Selama lebih dari 15 tahun, Hadi (33) memendam trauma jadi korban kejahatan seksual semasa kecil. Takut, malu, dan tertekan yang disembunyikan ”meledak” saat dewasa.
Ia mulai mengalami gejala skizofrenia pada 2005 saat bekerja di perusahaan akuntan publik. Ia merasa diperhatikan malaikat pencabut nyawa di sudut-sudut ruang yang membuatnya histeris dan kejang. ”Saat matahari terbenam, saya merasa pintu tobat tertutup,” tuturnya, akhir September lalu, di Jakarta.
Pria yang kini berjualan makanan itu sempat dibawa temannya ke rumah sakit jiwa dan dirawat inap beberapa hari. Ia juga beberapa kali dibawa keluarga ke dukun. Jika mengamuk, anak bungsu dari 10 bersaudara itu ditinggal sendiri di rumah. Setelah berkonsultasi ke dokter spesialis kedokteran jiwa, ia didiagnosis skizofrenia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut dokter spesialis kedokteran jiwa dari Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Natalia Widiasih Raharjanti, skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang memengaruhi perilaku dan cara berpikir penyandangnya.
Gejalanya antara lain berhalusinasi (mendengar suara atau melihat hal-hal tak eksis) dan mengalami waham atau delusi (memiliki keyakinan palsu). Emosi orang dengan skizofrenia (ODS) juga tak stabil.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, sekitar 1 juta penduduk menderita gangguan jiwa berat. Dari jumlah itu, baru 38.260 pasien yang mendapat penanganan medis. Minimnya fasilitas layanan kesehatan jiwa membuat akses penderita untuk berobat terbatas (Kompas, 14/7).
Sejauh ini, penyebab skizofrenia belum diketahui pasti. Menurut Natalia, penyakit itu mengganggu fungsi penerimaan di otak sehingga otak tak mampu mengolah informasi. Akibatnya, timbul gejala seperti waham dan halusinasi.
Faktor keturunan dan lingkungan berpotensi jadi pemicu skizofrenia, tetapi itu bisa diredam jika seseorang punya sistem pendukung baik. Jadi, jika ODS memiliki anak, tak berarti anak itu akan terkena skizofrenia. ”Jika seseorang dibesarkan sebagai individu matang yang tahu cara menghadapi masalah, persoalan yang dialami tak akan menimbulkan stres yang memicu skizofrenia,” tutur Natalia.
Dukungan keluarga
Trauma pun tak otomatis mendorong seseorang mengalami skizofrenia. Jika keluarga dan lingkungan sekitar membantunya mengatasi trauma, orang itu tak akan depresi yang bisa berujung ke skizofrenia.
Pemulihan ODS berupa pemberian obat dan psikoterapi. ”Obat yang diberikan berupa antipsikotik untuk mengurangi gejala. Dosis yang diberikan sesuai kondisi paling optimal dan disesuaikan perkembangan pasien,” kata Natalia.
Adapun lama pengobatan tergantung kondisi pasien. Jika ODS baru menunjukkan gejala skizofrenia satu atau dua kali, ia perlu berobat 1-2 tahun. Jika ODS menunjukkan gejala skizofrenia lebih dari 5 kali, pengobatan sepanjang hidup.
Selain itu, obat untuk menstabilkan suasana hati atau emosi (mood) kerap diberikan jika emosi pasien berubah-ubah. Selanjutnya, ODS menjalani psikoterapi untuk membantu pemahaman terhadap stimulan dari luar dan melatih kembali kemampuan sosial mereka.
Dalam proses pemulihan ODS, Natalia menekankan pentingnya peran keluarga, terutama orangtua. ”Jadi, orangtua harus bisa mendeteksi dini perilaku anak dan membentuk mereka bisa beradaptasi dengan segala macam situasi, termasuk ke masalah yang bisa memicu depresi atau stres,” ujarnya.
”Keluarga tak perlu malu membawa anggota keluarga ke dokter. Makin cepat ditangani, pengobatan bisa lebih cepat sehingga ODS bisa kembali ke masyarakat,” kata Natalia. (A01)
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2014