Selamat datang di ibu kota musik Amerika.” Sambutan hangat ini datang dari seorang kawan Indonesia yang sudah lebih dari 20 tahun bermukim di Nashville, Tennessee. Spontan saya jawab bahwa kedatangan kali ini di Nashville bukan untuk meliput pementasan musik, melainkan konferensi mengenai data. Percakapan serta-merta beralih ke soal lain. Rupanya dia tak berselera dengan data dan tetek-bengeknya yang serba kering. Saya coba memperjelas lebih spesifik: Big Data. Wow, katanya, telinga semua orang di sini akrab dengan Big Data.
Big Data, sebagaimana halnya Big Bang dalam astronomi, cepat menjadi konsumsi percakapan umum di Amerika, tetapi itu tidak menjamin bahwa masing-masing dari kedua hal itu dipahami sebagaimana komunitas informatika atau astronomi memahaminya.
Bill Franks dari Teradata, misalnya, dalam bukunya yang terbit pada 2012, Taming the Big Data Tidal Wave, mengungkapkan bahwa belum ada satu pun konsensus dalam marketplace mendefinisikan Big Data. Meskipun begitu, katanya, paling tidak dua sumber—Gartner’s Merv Adrian dan McKinsey Global Institute—dengan baik telah menangkap esensinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama, Big Data melampaui kemampuan perangkat keras dan perangkat lunak yang setakat ini dipakai untuk menampung, mengelola, dan memproses data dalam waktu terbatas. Kedua, Big Data merujuk kepada kumpulan data yang ukurannya di luar kemampuan perangkat lunak pangkalan data untuk menampung, menyimpan, mengelola, dan menganalisisnya.
Implikasi kedua batasan itu adalah bahwa kualifikasi data yang digolongkan sebagai Big Data berubah dari waktu ke waktu seiring dengan kemajuan teknologi dari masa ke masa. Big Data hari ini berbeda dengan Big Data kemarin ataupun Big Data besok.
Dalam konferensi Data Driven yang berlangsung pada 19-23 Oktober lalu di Nashville itu, Teradata berhasil mengumpulkan 4.000 peserta—mewakili mitra-mitra usahanya dari berbagai bidang di seluruh dunia, termasuk 100 akademisi dari 35 perguruan tinggi—berbagi pengalaman menangani Big Data menyangkut dua aspek, ragam data baru dan ragam analisis data baru, dalam satu tahun terakhir. Pertanyaan intinya adalah bagaimana Big Data beserta analisisnya dapat membuka horizon baru bagi peluang meningkatkan kemampuan suatu perusahaan, utamanya menjawab kebutuhan konsumen berdasarkan pengelolaan dan analisis ragam data baru yang sebelumnya tak masuk ke dalam pangkalan data suatu perusahaan.
Fajar Muharandy, arsitek solusi Teradata Indonesia, dalam percakapan dengan Kompas, mencontohkan data sensorik sebagai salah satu ragam data baru—yang pada era data tradisional belum terpikirkan sebagai suatu data—bagi perusahaan asuransi mobil. Sensor dipasang oleh perusahaan asuransi kepada nasabah di dalam mobil untuk mengetahui perilaku menyetir nasabah tersebut.
Nasabah dengan perilaku menyetir yang aman akan membayar premi yang rendah; nasabah berperilaku menyetir dengan risiko tinggi akan membayar premi yang tinggi. ”Kalau Anda sering rem mendadak, premi yang harus Anda bayar—apa boleh buat—akan lebih tinggi,” katanya.
Di beberapa negara sudah ada perusahaan asuransi yang memasukkan data sensorik, tetapi pemanfaatan data yang tidak ”tradisional” ini tidak mudah berterima sebab sensor-menyensor ini terkait dengan isu privasi. Ada potensi hukum di dalamnya.
”Hal-hal seperti ini bisa jadi topik pembahasan dalam konferensi kami yang melibatkan mitra itu,” kata Fajar. Pada konferensi Big Data tahun 2014 yang berlangsung Oktober lalu itu, ragam data baru dalam musik tidak mengemuka di Nashville.
Oleh: SALOMO SIMANUNGKALIT
Sumber: Kompas, 31 Desember 2014