Ada gambar Pak Gubernur yang tak percaya ada banjir, padahal sudah terendam sampai paha. Ada yang sedang bertanya kepada warga Jakarta apa belum kapok terkena banjir, ada pula gambar yang sudah klimis tanpa kumis. Semua dikemas dengan jenaka.
Maaf Bang Foke. Siapa yang tidak kesal terjebak macet berjam-jam di jalanan. Masih untung sebagian warga menyalurkan kejengkelan dalam bentuk senda gurau. Namun, sebagian lainnya menyikapi dengan lebih serius: menggalang suara untuk tidak lagi memilih gubernur yang sama pada periode berikutnya.
Begitulah untungnya hidup di zaman dengan informasi yang serba berkelimpahan. Pesan personal sampai yang bersifat menggalang massa bisa disampaikan secara instan, seketika, dan sekaligus massal. Terima kasih kepada penggagas internet, yang temuannya sudah menjadi ”ibu” dari kelahiran berbagai jejaring sosial seperti mailing list, forum chatting, sampai yang sekarang begitu populer sebutlah Facebook dan Twitter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendek kata, apa pun bisa terjadi di jejaring sosial elektronik ini. Seminggu sebelum heboh banjir di Jakarta, Devi Permatasari kembali ke pangkuan orangtuanya setelah menghilang dua minggu. Siswi SMP berusia 13 tahun itu diculik teman yang dikenalnya lewat Facebook.
Tahun lalu, Prita terpaksa berurusan dengan hukum gara-gara mengeluhkan pelayanan rumah sakit lewat e-mail. Namun, lewat jejaring sosial Facebook pula tergalang dana hingga miliaran rupiah untuk membantu pengobatan Bilqis.
Begitu luar biasanya kekuatan jejaring sosial ini sehingga banyak perusahaan berbondong-bondong memindahkan investasi iklannya ke sana.
Perubahan paradigma
Paradigma memang telah berubah. Zaman digital hadir dengan lebih banyak informasi dan beranekanya kanal untuk menyalurkannya. Bahkan, dengan berkembangnya teknologi baru, internet pun sudah masuk ke aplikasi seluler dengan berbagai pilihan koneksi. Dengan internet yang bercirikan kebebasan sebagai mediumnya, perkembangan teknologi komunikasi memang membawa konsekuensi tersendiri. Tanpa dilandasi dengan keluasan dan keluwesan alam pikir, semua kemajuan ini bisa jadi malah menjadi momok baru.
Kekhawatiran orangtua, pemerintah, tak jarang menjadi pemicu dikontrolnya internet dan situs jejaring sosial di beberapa negara. Paling tidak Facebook pernah dilarang di China, Vietnam, Pakistan, Suriah, Iran, dan Korea Utara. Beberapa tempat kerja bahkan memilih memblokir internet dari jaringan komputernya karena dianggap mengurangi efektivitas kerja para karyawan.
Beberapa kekhawatiran, terutama pengaruh jejaring sosial terhadap remaja, ternyata tidak beralasan. Hasil penelitian di Amerika dengan judul The Kids are Alright yang baru pekan lalu dipublikasikan menunjukkan bahwa sebagian besar remaja (78 persen) bisa melindungi informasi privat miliknya saat bergaul di situs jejaring sosial.
Memang masih ada kelemahan pada 68 persen remaja yang adakalanya menerima permintaan orang tak dikenal untuk menjadi temannya. Pada 68 persen remaja itu, 8 persen langsung mengiyakan permintaan pertemanan, siapa pun orangnya. Sisanya, 34 persen, kadang-kadang mengiyakan dan 26 persen jarang-jarang mengiyakan.
Karena itu, Truste, lembaga yang mensponsori survei di atas, menyiapkan saran- saran bagi remaja dan orangtuanya untuk bisa menggunakan internet dan jejaring sosial secara sehat.
Saran itu antara lain menganjurkan para remaja untuk berteman dengan orangtuanya dalam jejaring sosial, tidak berlebihan berteman, dan belajar menggunakan peranti penjaga privasi yang tersedia.
Saran serupa diberikan kepada orangtua, dengan tekanan untuk mendiskusikan definisi privasi dengan anak-anaknya, masuk ke dunia mereka tanpa harus bersikap nyinyir, serta mendukung anak-anaknya untuk menggunakan fasilitas pengontrol privasi.
Dalam bukunya Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi (2007), Dr. Haryatmoko juga tidak setuju dengan pengontrolan informasi ini, terutama oleh negara.
Menurut dia, perlindungan yang efektif pertama-tama justru bukan pelarangan, tetapi mendampingi anak-anak atau remaja dalam selera budaya mereka. Dengan cara itu, mereka dibantu untuk menjaga energi kreativitas mereka, termasuk kemampuan untuk mengapresiasi, kepekaan seni, serta analisis kritis yang akan melindungi mereka dari gambar atau pesan yang merugikan.
Kebebasan dan peluang
Bagaimanapun juga, apa yang ditawarkan dalam keterbukaan informasi ini banyak yang bisa dimanfaatkan secara positif. Sebagai contoh, pembatasan di Twitter yang hanya membolehkan orang berekspresi dalam teks maksimal 140 karakter malah melahirkan genre sastra baru: fiksi mini.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama juga mendukung kebebasan penggunaan internet. Dalam pertemuannya dengan para mahasiswa China di Shanghai tahun lalu ia menegaskan, ”Semakin kita terbuka, semakin mampu kita berkomunikasi, dan hal itu juga akan membuat dunia bersatu.”
Bagi Obama, kebebasan mengakses informasi adalah hak universal, bersama dengan kebebasan berekspresi, berdoa, dan ambil bagian dalam politik. Dengan demikian, internet yang bebas justru menjadi sumber kekuatan, bukan kelemahan.
Penggunaan berbagai media komunikasi untuk menggalang dukungan dan menyampaikan aspirasi politik memang sebaiknya diterima sebagai partisipasi masyarakat untuk perbaikan layanan dan lebih jauh lagi sebagai bagian perkembangan demokrasi.
Oleh karena itu, kritik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta—apa pun bentuknya—di berbagai jejaring sosial yang ada juga sebaiknya diterima sebagai bagian dari warga yang menagih hak-hak mereka mendapatkan kualitas layanan publik yang layak dari ”ahlinya”. [AGNES ARISTIARINI]
Sumber: Kompas, Rabu, 27 Oktober 2010 | 04:30 WIB