Jejaring Sosial, Jejaring Solidaritas

- Editor

Kamis, 28 Oktober 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kekacauan luar biasa akibat hujan lebat tiga jam di Jakarta, Senin lalu, membuat Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo jadi bulan-bulanan. Gambar dirinya dalam berbagai versi beredar hampir di semua peralatan komunikasi terkini: dari telepon genggam hingga iPad.

Ada gambar Pak Gubernur yang tak percaya ada banjir, padahal sudah terendam sampai paha. Ada yang sedang bertanya kepada warga Jakarta apa belum kapok terkena banjir, ada pula gambar yang sudah klimis tanpa kumis. Semua dikemas dengan jenaka.

Maaf Bang Foke. Siapa yang tidak kesal terjebak macet berjam-jam di jalanan. Masih untung sebagian warga menyalurkan kejengkelan dalam bentuk senda gurau. Namun, sebagian lainnya menyikapi dengan lebih serius: menggalang suara untuk tidak lagi memilih gubernur yang sama pada periode berikutnya.

Begitulah untungnya hidup di zaman dengan informasi yang serba berkelimpahan. Pesan personal sampai yang bersifat menggalang massa bisa disampaikan secara instan, seketika, dan sekaligus massal. Terima kasih kepada penggagas internet, yang temuannya sudah menjadi ”ibu” dari kelahiran berbagai jejaring sosial seperti mailing list, forum chatting, sampai yang sekarang begitu populer sebutlah Facebook dan Twitter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pendek kata, apa pun bisa terjadi di jejaring sosial elektronik ini. Seminggu sebelum heboh banjir di Jakarta, Devi Permatasari kembali ke pangkuan orangtuanya setelah menghilang dua minggu. Siswi SMP berusia 13 tahun itu diculik teman yang dikenalnya lewat Facebook.

Tahun lalu, Prita terpaksa berurusan dengan hukum gara-gara mengeluhkan pelayanan rumah sakit lewat e-mail. Namun, lewat jejaring sosial Facebook pula tergalang dana hingga miliaran rupiah untuk membantu pengobatan Bilqis.

Begitu luar biasanya kekuatan jejaring sosial ini sehingga banyak perusahaan berbondong-bondong memindahkan investasi iklannya ke sana.

Perubahan paradigma

Paradigma memang telah berubah. Zaman digital hadir dengan lebih banyak informasi dan beranekanya kanal untuk menyalurkannya. Bahkan, dengan berkembangnya teknologi baru, internet pun sudah masuk ke aplikasi seluler dengan berbagai pilihan koneksi. Dengan internet yang bercirikan kebebasan sebagai mediumnya, perkembangan teknologi komunikasi memang membawa konsekuensi tersendiri. Tanpa dilandasi dengan keluasan dan keluwesan alam pikir, semua kemajuan ini bisa jadi malah menjadi momok baru.

Kekhawatiran orangtua, pemerintah, tak jarang menjadi pemicu dikontrolnya internet dan situs jejaring sosial di beberapa negara. Paling tidak Facebook pernah dilarang di China, Vietnam, Pakistan, Suriah, Iran, dan Korea Utara. Beberapa tempat kerja bahkan memilih memblokir internet dari jaringan komputernya karena dianggap mengurangi efektivitas kerja para karyawan.

Beberapa kekhawatiran, terutama pengaruh jejaring sosial terhadap remaja, ternyata tidak beralasan. Hasil penelitian di Amerika dengan judul The Kids are Alright yang baru pekan lalu dipublikasikan menunjukkan bahwa sebagian besar remaja (78 persen) bisa melindungi informasi privat miliknya saat bergaul di situs jejaring sosial.

Memang masih ada kelemahan pada 68 persen remaja yang adakalanya menerima permintaan orang tak dikenal untuk menjadi temannya. Pada 68 persen remaja itu, 8 persen langsung mengiyakan permintaan pertemanan, siapa pun orangnya. Sisanya, 34 persen, kadang-kadang mengiyakan dan 26 persen jarang-jarang mengiyakan.

Karena itu, Truste, lembaga yang mensponsori survei di atas, menyiapkan saran- saran bagi remaja dan orangtuanya untuk bisa menggunakan internet dan jejaring sosial secara sehat.

Saran itu antara lain menganjurkan para remaja untuk berteman dengan orangtuanya dalam jejaring sosial, tidak berlebihan berteman, dan belajar menggunakan peranti penjaga privasi yang tersedia.

Saran serupa diberikan kepada orangtua, dengan tekanan untuk mendiskusikan definisi privasi dengan anak-anaknya, masuk ke dunia mereka tanpa harus bersikap nyinyir, serta mendukung anak-anaknya untuk menggunakan fasilitas pengontrol privasi.

Dalam bukunya Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi (2007), Dr. Haryatmoko juga tidak setuju dengan pengontrolan informasi ini, terutama oleh negara.

Menurut dia, perlindungan yang efektif pertama-tama justru bukan pelarangan, tetapi mendampingi anak-anak atau remaja dalam selera budaya mereka. Dengan cara itu, mereka dibantu untuk menjaga energi kreativitas mereka, termasuk kemampuan untuk mengapresiasi, kepekaan seni, serta analisis kritis yang akan melindungi mereka dari gambar atau pesan yang merugikan.

Kebebasan dan peluang

Bagaimanapun juga, apa yang ditawarkan dalam keterbukaan informasi ini banyak yang bisa dimanfaatkan secara positif. Sebagai contoh, pembatasan di Twitter yang hanya membolehkan orang berekspresi dalam teks maksimal 140 karakter malah melahirkan genre sastra baru: fiksi mini.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama juga mendukung kebebasan penggunaan internet. Dalam pertemuannya dengan para mahasiswa China di Shanghai tahun lalu ia menegaskan, ”Semakin kita terbuka, semakin mampu kita berkomunikasi, dan hal itu juga akan membuat dunia bersatu.”

Bagi Obama, kebebasan mengakses informasi adalah hak universal, bersama dengan kebebasan berekspresi, berdoa, dan ambil bagian dalam politik. Dengan demikian, internet yang bebas justru menjadi sumber kekuatan, bukan kelemahan.

Penggunaan berbagai media komunikasi untuk menggalang dukungan dan menyampaikan aspirasi politik memang sebaiknya diterima sebagai partisipasi masyarakat untuk perbaikan layanan dan lebih jauh lagi sebagai bagian perkembangan demokrasi.

Oleh karena itu, kritik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta—apa pun bentuknya—di berbagai jejaring sosial yang ada juga sebaiknya diterima sebagai bagian dari warga yang menagih hak-hak mereka mendapatkan kualitas layanan publik yang layak dari ”ahlinya”. [AGNES ARISTIARINI]

Sumber: Kompas, Rabu, 27 Oktober 2010 | 04:30 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB