Para siswa di Jurusan Agrobisnis Perikanan Sekolah Menengah Sekolah Kejuruan Negeri 2 Rembang, Jawa Tengah, dilatih membuat pakan lele dan udang. Tak hanya belajar kewirausahaan untuk menyongsong dunia kerja, mereka juga memperoleh uang saku tambahan.
Saat Kompas mengunjungi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Rembang, awal April 2015, terlihat satu ruangan kelas disulap jadi ruang produksi. Seusai jam sekolah, para siswa memenuhi ruangan ini. Mereka, termasuk para guru yang mengawasi produksi, mengenakan penutup mulut.
Mereka dibagi dalam beberapa kelompok. Ada yang mengurus tepung rajungan/kepiting, tepung telur ayam yang gagal menetas, tepung jagung, dan tepung kanji. Ada juga yang mencampur bahan dengan mesin, menggiling, memasukkan ke oven, serta mengemas ke dalam plastik.
Mesin menderu-deru selama tiga jam lebih. Debu memenuhi ruangan. Namun, semua kebisingan sepadan dengan hasilnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam satu hari, produksi pakan buatan untuk lele dan udang vaname bisa mencapai 3-5 kuintal. Dari kegiatan produksi yang menjadi andalan sekolah ini, setiap siswa yang praktik mendapatkan upah.
Istar, Program Pelaksana Produksi Pakan SMKN 2 Rembang, mengatakan, kegiatan bisnis yang dikembangkan program studi agrobisnis perikanan ini memberdayakan siswa untuk praktik pembuatan pakan. Setiap siswa yang terlibat diberi upah Rp 300 per kilogram.
Tawaran ini menarik karena siswa bisa mendapatkan uang saku tambahan. Apalagi, siswa yang bersekolah di sini sebagian besar anak-anak nelayan yang terbiasa dengan limbah ikan. Setidaknya, uang tambahan ini bisa meringankan tanggungan untuk membayar SPP Rp 145.000 per bulan.
“Saat ini, yang terlibat masih anak-anak Jurusan Agrobisnis Perikanan. Sebenarnya Jurusan Nautika dan Teknika Kapal Penangkap Ikan juga bisa terlibat, sekaligus untuk belajar kewirausahaan. Mungkin nanti program ini akan lebih banyak melibatkan siswa,” tutur Istar.
Bagi Riska, siswa Kelas X Program Studi Agrobisnis Perikanan, pelibatan siswa dalam program tersebut dapat meningkatkan kompetensi lulusan yang kelak dibutuhkan saat memasuki dunia kerja. “Ini juga bisa untuk bekal wirausaha penjualan pakan jika tidak bekerja di perusahaan,” katanya.
SMKN 2 Rembang memiliki program studi teknik konstruksi kapal kayu. Siswa belajar membuat maket kapal kayu. Meskipun masih belum diminati lulusan SMP, sebenarnya permintaan tenaga pembuat dan perawat kapal cukup tinggi.—-Kompas/Ester Lince Napitupulu
Diminati pasar
Menurut Kepala SMKN 2 Rembang Gatot Raharjo, permintaan pelet buatan produksi SMKN 2 Rembang sebenarnya bisa mencapai 2 ton per hari. Namun, keterbatasan ruang dan peralatan, seperti mesin-mesin dan oven, membuat produksi pakan buatan masih terbatas.
“Produksi pakan ikan yang organik dengan memanfaatkan limbah disukai petani ikan. Selain itu, harganya juga lebih murah daripada yang ada di pasaran,” katanya.
Setelah sukses memasarkan pakan buatan ikan lele di Rembang dan Pati, sekolah ini mengembangkan pembuatan pakan buatan untuk udang vaname yang sedang dikembangkan di Kabupaten Rembang. Dengan pakan lele organik, petani mengakui pertumbuhan lele meningkat karena ada enzim yang bisa merangsang pertumbuhan lebih cepat. Waktu panen lele bisa dua minggu lebih cepat daripada biasanya. Kelompok tani udang vaname di Rembang telah melakukan uji coba untuk pakan udang dan berhasil panen satu siklus dengan hasil yang memuaskan.
Kualitas pakan lele produksi SMKN 2 Rembang pun sudah diuji coba di laboratorium Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Dengan memperhatikan kandungan gizi, produktivitas lele meningkat sehingga menguntungkan petani. Untuk pakan lele, dijual dengan harga sekitar Rp 7.000 per kilogram, sedangkan di pasaran berkisar Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per kilogram. Untuk pakan udang, dijual Rp 10.000 per kilogram, atau di bawah harga pasar yang Rp 18.000 sampai Rp 20.000 per kilogram.
Menurut Gatot, dengan memanfaatkan tepung cangkang kepiting atau rajungan, kandungan kalsium pakan menjadi tinggi. Kandungan ini dibutuhkan bagi pertumbuhan ternak.
“Memang kami masih belum terlalu memikirkan soal harga, masih sekadar bisa menutup produksi. Oleh karena itu, kami akan mengembangkan business center sekaligus untuk belajar kewirausahaan supaya bisa lebih berkembang lagi. Potensi penjualannya cukup bagus. Sayangnya, kemampuan produksi masih belum optimal karena fasilitas produksi belum mendukung,” tutur Gatot.
Produksi pakan buatan untuk ikan lele dan udang SMKN 2 mulai mendapat pengakuan. Kini, sekolah dengan lahan seluas 3,8 hektar itu tengah mengembangkan pakan hidup untuk lele dan udang. Caranya, dengan membudidayakan cacing tanah Lumbricus rubellus. Siswa Program Agrobisnis Perikanan secara bergilir memisahkan telur-telur cacing, lalu dibesarkan, hingga bisa dipanen.
Pengembangbiakan cacing tanah ini mendapat dorongan dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah. Peluang usaha dari cacing tanah untuk pakan udang ini juga diminati petani.
Teknik konstruksi kapal
SMKN 2 Rembang, yang berdiri sejak 2006, diamanatkan pemerintah setempat untuk membuka program studi baru yang masih terbatas di SMK kelautan, yakni Jurusan Teknik Konstruksi Kapal Kayu (TKKK). Ini untuk menjawab kebutuhkan tenaga untuk pembuatan ataupun perawatan kapal kayu di Rembang dan sekitarnya.
Namun, program studi tersebut ini belum banyak dipahami lulusan SMP dan orangtua. Sejak dibuka dua tahun lalu, peminatnya masih sedikit. Angkatan pertama pendaftar hanya 13 siswa, sedangkan angkatan kedua berjumlah 11 siswa. “Kami akan meningkatkan sosialisasi program ini ke siswa SMP. Sebenarnya permintaan tenaga untuk perawatan kapal cukup tinggi,” ujar Gatot.
Masih minimnya fasilitas untuk pembuatan kapal membuat sekolah menjalin kerja sama dengan perusahaan pembuat kapal kayu, yakni PT Jati Pagar Nusa di Kecamatan Sarang. Saat jadwal praktik, siswa berpindah tempat belajar di perusahaan pembuat kapal kayu.
Siswa TKKK di SMKN 2 Rembang mulai praktik membuat maket kapal kayu. Setelah sudah mampu membuat konstruksi kapal dalam bentuk maket, siswa pun siap untuk terjun dalam pembuatan kapal yang sesungguhnya di lapangan.—-ESTER LINCE NAPITUPULU
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2015, di halaman 12 dengan judul “Mengolah Limbah untuk Pakan Lele”.