Hingga sekarang, penemuan manusia Liang Bua atau Homo floresiensis di Flores, Nusa Tenggara Timur, 11 tahun lalu, menjadi sorotan para peneliti dunia. Karena temuan ini, empat ilmuwan Indonesia dari Pusat Arkeologi Nasional, yaitu Rokus Awe Due, E Wahyu Saptomo, Jatmiko, dan Thomas Sutikna, masuk dalam jajaran ilmuwan dengan pemikiran ilmiah paling berpengaruh sedunia tahun 2014 menurut versi Thomson Reuters, di London, Inggris. Namun, diskursus dan perhatian dalam negeri terhadap temuan spektakuler ini justru tidak menggema.
Arkeolog senior Universitas Indonesia (UI) Prof Mundardjito mengungkapkan, sama sekali tak ada perhatian pemerintah terhadap peneliti yang benar-benar bekerja serius dan menghasilkan temuan luar biasa. ”Para peneliti kita ini dikenal sangat jago dalam penelitian di lapangan. Pak Rokus, misalnya, adalah ahli tulang yang paham betul detail seluk-beluk tulang belulang. Mereka sungguh-sungguh bekerja, tetapi tidak pernah mendapat perhatian dari negara,” katanya, di Jakarta, Selasa (16/12).
Menurut Mundardjito, selain Homo floresiensis, banyak temuan luar biasa yang berhasil diungkap para arkeolog dalam negeri. Namun, tak banyak yang diperhatikan, apalagi didukung optimal oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Selain temuan Liang Bua, di Sumatera Prof Truman Simanjuntak juga menemukan hunian Homo sapiens massal di Goa Harimau. Begitu juga Sugeng Riyanto dan para arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta yang menemukan hunian Mataram Kuno yang lengkap di Situs Liyangan, Temanggung,” ungkap Mundardjito.
Situs lengkap
Temuan di Liang Bua mendapat perhatian dunia karena menyajikan sejarah manusia secara berulang-ulang dari masa ke masa sejak masa Plestosen hingga Holosen. Di dalam goa, arkeolog menemukan sisa-sisa kehidupan mulai dari 450 tahun lalu hingga 18.000 tahun lalu.
”Pada lapisan Holosen, ditemukan tinggalan-tinggalan berciri budaya neolitik berupa 14 kubur manusia dengan bekal kubur periuk serta beliung persegi. Di antara lapisan Holosen dan Plestosen, ditemukan lapisan abu vulkanik dari umur 12.000 dan 17.600 tahun lalu yang menjadi pembatas antara lapisan Holosen dan Plestosen. Homo floresiensis setinggi 106 sentimeter dengan volume otak 417 sentimeter kubik ditemukan di lapisan Plestosen pada kedalaman 5,9 meter,” kata Jatmiko, salah satu peneliti Situs Liang Bua.
Yang menarik, di atas lapisan abu vulkanik (lapisan Holosen) ditemukan tulang-tulang fauna yang berbeda dengan lapisan Plestosen. Tulang-tulang hewan yang ditemukan di lapisan Holosen antara lain tikus, belut, katak, kura-kura, dan kelelawar. Tulang-tulang hewan di lapisan Plestosen berupa gajah purba kecil, komodo, kura-kura besar, dan bangau.
Pada saat Homo floresiensis ditemukan, para arkeolog dalam negeri sempat berbeda pendapat. Sebagian arkeolog menilai manusia Liang Bua adalah spesies baru, sementara arkeolog lain berpendapat bahwa individu ini berkepala kecil karena mengalami kelainan mikrokefali atau kepala kecil.
”Kami masih sangat terbuka akan adanya diskusi dalam seminar besar untuk membedah temuan ini. Para arkeolog yang ahli di bidangnya masing-masing perlu berkumpul untuk membahasnya,” kata salah satu penemu Homo floresiensis, E Wahyu Saptomo.
Menurut Wahyu, temuan-temuan di Liang Bua yang sangat beragam itu mendesak untuk dipelajari secara mendalam dan dikonservasi secara profesional. Pemerintah perlu membangun museum untuk menyimpan dan melestarikan berbagai macam artefak Liang Bua yang meliputi masa sangat panjang mulai dari masa Plestosen hingga Holosen. (ABK)
Sumber: Kompas, 17 Desember 2014