Jumlah Bidan Cukup, tetapi Distribusi Bermasalah
Peminat program studi pendidikan kebidanan menurun meskipun program studi tersebut merupakan salah satu program studi terbanyak di Indonesia, khususnya untuk jenjang diploma. Hal itu antara lain disebabkan tingginya persaingan dan terbatasnya lapangan kerja.
Sebagai contoh, di Jalan Ciledug Raya dan Jalan Cokroaminoto yang merentang sepanjang sekitar tujuh kilometer dari Jakarta Selatan ke Tangerang Selatan terdapat tiga sekolah tinggi kebidanan. Ketiganya ialah Akademi Kebidanan (Akbid) Kartini Jakarta, Akbid Sentra Bina Yudhistira, dan Akbid Bhakti Asih.
Direktur Akbid Kartini Jakarta Hapsah Sumarso menjelaskan, pekan lalu Akbid itu telah meluluskan tiga angkatan dan sedang mendidik tiga angkatan. Dari sisi jumlah, jumlah mahasiswa yang diterima menurun per tahun. Pada 2012 ada 72 mahasiswa yang diterima. Jumlah itu menurun menjadi 58 orang pada 2013 dan 43 orang pada 2014.
”Saingan akbid banyak. Jadi, calon mahasiswa punya banyak pilihan,” kata Hapsah saat ditemui di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dosen kebidanan di Akbid Sentra Bina Yudhistira, Fitria Desi Natalina, menjelaskan, salah satu penyebab jumlah peminat yang masuk akbid menurun ialah karena lahan kerja yang sedikit. Rumah sakit dan klinik biasanya hanya membutuhkan tiga hingga lima bidan, itu pun yang berpengalaman.
Di samping itu, setiap lulusan pendidikan kebidanan yang ingin berpraktik juga diwajibkan mengambil tes kompetensi surat tanda registrasi (STR) yang menguji seluruh materi, dari semester pertama hingga akhir.
Menurut Fitria, kewajiban mengambil STR mengintimidasi para calon mahasiswa karena bentuk ujian sulit. Akibatnya, untuk menarik minat calon mahasiswa, Akbid Sentra Bina Yudhistira melakukan promosi ke sekolah-sekolah. Oleh karena itu, Akbid Sentra Bina Yudhistira memprioritaskan merekrut para calon bidan yang nanti membaktikan diri di luar wilayah Pulau Jawa.
Setelah lulus
Di Akbid Kartini Jakarta yang menyandang akreditasi B, sejumlah mahasiswa berasal dari Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Lampung. Umumnya, setelah lulus mereka diserap oleh rumah sakit, klinik, dan puskesmas di Jakarta, Bogor, Depok, Tengerang, dan Bekasi. Beberapa juga membuka praktik sendiri.
Situasi itu berbeda dengan Akbid Sentra Bina Yudhistira. Para lulusan umumnya kembali ke kampung halaman mereka. Mayoritas mahasiswa di Akbid Sentra Bina Yudhistira berasal dari Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Mereka memilih menempuh pendidikan kebidanan dengan alasan keberadaan bidan di provinsi tersebut masih jarang.
”Selain itu, biaya sekolah kebidanan di Jakarta dua kali lebih murah daripada di Kalbar,” tutur Ayu Astuti (20), mahasiswa tingkat tiga Akbid Sentra Bina Yudhistira yang berasal dari Sanggau, Kalbar.
Mahasiswa tingkat tiga lain, Bernardina Hadriani Romana Nika (19), mengatakan bercita-cita membuka praktik di tempat asalnya, yaitu Desa Tapangsemada di Kabupaten Sekadau, Kalbar. Warga di desanya harus menempuh waktu 2,5 jam untuk menempuh rumah sakit terdekat. Akibatnya, masyarakat meminta bantuan dukun beranak ketika akan melahirkan.
”Padahal, dukun beranak tidak mensterilisasi tempat dan peralatan. Itu berbahaya bagi ibu dan bayi. Maka, keberadaan bidan penting,” kata Bernardina.
Masalah distribusi
Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Emi Nurjasmi menjelaskan, di Indonesia setidaknya ada 750 akbid. Jumlah itu terlalu banyak untuk menghasilkan bidan tingkat vokasi (D-3).
Oleh karena itu, pada 2009 IBI mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk memoratorium pendirian sekolah kebidanan dengan tujuan memangkas jumlah bidan yang dihasilkan. ”Permasalahan kebidanan di Indonesia bukan pada jumlah yang kurang, melainkan pada distribusi yang tidak seimbang,” katanya.
Menurut dia, penekanan ilmu kebidanan harus difokuskan pada penguatan pendidikan tingkat profesional dan magister daripada sekadar mencetak bidan vokasi. Hingga kini, hanya lima perguruan tinggi yang memiliki prodi tersebut, yaitu Universitas Airlangga dan Universitas Brawijaya di Jawa Timur, Universitas Andalas di Sumatera Barat, Universitas Padjadjaran di Jawa Barat, dan Universitas Hasanuddin di Sulawesi Selatan. ”Untuk tingkat profesional dan magister, satu kursi bisa diperebutkan 40 calon mahasiswa,” ujarnya. (DNE)
Sumber: Kompas, 26 Januari 2015