomunikasi, kawasan Indonesia timur didahulukan dengan pertimbangan pengguna lebih sedikit sehingga meminimalkan efek buruk apabila terjadi masalah.
Saat ini dikenal dua metode untuk melakukan penataan frekuensi, yakni langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Penataan langsung dilakukan seketika, sedangkan tidak langsung memanfaatkan kanal kosong untuk transisi. Tidak terdapat kata sepakat karena tiap-tiap operator punya preferensi sendiri sehingga diputuskan untuk menggunakan metode kombinasi, yaitu step wise, yakni transisi dilakukan pada hari Selasa dini hari dan Kamis dini hari secara bergiliran oleh dua atau tiga operator untuk bertukar tempat di frekuensi.
Ruang pamer yang terletak di dalam Huawei Industrial Base di Distrik Longgang, kota Zhenzhen, Tiongkok, menampilkan pencapaian raksasa teknologi tersebut dalam waktu kurang dari 30 tahun, Kamis (23/4). Teknologi yang dikembangkan Huawei kini bahkan telah beranjak ke teknologi seluler generasi 4,5 G.—Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo
Apabila berlangsung dengan lancar, seharusnya konsumen tidak merasakan dampak dari penataan tersebut karena dilaksanakan pada jam dengan lalu lintas paling rendah, yakni pukul 23.00 hingga 02.00 dini hari.
Adita Irawati, Vice President Corporate Communications Telkomsel, mengatakan, pihaknya bersama operator telekomunikasi lain sepakat untuk bersama-sama menata frekuensi agar bisa memberikan layanan data lebih baik kepada masyarakat. Hanya saja, penataan tidak berarti mereka langsung menggelar layanan 4G di seluruh daerah pada saat yang sama karena semua berpulang pada kalkulasi bisnis setiap operator.
Mahal
Ada alasan di balik ketertinggalan kawasan timur Indonesia dibandingkan dengan kawasan barat terkait penetrasi internet. Hal yang paling mendasar adalah keterbatasan infrastruktur internet yang membuat harga akses internet di kawasan timur lebih mahal ketimbang di Pulau Jawa yang memiliki infrastruktur lebih baik.
Rendahnya kepadatan penduduk membuat operator harus berpikir dua kali sebelum memasang infrastruktur mereka. Satu menara di Pulau Jawa bisa melayani pengguna lebih banyak mengingat konsentrasi penduduk ada di sana.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Semuel Abrijani Pangerapan dalam diskusi bertema “Akses Internet untuk Indonesia Timur”, pertengahan April, memaparkan ilustrasinya. “Akses internet 2 megabit per detik di Pulau Jawa bisa ditebus dengan tarif Rp 300.000. Sementara itu, kecepatan yang sama di Papua baru bisa dinikmati apabila kita merogoh uang sebesar Rp 6 juta hingga Rp 10 juta karena menggunakan perantara satelit,” ujarnya.
Survei pengguna internet terbaru yang dilakukan APJII mengungkapkan bahwa populasi pengguna internet di Indonesia pada 2014 mencapai 88,1 juta orang, atau penetrasi mencapai 34,9 persen dari total populasi. Pulau Jawa menjadi titik konsentrasi pengguna internet Indonesia dengan populasi 52 juta jiwa dan diikuti Pulau Sumatera sebanyak 18,6 juta orang.
“Ketimpangan layanan internet di Indonesia timur terjadi karena tidak ada permintaan. Namun, saya yakin apabila dibangun, pasti akan muncul kebutuhan,” ujarnya.
Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Nonot Harsono, yang hadir dalam diskusi tersebut menegaskan pernyataan Semuel. Dari sudut pandang ekonomi, membangun infrastruktur internet di kawasan timur tidak akan pernah menggiurkan seperti di sisi barat.
“Para operator tidak bisa disalahkan karena mereka melihat dari sisi bisnis. Harus mendapatkan untung dengan melihat permintaan yang ada,” ujarnya. Seharusnya pembangunan infrastruktur internet di Indonesia timur tidak dilihat seperti itu.
Nonot menjelaskan, infrastruktur internet seharusnya dilihat seperti membangun konektivitas transportasi untuk mendukung pembangunan. Pemerintah yang seharusnya membangun jalur utama, yakni kabel optik dasar laut untuk menghubungkan pulau besar dan biarkan sisanya digarap oleh penyedia internet. Hal itu sedang dirintis dengan menyambung ruas demi ruas di Indonesia, seperti ruas Luwuk Tutuyan Cable System sepanjang 345 kilometer dari Sulawesi Timur ke Sulawesi Utara oleh PT Telekomunikasi Indonesia.
Ketua Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) Inaya Rakhmani menjelaskan, seharusnya akses internet dilihat seperti akses dasar manusia yang dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Dengan pendekatan tersebut, internet tidak sekadar kemewahan, tetapi juga pendorong perbaikan kualitas pendidikan atau kesehatan yang selama ini tidak diterima secara setara oleh masyarakat di kawasan Indonesia timur.
“Teknologi adalah solusi, tinggal apa masalah yang harus dipecahkan olehnya. Itulah yang harus ditemukan untuk membuat internet menjadi relevan,” ujar Inaya.
Indeks konektivitas global yang disusun Huawei juga meyakini bahwa peningkatan investasi teknologi informasi akan berdampak langsung ataupun tidak langsung pada produksi domestik bruto sebuah negara. Internet memberikan peluang bagi kemunculan ekonomi digital, yang sama-sama bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat.
Teknologi 4G bisa menjadi pintu masuk untuk menghadirkan solusi tersebut.
Didit Putra Erlangga Rahardjo
Sumber:Kompas Siang | 5 Mei 2015