Berdasarkan survei, mayoritas warga setuju dengan penerapan pemungutan suara secara elektronik (e-voting) karena mudah, cepat, akurat, dan tak bisa dimanipulasi. Itu berbeda dengan Komisi Pemilihan Umum Pusat yang menilai e-voting bermasalah.
Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengemukakan hal itu, Selasa (21/10), di Jakarta. Survei tersebut menanggapi pernyataan KPU yang mengisyaratkan tak akan memakai e-voting pada pemilihan kepala daerah serentak pada 2015 karena khawatir bermasalah (Kompas, 14/10).
”Masyarakat yang setuju penggunaan e-voting mencapai 98 persen dari responden yang berjumlah sekitar 5.000 orang,” kata Hammam soal hasil survei pendapat masyarakat terkait e-voting pada pemilihan kepala desa dan simulasi pilkada yang terlaksana sejak 2010 hingga kini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
BPPT melaksanakan simulasi e-voting pilkada sejak 2010 hingga 2012 di Banten, Gorontalo, dan Bengkulu. Selain itu, e-voting diterapkan pada 13 pilkades dan simulasi Pilkada Bantaeng, Sulawesi Selatan, pada tahun 2013 di 42 tempat pemungutan suara.
Pada 2014, BPPT menguji petik teknologi rekapitulasi elektronik pemilu legislatif 2014 di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. ”Semua pelaksanaan e-voting mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat,” kata Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT Andrari Grahitandaru.
Peraturan KPU
”Upaya introduksi kemajuan teknologi informasi pada pilkada dilakukan BPPT,” kata Hammam. Dasar hukumnya adalah hasil uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang coblos dan contreng di Mahkamah Konstitusi.
MK menyatakan, e-voting sudah bisa dilakukan pada 2010. Syaratnya, sistemnya memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) serta siap dari sisi teknologi, pembiayaan, penyelenggara, legalitas, dan masyarakat. Oleh karena itu, BPPT mengembangkan sistem e-voting mengacu aspek hukum dan aspek teknis.
E-voting bisa dilakukan di desa, tetapi di kabupaten terganjal kebijakan KPU Pusat. Pembatalan e-voting pilkada terjadi di Kabupaten Jembrana, Bali, pada 2011 dan Bantaeng pada 2013.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014, September lalu, tidak ada alasan bagi KPU untuk menunda mengeluarkan peraturan tentang tata cara e-voting. Itu karena perppu menyatakan, pemberian suara bisa lewat peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Menurut Hammam, KPU tak perlu khawatir ada masalah dalam penerapan e-voting karena telah dilakukan dan dikaji BPPT sepuluh tahun terakhir. (YUN)
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2014