Umur berapa saat yang tepat untuk si kecil belajar membaca? Setidaknya, bagi sebagian orangtua di kota besar seperti Jakarta, anak dirasa perlu belajar membaca sedini mungkin. Terlebih lagi ketika kemampuan membaca menjadi syarat masuk ke sekolah dasar pilihan. Alhasil, saat usia bermain, anak-anak pun mulai melahap huruf demi huruf.
Sejak Dextra Purba (6) berusia 5,5 tahun, Lodeba Sebayang (35) giat membimbing putrinya itu mengenali huruf demi huruf agar piawai membaca. Berbagai “alat” bantu belajar membaca tersedia di rumahnya di kawasan Petukangan, Jakarta Selatan. Ada tumpukan kartu pengenalan huruf bergambar, buku aktivitas menulis huruf, hingga kanal khusus tayangan anak dengan tontonan pengenalan alfabet.
Dia agak resah karena putri keduanya itu sulit menghafal alfabet. Ketimbang belajar mengenal huruf, Dextra lebih senang mewarnai dan menggambar. Dextra berkali-kali mewakili taman kanak-kanak tempatnya “bersekolah” untuk lomba mewarnai.
“Kakaknya, Ariella, 4,5 tahun, bisa baca, makanya saya khawatir,” ujar Lodeba. Lewat setahun, Dextra belum juga serius belajar membaca. Lodeba khawatir, ketika masuk SD nanti, anaknya belum bisa membaca dan akan sulit beradaptasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akhirnya, Lodeba mengikutkan anaknya les membaca di dekat sekolah. Dengan belajar bersama-sama teman, Dextra lebih tertantang dan bersemangat belajar. Dextra mengikuti les membaca, menulis, dan berhitung, dua kali dalam seminggu.
Di tempat les, Dextra belajar mulai dari mengenal huruf A-Z, belajar vokal-konsonan, penggabungan suku kata, bunyi sengau, hingga membuat kalimat. “Belajarnya bukan dengan pengejaan lagi. Empat bulan anak saya sudah bisa membaca dan menulis,” ujar Lodeba.
SD pilihan Lodeba untuk putrinya nanti memang tidak mensyaratkan kemampuan membaca. “Kenyataannya, saat di kelas I SD, anak harus bisa baca-tulis dengan fasih. Kakak Dextra sewaktu kelas I harus menulis agenda harian di buku dengan didikte guru,” ujarnya.
Tuntutan di sekolah
Orangtua lainnya, Mia (35), ibu dari Alexa (6), juga berkeyakinan, untuk masuk SD, anaknya harus diberi persiapan membaca dan menulis. “Apa pun keadaannya, sebelum masuk SD, anak saya harus bisa membaca dan menulis,” ujar Mia. Sebagai persiapan itu, Alexa mengikuti les membaca dan menulis dua kali seminggu.
Mia masih mengingat pengalaman keponakannya, Ace (7), saat masuk SD setahun lalu dan dia khawatir hal serupa menimpa putrinya. Ace merupakan siswa pindahan dari Thailand yang kesulitan menyesuaikan diri dengan metode dikte yang telah diajarkan sejak kelas I SD.
“Di Thailand, untuk siswa kelas I SD belum diterapkan baca-tulis seperti di Indonesia,” ujar Mia.
Sulitnya mendapatkan sekolah karena terbentur persyaratan kemampuan membaca dialami Kaisar (36). Putrinya, Bunga (6,8), sempat kesulitan mendaftar sekolah karena syarat kemampuan membaca. Setahun lalu, saat Bunga masuk ke SD, Kaisar mendatangi tiga sekolah dan semuanya mensyaratkan anak sudah harus membaca lancar. Bahkan, anak wajib menjalani tes membaca.
“Anak saya sudah dikenalkan dengan huruf dan mulai bisa membaca saat itu. Tapi, dia hanya membaca saat mau saja, belum sempurna,” ujarnya. Tidak merasa cocok, Kaisar memilih sekolah lain meskipun hasil tes membaca belum keluar.
Di sekolah yang didatangi selanjutnya, tidak ada syarat mampu membaca, dan dia pun memasukkan anaknya ke sekolah itu. Namun, ternyata, sekolah tersebut tidak lagi mengajarkan membaca kepada anak. “Akhirnya, orangtua yang mengajarkan anak lancar membaca,” ujar Kaisar.
Apalagi, materi pelajaran kelas I SD pun sudah menggunakan kalimat panjang. “Mau tidak mau, agar bisa mencerna pelajaran, anak mesti bisa membaca,” ucapnya.
Sesuaikan
Psikolog dari Universitas Indonesia, Rose Mini, berpendapat, proses belajar anak, termasuk membaca dan menulis, sebaiknya mengikuti tahapan tumbuh kembang anak. Tingkat perkembangan kognitif anak usia batita (di bawah tiga tahun), misalnya, masih terbatas buat anak untuk melakukan abstraksi. Padahal, menulis dan berhitung penuh dengan abstraksi yang sulit diterjemahkan oleh anak usia dini.
“Jadi, tidak benar jika anak usia batita diajarkan membaca dan menulis. Cukup memperkenalkan,” ujar Rose.
Perkembangan dan kecepatan anak, termasuk dalam belajar membaca, tidak dapat disamakan. Kesiapan anak dapat dilihat melalui perkembangan motorik kasar menjadi motorik halus.
“Kalau dipaksakan, bisa saja terjadi disleksia (gangguan baca-tulis pada anak),” ujar Rose.
Selain itu, anak harus belajar secara visual spasial, seperti mengenal arah, bentuk, dan warna. Cara memperkenalkan membaca, antara lain, dengan memberi semangat agar anak berminat belajar berhitung, menulis, dan membaca.
Anak usia balita, misalnya, mempunyai ketertarikan untuk menyimak cerita. Guru atau orangtua dapat mengilustrasikan cerita itu lebih dekat dalam kehidupan anak. Tanpa dipaksa, secara bertahap anak berkeinginan sendiri untuk membaca.
Pengamat psikologi pendidikan Ratih Ibrahim berpendapat, pengenalan membaca dan menulis dapat diterapkan secara dini kepada anak usia 3-5 tahun, selama masih sesuai kebutuhan anak. Untuk itu, guru dan pengajar harus mempunyai pengetahuan dalam mengamati tahapan perkembangan dan kebutuhan anak. Proses belajar pun tidak mengganggu psikologis anak
Ketika berusia tiga tahun, misalnya, anak dapat diajarkan dulu cara memegang pensil. Anak diberikan keleluasaan memegang pensil dengan caranya sendiri karena otot motorik anak belum terbentuk sempurna.
“Selama aktivitas anak dilakukan melalui tahapan dan tanpa paksaan, yang diterapkan akan diserap dengan baik oleh anak. Itu karena anak mempunyai kebiasaan mencontoh dari apa yang dilihat,” kata Ratih.
Kebahagiaan yang diperoleh anak dari guru atau orangtua dengan belajar sambil bermain itu akan memudahkan anak belajar. (B02/INE)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2015, di halaman 12 dengan judul “A, I, U, E, O… Si Kecil Belajar Membaca”.