Taufik Hidayat (18) hanya diberi waktu tiga jam untuk menyelesaikan 30 x 40 mata jaring ikan. Sudah dua jam murid kelas XII Jurusan Nautika Kapal Penangkap Ikan di SMKN 1 Mundu, Cirebon, Jawa Barat, itu menganyam benang jaring dan karyanya masih jauh dari selesai. Membuat jaring ikan kelihatannya mudah, tetapi sebenarnya sulit. Apalagi jika hasilnya harus sesuai standar kompetensi internasional.
SMKN 1 Mundu, Cirebon, Jawa Barat, menjadi salah satu pusat pelatihan keselamatan dasar (BST) bagi calon pelaut. Sejumlah murid SMK kelautan dari sekolah lain berlatih pemadaman kebakaran di kapal untuk mendapatkan sertifikasi BST.KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULUSMKN 1 Mundu, Cirebon, Jawa Barat, menjadi salah satu pusat pelatihan keselamatan dasar (BST) bagi calon pelaut. Sejumlah murid SMK kelautan dari sekolah lain berlatih pemadaman kebakaran di kapal untuk mendapatkan sertifikasi BST.
Tugas membuat jaring ikan hanya salah satu mata uji kompetensi yang harus dijalani Taufik untuk kelulusan dan sertifikat kompetensi internasional. Sertifikat itu melengkapi persyaratan Taufik untuk bekerja sebagai penangkap ikan di sebuah perusahaan Jepang.
Beberapa bulan sebelum lulus, ia sudah diijon perusahaan Jepang yang menjanjikan gaji Rp 7,5 juta per bulan. Begitu pula dengan murid-murid lain yang sudah dipesan perusahaan berbeda. “Tapi, saya harus belajar bahasa Jepang lagi setahun,” kata Taufik yang sudah belajar bahasa Jepang tiga tahun di sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sistem ijon atau pesan sebelum murid lulus sudah biasa dialami SMK, termasuk SMK kemaritiman yang menghasilkan sumber daya manusia “langka” seperti penangkap ikan berkualitas internasional. Murid SMKN 1 Mundu selalu menjadi incaran perusahaan kapal dalam dan luar negeri karena dibekali keterampilan yang dibutuhkan. Dua jurusan “tertua” di SMKN 1 Mundu, yakni Nautika Kapal Penangkap Ikan dan Teknika Kapal Penangkap Ikan, menjadi incaran perusahaan Jepang, Korea, dan Taiwan karena lulusannya harus mengikuti uji sertifikasi untuk menjadi ahli nautika atau teknika.
“Tenaga pengajar atau guru tetap di dua jurusan itu harus bersertifikat dan berpengalaman. Dua jurusan itu paling laris karena gurunya berstandar internasional dan prospek kerjanya cerah,” kata Kepala SMKN 1 Mundu Ecep Jalaluddin, awal Maret lalu.
Jurusan lain yang dibuka di SMK ini adalah Budidaya Perikanan, Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, serta Teknik Komputer dan Jaringan. Ecep mengatakan, total jumlah murid 1.402 orang dan 417 orang di antaranya kelas XII. Tahun ini, ada 370 murid yang diijon perusahaan Jepang dan Korea.
Kepala Diklat Keterampilan Pelaut SMKN 1 Mundu Trias Rekso Sungkowo mengatakan, peminat sekolah tersebut tak pernah berkurang. Sedikitnya 600 murid diterima di sekolah itu untuk 16 kelas. Sekolah justru kekurangan guru produktif ahli nautika dan teknika yang bersertifikat sesuai dengan standar Organisasi Maritim Internasional. Sudah ada empat guru tetap produktif ahli nautika, tetapi belum ada guru tetap ahli teknika. “Untuk memenuhi kebutuhan guru, kami melatih guru-guru yang ada untuk uji profesi. Tetapi, biayanya mahal. Untuk ahli nautika, perlu pelatihan selama 6 bulan dan biayanya Rp 20 juta-Rp 25 juta,” kata Trias.
Mencari guru bidang kemaritiman tidak mudah karena harus berlatar belakang kelautan atau paling tidak berpengalaman melaut. Masalahnya, kata Ecep, sedikit sekali orang yang mau menjadi guru di SMK karena gaji rendah. “Bekerja di perusahaan asing dengan gaji tinggi tentu lebih menarik,” ujarnya.
Pelatihan keselamatan
SMKN 1 Mundu ditunjuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai SMK Super Rujukan Nasional. Hal itu antara lain karena sekolah ini satu-satunya SMK kemaritiman yang memperoleh izin membuka program pelatihan keselamatan dasar (BST). Selain itu, sekolah tersebut juga memiliki fasilitas lengkap untuk uji kompetensi BST. Semua murid Jurusan Nautika Kapal Penangkap Ikan harus praktik menggunakan alat-alat keselamatan guna menghadapi keadaan darurat di kapal. Contohnya, bahaya kapal tenggelam atau kebakaran di kapal agar dapat menyelamatkan diri atau menolong orang lain.
Para murid Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan di SMKN 1 Mundu, Cirebon, Jawa Barat, mengikuti uji kompetensi untuk kelulusan dan memperoleh sertifikat kompetensi. Produk olahan ikan SMK tersebut juga dijual ke toko.KOMPAS/LUKI AULIAPara murid Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan di SMKN 1 Mundu, Cirebon, Jawa Barat, mengikuti uji kompetensi untuk kelulusan dan memperoleh sertifikat kompetensi. Produk olahan ikan SMK tersebut juga dijual ke toko.
Bagian Diklat Keterampilan Pelaut sekolah itu pun mengadakan pelatihan kelautan berupa diklat BST. Materi yang diberikan, antara lain, konsep, prinsip dan teknik penyelamatan diri, pencegahan kebakaran dan pemadaman kebakaran, pertolongan pertama kecelakaan, keamanan diri, dan tanggung jawab sosial di kapal.
Untuk menjadi pelaut, ujar Trias, seseorang harus paham BST. Bukan hanya murid sekolah itu saja yang dapat menggunakan fasilitas tersebut, melainkan juga masyarakat umum yang membutuhkan sertifikat BST. Biaya pelatihan delapan hari sekitar Rp 1,3 juta. Saking tingginya permintaan diklat BST, calon peserta harus mengantre minimal dua bulan. Selesai pelatihan, peserta memperoleh sertifikat dari Kementerian Perhubungan.
“Uang dari BST digunakan untuk gaji, merawat peralatan, dan membeli peralatan baru. Peralatan kami lengkap, tetapi banyak yang tua,” kata Trias.
Kapal latih berusia 30 tahun termasuk peralatan yang dinilai saatnya diganti. Dulu, kapal itu dibeli dari hasil panen tambak 4 hektar milik sekolah. Sekolah paling tidak butuh 1 kapal latih dan kapal penangkapan ikan atau 5 kapal unit produksi. Sebagai gambaran, harga satu kapal latih Rp 2,4 miliar dan kapal unit produksi Rp 1,5 miliar.
“Sekolah kami yang sudah dianggap bagus saja kesulitan. Lalu, bagaimana dengan SMK kemaritiman lain?” kata Ecep.(Luki Aulia)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2015, di halaman 12 dengan judul “”Menggodok” Pelaut Kelas Dunia”.