Hasil pendidikan vokasi belum sepenuhnya mampu terserap ke dunia kerja. Hal itu karena belum maksimalnya pembekalan kompetensi bagi para lulusan. Oleh karena itu, diperlukan penguatan, baik infrastruktur maupun sistem, di dalam pendidikan vokasi. Hal tak kalah penting ialah perlu pemetaan kebutuhan tenaga kerja nasional.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia ialah sekolah tinggi, yaitu institusi pendidikan yang fokus pada pendidikan vokasi.
Akan tetapi, sekolah-sekolah tinggi tersebut menghasilkan banyak lulusan yang tidak terserap di bursa kerja. ”Bisa karena dua hal, yaitu kompetensi yang dihasilkan ternyata di bawah kompetensi yang dibutuhkan pasar, serta terjadinya surplus lulusan program-program studi (prodi) tertentu,” tutur Edy saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (30/1).
Tanpa ”peta”
Penyebab permasalahan tersebut, menurut Edy, adalah karena umumnya perguruan tinggi tidak mempunyai informasi memadai tentang jenis-jenis prodi yang dibutuhkan di masyarakat. Mereka hanya bergantung pada survei yang bersifat terbatas. Di samping itu, pemerintah juga belum memiliki perencanaan tenaga kerja nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apabila perencanaan tersebut ada, akan terlihat peta kebutuhan tenaga kerja dalam jangka waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan. Informasi tersebut bisa diefektifkan dengan membuat kebijakan mengenai jenis-jenis prodi yang diprioritaskan boleh menerima mahasiswa dalam kuota yang lebih besar.
”Misalnya, dalam lima tahun ke depan, Indonesia butuh ahli perikanan, maka kuota masuk prodi perikanan bisa dibesarkan. Prioritas jenis prodi bisa berubah-ubah setiap periode, tergantung dari kebutuhan bangsa,” kata Edy. Ia berpendapat pemetaan tersebut akan mencegah terjadinya surplus lulusan untuk prodi tertentu, sehingga setiap prodi yang ada bisa fokus mendidik.
Keketatan mengaudit prodi dan perguruan tinggi vokasi juga penting. Jika masih banyak sekolah tinggi yang tidak memiliki sarana, prasarana, dan minim kemitraan dengan industri, tetapi masih mendapat akreditasi, semakin banyak mahasiswa vokasi yang tak kompeten.
Buktikan diri
Salah satu permasalahan yang dihadapi PT vokasi ialah pandangan masyarakat bahwa pendidikan vokasi adalah pendidikan kelas dua. Karena itu, perguruan tinggi vokasi mesti membuktikan kemampuan terlebih dulu. ”Sikap yang menganggap magang hanya merupakan syarat kelulusan sekolah vokasi harus diubah,” kata Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (FT UNY), Bruri Triyono.
Di FT UNY misalnya, sebelum mahasiswa diterjunkan untuk magang di industri, mereka harus membuktikan kemampuan mereka melalui keikutsertaan di lomba-lomba lokal, nasional, dan internasional. Untuk mencapai hasil prima, pendidikan tinggi menekankan pendidikan praktik daripada kognitif.
Di samping itu, juga ada pertukaran wawasan melalui jaringan perguruan tinggi vokasi se-Asia Tenggara, Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan dalam Asosiasi Regional Pengajar Pendidikan Vokasi (RAFTE).
Dosen dan mahasiswa yang menghasilkan karya unggul serta potensial dibantu melalui inkubator bisnis agar karya sampai kepada masyarakat. ”Industri yang akan digandeng bisa melihat bukti kemampuan para mahasiswa. Jadi, mereka tidak ragu untuk memberi lowongan magang,” ujar Bruri. (DNE)
Sumber: Kompas, 2 Februari 2015
Posted from WordPress for Android