Empat ilmuwan Indonesia dari Pusat Arkeologi Nasional masuk dalam jajaran ilmuwan dengan pemikiran ilmiah paling berpengaruh sedunia tahun 2014 menurut versi Thomson Reuters. Kegigihan mereka meneliti manusia Liang Bua atau Homo Floresiensis di Flores, Nusa Tenggara Timur, membuat para peneliti ini masuk dalam daftar peneliti yang paling banyak dikutip.
Presiden Thomson Reuters Basil Moftah menyampaikan pengumuman itu kepada para ilmuwan di London, Inggris, 6 Oktober 2014. Menurut lembaga yang secara khusus menangani persoalan kekayaan intelektual dan ilmu pengetahuan ini, publikasi ilmiah empat ilmuwan Indonesia itu paling banyak dikutip dalam kurun 11 tahun terakhir, yaitu antara 2002-2012 dan 2012-2013.
Selain paling banyak dikutip, hasil penelitian mereka juga dinilai memberikan arah ke masa depan dalam bidang keilmuan arkeologi. ”Jurnal ilmiah tentang manusia Liang Bua yang kami publikasikan pada 2004 di jurnal Nature banyak direspons publik,” kata E Wahyu Saptomo, arkeolog Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas), yang masuk dalam jajaran ilmuwan dengan pemikiran ilmiah paling berpengaruh sedunia 2014 versi Thomson Reuters, di Kantor Pusat Arkenas, Jakarta, Senin (15/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiga peneliti Arkenas lain juga masuk dalam daftar tersebut, yaitu Rokus Awe Due, Jatmiko, dan Thomas Sutikna. Pada 2003, keempat peneliti ini bersama Mike Morwood dari University of New England, Australia, melakukan ekskavasi di Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur. Waktu itu, almarhum Prof RP Soejono bertindak sebagai ketua tim penelitian dari Pusat Penelitian Arkenas.
”Kami menemukan kerangka manusia kerdil setinggi 106 sentimeter yang diyakini sebagai spesies baru, yang bukan termasuk Homo erectus maupun Homo sapiens. Tulang manusia kerdil yang dinamakan Homo floresiensis ini berusia sekitar 18.000 tahun,” ungkap Wahyu.
Meski mendapat pengakuan internasional, hasil-hasil penelitian ilmuwan lokal kurang diapresiasi di dalam negeri. Mantan Kepala Arkenas Prof Riset Bambang Sulistyanto mengakui, akibat minim penghargaan, banyak peneliti Indonesia yang justru kemudian hijrah ke luar negeri yang menyediakan fasilitas penelitian profesional dan memadai. (ABK)
Sumber: Kompas, 16 Desember 2014