Bunuh diri adalah solusi permanen untuk masalah temporer.
Phil Donahue, aktor Amerika Serikat
Belum habis kekagetan mengetahui pesawat Germanwings jatuh di Pegunungan Alpen, Perancis, dan menewaskan semua penumpangnya, dunia kembali ternganga ketika tim investigasi mengumumkan bahwa kopilot Andreas Lubitz sengaja menabrakkan pesawatnya. Kemudian diketahui, ia pernah depresi dan menjalani terapi psikologis.
Meski intensitas kecelakaan semacam ini sangat rendah—menurut catatan Aviation Safety Network selama 39 tahun (1976-2015) ”hanya” enam penerbangan komersial termasuk Germanwings yang dipercaya sengaja dijatuhkan oleh pilot dan mengakibatkan 605 korban jiwa—kejadian serupa harus dicegah. Angka ini tidak termasuk hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH 370 berikut 239 orang di dalamnya, tahun 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Felicity Capon menulis di Newsweek (27/3/2015) bahwa kasus Germanwings mirip kecelakaan di Mozambik, 2013, yang menewaskan 33 penumpang dan awaknya. Bedanya, pada kasus ini yang keluar dari kokpit untuk ke toilet adalah kopilot dan ia tidak bisa kembali ke kokpit yang terkunci. Laporan menyebutkan, sang pilot sangat depresi beberapa bulan sebelumnya gara-gara perkawinannya bermasalah.
Tahun 1997, pesawat Boeing 737 milik SilkAir dalam perjalanan dari Jakarta menuju Singapura jatuh di Sungai Musi, 65 kilometer dari Palembang, yang menewaskan 104 penumpang dan awaknya. Tiga tahun kemudian, tim investigasi dari Amerika Serikat mengumumkan, penyebab jatuhnya pesawat adalah pilot yang bunuh diri karena terjerat utang di pasar uang dan sudah berulang kali ditegur pihak manajemen penerbangan.
Temuan Aviation Safety Network sejalan dengan kajian S Eliason dari University of California, San Francisco, AS, pada berbagai literatur. Ia menyimpulkan, kejadian bunuh diri sekaligus membunuh orang lain hanya 0,001 persen. ”Angka kejadian sangat rendah dan tidak berubah dibanding laporan sebelumnya,” tulis Eliason dalam ”Murder-suicide: a review of the recent literature” (J Am Acad Psychiatry Law, 2009).
Berbagai faktor bisa memicu kejadian tersebut. Namun, umumnya terkait hubungan pelaku dengan korban, sejarah kekerasan dalam rumah tangga, kehidupan seks, umur pelaku, adanya perceraian atau perpisahan, penggunaan senjata, dan sejarah gangguan mental. Eliason menambahkan, pelaku umumnya laki-laki dan sedang depresi. Faktor ini menjadi makin parah apabila pelaku mengonsumsi alkohol atau narkoba.
Februari lalu, Administrasi Penerbangan Federal (FAA) AS juga melaporkan kecenderungan pilot bunuh diri pada pesawat pribadi berukuran kecil. Sepanjang 2003-2012, dari 2.758 kecelakaan di AS, delapan di antaranya akibat pilot bunuh diri. Semuanya pilot laki-laki, umur rata-rata 46 tahun, dan 7 dari 8 terbang sendiri. Selain itu, 4 dari 8 pilot yang bunuh diri terbukti mengonsumsi minuman keras dan 2 dari 8 positif menggunakan obat anti depresi. Meski menerbangkan pesawat kecil, 5 dari 8 pilot itu punya lisensi pesawat komersial.
Sayangnya, seperti diakui FAA, tidak mudah mendeteksi kecenderungan ini. Maka, FAA berupaya menapisnya dengan peraturan: untuk mendapatkan sertifikat Airline Transport Pilot (ATP), pilot harus punya minimal 1.500 jam terbang (James Fallows dalam ”Pilots on the Germanwings |Murder/Suicide”, The Atlantic, 28/3/2015). Dengan demikian, pilot lebih lama dilatih kemampuannya, diawasi perilaku dan kesehatannya. FAA juga mewajibkan calon pilot membayar saat magang sebagai awak penerbangan komersial untuk mengukur kondisi ekonominya.
Mahal? ”Pilot murah, nyawa murah,” kata Adam Shaw, penulis, penerbang, dan kini memimpin tim aerobatik di Eropa.—Agnes Aristiarini
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 April 2015, di halaman 14 dengan judul “Bunuh Diri”.