Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Namun, peraturan itu dinilai tak menunjukkan komitmen Presiden melindungi gambut serta penyelesaian berbagai kejadian kebakaran hutan dan lahan yang sebagian besar terjadi di areal gambut.
Sementara, menurut Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), penetapan PP Gambut itu merupakan ”lonceng” kematian bagi industri kehutanan. Sebab, akasia tidak akan hidup pada gambut dengan tinggi muka air (ground water level/GWL) 40-60 sentimeter (cm) seperti diamanatkan PP.
Hingga kini, dokumen PP Gambut belum muncul dalam berbagai situs resmi pemerintah, seperti www.setkab.go.id dan www.kemenkumham.go.id. Namun, Kementerian Lingkungan Hidup memastikan PP itu telah ditandatangani Presiden, pekan lalu, sebelum Sidang Paripurna DPR yang meratifikasi Persetujuan ASEAN untuk Asap Lintas Batas (AATHP), 16 September 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Tahun ini, kita mengegolkan AATHP dan PP Gambut. PP ini mempertegas kembali kawasan gambut itu, ya, lindung, termasuk kubah gambutnya,” tutur Arief Yuwono, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Senin (22/9), di Jakarta.
PP Gambut merupakan satu dari belasan PP yang diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa rancangan PP serupa yang disusun, di antaranya, adalah Perlindungan dan Pengelolaan Karst dan Mangrove.
Arief menjelaskan, secara umum PP Gambut berisi pengaturan kembali pemanfaatan lahan gambut. Pada PP itu, izin di kawasan lindung, jika telah habis masa berlakunya, tidak bisa diperpanjang.
PP itu, kata Arief, juga mengatur kriteria baku kerusakan gambut jika GWL melebihi 40-60 cm. ”Ini diukur tak hanya di (saluran drainase) tersier atau sekunder, tetapi di semua kawasan. Kami ingin orang tak lagi seolah-olah menyiapkan lahan dengan membuka saluran, sama saja dengan membuang air sehingga gambut kering dan (mudah) terbakar,” paparnya.
Terkait baku kerusakan itu, APHI berpendapat akasia tak bisa hidup dengan GWL 40-60 cm. Akar akasia akan busuk karena tanah gambut terlalu basah.
Kajian itu, kata Nana Suparna, Ketua Bidang HTI APHI, merupakan hasil konsultasi dengan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Himpunan Gambut Indonesia (HGI).
Ia juga mengatakan, pengaturan GWL bisa dilakukan dengan teknik ekohidro yang dihasilkan pakar IPB. Melalui teknologi itu, ia yakin gambut bisa dikelola dengan aman dan berkelanjutan.
Indikator kehutanan
Sementara itu Teguh Surya, Pengampanye Politik Hutan Indonesia Greenpeace Asia Tenggara, mengkritisi kriteria kerusakan gambut yang tidak memasukkan indikator kebakaran hutan. ”Gambut kalau terbakar pasti rusak, tetapi kebakaran tak masuk indikator. Padahal, ini akan memudahkan dalam menilai kerusakan gambut,” tuturnya.
Ekosistem gambut merupakan satu kesatuan hidrologis yang tak bisa dipisahkan, baik gambut berkedalamanan 3 meter maupun kurang. Di PP, fungsi lindung gambut memiliki kriteria kedalaman lebih dari 3 meter dan plasma nutfah tinggi serta memiliki kubah gambut. Di luar itu, gambut bisa ditetapkan sebagai fungsi budaya.
Menurut Teguh, hal ini tak akan menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan lahan yang saat ini marak di Sumatera dan Kalimantan. Pembukaan lahan dengan mengeringkan lahan akan membuat gambut mudah terbakar dan susah padam, serta menimbulkan asap yang mengganggu kesehatan. Itu yang terjadi hampir setiap tahun. (ICH)
Sumber: Kompas, 23 September 2014