Penetapan Lokasi Pelepasliaran Orangutan Melalui Syarat Ketat
Pelepasliaran orangutan ke habitatnya tak bisa dilakukan sembarangan. Sebelum pelepasliaran, penapisan secara genetika perlu dilakukan untuk menghindari perkawinan antarspesies orangutan dan pencegahan penularan penyakit.
Hal itu disampaikan CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Jamartin Sihite dalam seminar tentang konservasi orangutan, Rabu (18/3), di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta.
Menurut Jamartin, orangutan yang dilepasliarkan harus sehat. Karena itu, pemeriksaan asam dioksiribo nukleat (DNA) pada orangutan diperlukan untuk mengidentifikasi subspesies individu yang akan dilepasliarkan. Jadi, bisa dicari lokasi lepasliar yang sesuai subspesiesnya.
Di Indonesia, ada dua spesies orangutan, yakni orangutan sumatera (Pongo abelli) yang berstatus kritis atau terancam punah, dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) yang berstatus terancam. Orangutan kalimantan memiliki tiga subspesies, yakni Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus wurmbii, dan Pongo pygmaeus morio.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Wuryanti Setiadi menjelaskan, kekerabatan orangutan kalimantan dianalisis dengan memakai urutan penanda mitokondria DNA (mtDNA). Hasilnya, ada tujuh subpopulasi orangutan berbeda di seluruh wilayah Kalimantan hingga ke Sabah dan Serawak, Malaysia.
Jamartin menambahkan, selain mengidentifikasi spesies, tes DNA berguna untuk mengidentifikasi penyakit yang ada pada orangutan. “Kami menerima orangutan yang akan direhabilitasi dari hasil sitaan yang kami tak tahu kondisi kesehatannya seperti apa,” ujarnya.
Penularan penyakit
Proses rehabilitasi yang butuh waktu bertahun-tahun dan kemiripan DNA manusia dengan orangutan memungkinkan penularan penyakit antara manusia dan orangutan amat besar. Di BOSF, orangutan dilepasliarkan jika secara genetika terbukti, termasuk populasi orangutan kalimantan, bebas dari penyakit tuberkulosis, hepatitis manusia, dan memiliki kemampuan bertahan hidup.
“Kalau hepatitis pada orangutan itu hepatitis yang biasa ada pada orangutan, tak masalah. Yang jadi masalah jika orangutan mengidap hepatitis seperti pada manusia,” kata Jumartin.
Kepala Pusat Primata Universitas Nasional Sri Suci Utami Atmoko memaparkan, manusia dan orangutan bisa saling menularkan penyakit, seperti hepatitis A, B, dan C, tuberkulosis, herpes, malaria, dan thyphus.
Sementara itu, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Dahono Adji menyatakan, saat ini masih ada 1.159 ekor orangutan di pusat-pusat rehabilitasi yang menunggu untuk dilepasliarkan.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah, sebagian besar habitat orangutan ada di luar kawasan konservasi. Hal itu menyebabkan sulit mencari lokasi pelepasliaran yang sesuai.
Menurut Jamartin, BOSF memiliki dua tempat rehabilitasi orangutan, yakni di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, dan Samboja Lestari, Kalimantan Timur. Kini ada 471 orangutan di Nyaru Menteng dan 164 ekor di Samboja Lestari yang menunggu dilepasliarkan. Selain itu, ada 20 orangutan di Nyaru Menteng dan 48 ekor di Samboja Lestari yang belum bisa dilepasliarkan.
“Kami sulit mencari lokasi pelepasliaran. Ada standar ketat untuk menentukan lokasi pelepasliaran,” kata Jamartin. Lokasi pelepasliaran harus bisa mendukung orangutan untuk bisa bertahan hidup. (ADH)
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Maret 2015, di halaman 14 dengan judul “Pastikan Genetika Satwa Liar”.