Di belantara gedung dan beton perkotaan, air hujan yang berlimpah kian sulit meresap ke tanah, terus-menerus menggenang, hingga akhirnya mendatangkan banjir. Tak banyak masyarakat yang sadar, air hujan ternyata sumber air bersih yang selama ini sering disia-siakan, bahkan dianggap sebagai ancaman, ternyata sumber berkah yang luar biasa.
Kesadaran baru terhadap berkah air hujan ini disampaikan kelompok Laboratorium (Lab) U3060A melalui pameran Titik Balik Evolusi Budaya Air Hujan di Bentara Budaya Jakarta pada 31 Maret-2 April 2015. Pameran dibuka Ibu Sinta Nuriyah Wahid. Lab U3060A yang diprakarsai rohaniwan V Kirjito Pr ini meneliti air hujan secara swadaya.
“Penelitian kami membuktikan, air hujan adalah air suling alam mendekati murni, yang jauh lebih bersih daripada air tanah yang sudah terlaruti macam-macam mineral, baik sampah, polusi, maupun logam berat. Namun, selama ini air hujan tidak pernah kita manfaatkan,” kata Kirjito di Bentara Budaya Jakarta, menjelang pembukaan pameran, Selasa (31/3) sore.
Menurut Kirjito, masyarakat modern saat ini perlu belajar dari kearifan lokal masyarakat pedalaman di Kalimantan, Papua, atau pelosok Jawa, yang masih setia menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan air minum. Meski bertahun-tahun minum air itu, mereka tetap sehat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk memastikan higienitas air hujan, masyarakat bisa menggunakan dua alat, yaitu Total Dissolved Solid (TDS) meter dan pengukur derajat keasaman (pH meter). “Air hujan murni dan sehat karena tidak mengalami proses di bawah tanah yang bercampur mineral dan kotoran. Karena tubuh kita bersifat asam, kita perlu mengonsumsi air basa untuk menetralkan pH tubuh,” tutur Meintje Maukar, ahli air tanah.
Lab U3060A mengajak masyarakat belajar “mengionisasi” air hujan dengan teknik elektrolisis menggunakan dua bejana berhubungan yang dialiri listrik searah (DC). Dengan alat ini, molekul air diurai menjadi ion bermuatan negatif yang bersifat basa dan ion bermuatan positif yang bersifat asam. “Air basa sangat sehat dikonsumsi. Ini menjadi pembelajaran kepada masyarakat bahwa mereka bisa menyediakan air minum secara sendiri tanpa harus bergantung pada air kemasan pabrikan,” katanya.(ABK)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 April 2015, di halaman 12 dengan judul “Mengubah Ancaman Menjadi Berkah”.