Berbagai pemikiran keliru mengenai imunisasi memengaruhi kaum ibu. Akibatnya, banyak anak yang tidak diikutsertakan pada program imunisasi. Padahal, imunisasi dapat mencegah terjadi kematian akibat penyakit infeksi berat, seperti tuberkulosis, difteri, campak, polio, tetanus, serta hepatitis B.
“Imunisasi adalah usaha untuk menghindari berbagai penyakit berbahaya karena tubuh anak lebih kebal saat kuman atau bakteri menyerang,” kata Cissy B Kartasasmita, Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), saat dihubungi di Bandung, Jawa Barat, Senin (2/3).
Data Riset Kesehatan Dasar 2013, terdapat 8,7 persen anak berusia 12-23 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi. Persentase tertinggi terjadi di Papua, yakni 36,6 persen anak tidak mendapat imunisasi.
Menurut Cissy, banyak orang berpikir bahwa tubuh anak dapat melawan kuman secara alami. Orangtua membiarkan kuman atau bakteri dari lingkungan menyerang tubuh anak. Mereka biasanya hanya memberikan madu sebagai bahan makanan untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu, kata Cissy, tidak cukup melindungi anak dari berbagai kemungkinan infeksi. Sebab, kemampuan kuman dan bakteri dari lingkungan yang menyerang dapat lebih besar. Kuman itu dapat menyerang kapan pun, khususnya ketika daya tahan tubuh anak menurun. “Tubuh anak akan sulit melawan kuman kalau belum pernah diimunisasi sehingga rentan terserang penyakit,” katanya.
Kuman dilemahkan
Berbagai vaksin yang diberikan pada imunisasi sudah melalui uji klinik. Daya serang kuman dalam vaksin telah direkayasa sehingga tidak akan melebihi kemampuan tubuh anak untuk melawan kuman tersebut. “Kuman dalam vaksin telah dilemahkan. Beberapa bahkan hanya replika kuman maupun kuman yang sudah dimatikan,” katanya.
Cissy menyatakan, memang ada efek samping pada anak setelah pemberian imunisasi. Efek tersebut wajar sebagai respons tubuh anak menghadapi kuman yang dimasukkan ke dalam tubuh. Efek samping itu tidak berbahaya, justru lebih baik karena melatih kekebalan tubuh anak saat menghadapi kuman atau bakteri dari lingkungan. “Risiko terserang penyakit berbahaya akan lebih besar jika tidak diimunisasi,” kata Cissy.
Ia mengatakan, tingkat kejadian kelumpuhan akibat imunisasi polio hanya satu di antara puluhan juta anak yang diimunisasi. Faktor penyebabnya bukan karena kesalahan vaksin yang diberikan, melainkan karena faktor genetik anak. Artinya, kekebalan tubuh anak tidak dapat merespons ketika vaksin polio diberikan. Akibatnya, anak mengalami kelumpuhan.
Saat ini, kata Cissy, sedang dikembangkan vaksin polio untuk memfasilitasi anak-anak yang mempunyai kekebalan tubuh lemah. Hal itu dilakukan agar kejadian kelumpuhan tidak menjadi momok dalam program imunisasi.
Ia berharap setiap anak di Indonesia mendapatkan imunisasi lengkap sehingga kejadian penyakit berbahaya dapat dicegah. “Anak yang terkena penyakit akibat tidak diimunisasi dapat menyebarkan penyakit ke anak-anak lain,” katanya.
Luncurkan buku
Untuk menggalang dukungan program imunisasi di masyarakat, sebuah buku berjudul Kontroversi Imunisasi diluncurkan pada hari Sabtu (28/2).
Salah satu penulis buku, Siti Aisyah Ismail, mengatakan, penulisan buku tersebut bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya imunisasi dan vaksinasi. Dia berharap masyarakat mengonfirmasi setiap informasi yang diperoleh sehingga tidak memiliki pemahaman yang salah dalam menilai sesuatu.
Buku tersebut diharapkan menjadi referensi yang mencerahkan masyarakat karena ditulis berdasarkan penelitian medis. Siti menjelaskan, tanpa vaksin, suatu wilayah bahkan negara dapat berpotensi terkena wabah yang membahayakan.
Ia menyadari, tidak mudah untuk memberikan pemahaman mengenai vaksin. Kesadaran masyarakat akan validitas informasi juga terbentur dengan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang masih rendah, terutama di luar Pulau Jawa. Untuk itu, pendekatan melalui tokoh-tokoh masyarakat mulai dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya vaksinasi. (B07/B08)
Sumber: Kompas, 2 Maret 2015