Ubah Kebijakan Ekonomi Berbasis Riset Strategis
Salah satu langkah pengarusutamaan keanekaragaman hayati adalah menyosialisasikannya kepada publik. Sementara itu, saat Protokol Nagoya—mengatur akses dan bagi untung pemanfaatan sumber daya hayati—hendak diberlakukan 12 Oktober 2014, Indonesia belum punya peraturan payung yang melindunginya.
Kesadaran publik yang timbul pun perlu ditunjang dukungan logistik untuk riset dan pengembangan agar memberi nilai tambah sumber daya hayati. Tidak bisa tidak, kebijakan pemerintah tentang keanekaragaman hayati (kehati) pun harus jelas.
Hal itu mengemuka dalam Temu Pakar Nasional Kehati di Jakarta yang berakhir Rabu (27/8). Dibahas empat isu strategis, yaitu pengarusutamaan kehati, konservasi dan restorasi, pemanfaatan, serta peningkatan kapasitas. Pertemuan dihadiri wakil-wakil kementerian dan lembaga serta beberapa akademisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, pada pertemuan tersebut tidak ada perwakilan masyarakat lokal, pemilik sumber daya hayati yang harus mendapat manfaat.
Menurut peneliti senior kehati pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Endang Sukara, yang juga wakil Asia Pasifik pada kelompok pakar Konvensi Keanekaragaman Hayati (Subsidiary Body on Scientific, Technical, and Technological Advice/SBSTTA), publik harus mendapat pencerahan soal kehati. ”Perlu ada academic hearing dengan parlemen (wakil rakyat),” ujar Endang.
Namun, kata Endang, ia melihat kebijakan politik dan investasi pemerintah saat ini belum bersinggungan dengan kekayaan hayati. Kondisi itu disayangkan.
Sementara itu, Deputi III Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Arief Yuwono mengatakan, pengarusutamaan kehati dilakukan dengan memasukkan pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Sementara prinsip pemanfaatan kehati sebagai modal dasar pembangunan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.
Masuk Prolegnas
Direktur Riset dan Inovasi IPB Iskandar Siregar menilai, RUU Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Genetik (SDG)—yang selesai sembilan tahun lalu—perlu didorong agar segera dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sehingga bisa segera disahkan.
Keberadaan regulasi itu dibutuhkan untuk mendorong pemanfaatan sekaligus perlindungan SDG. Pada saat bersamaan, dibutuhkan penguatan kapasitas para peneliti Indonesia. Adapun pembukaan akses untuk riset bagi peneliti asing harus menekankan manfaat bagi Indonesia. Tanpa ada peraturan yang memayungi, bisa terjadi pencurian sumber daya hayati (biopiracy).
Rizky Adiwilaga, ahli hukum kehati dari ITB, mengingatkan, ”Penelitian untuk asing jangan diumbar karena nanti bisa seperti nasib pertambangan. Kita tidak mendapatkan apa-apa.”
Sebelum RUU Perlindungan dan Pengelolaan SDG disahkan, kata dia, yang ada hanya hukum-hukum positif yang tersebar dan bersifat sporadis, misalnya di Kementerian Pertanian.
Integrasi peraturan
Para pakar dan peneliti sepakat, saat ini dibutuhkan peraturan yang terintegrasi terkait perlindungan SDG. ”Kekurangan hukum kita terutama pada riset ilmiah kelautan. Peraturan yang ada tak memadai untuk kelautan karena laut itu spesifik, antara lain memiliki berbagai zona berbeda,” kata peneliti dan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Achmad Gusman Siswandi.
Saat ini, izin penelitian bagi pihak asing hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006 tentang Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing.
”Indonesia dengan kebijakan pemerintah membuka investasi langsung harus berubah menjadi ekonomi berbasis riset strategis yang memberi nilai tambah terhadap sumber daya genetik,” ujar Achmad.
Sementara itu, Oktober 2014 akan berlangsung pertemuan para pihak ke-12 (COP-12) membahas strategi kehati dan pembicaraan tentang AICHI Target yang berisi 20 target. Bagi Indonesia, ada empat target utama, antara lain kesadaran tentang kehati dan insentif bagi industri yang mengembangkan penelitian untuk menambah nilai SDG.
Pada kesempatan tersebut juga akan dilakukan pertemuan untuk membahas Protokol Nagoya. Protokol Nagoya yang diadopsi tahun 2010 telah ditandatangani tahun 2011. Indonesia meratifikasi protokol tersebut tahun 2013. Protokol Nagoya mengatur akses dan pembagian keuntungan pemanfaatan SDG.(ISW)
Sumber: Kompas, 28 Agustus 2014