Hal yang paling menyakitkan dalam kehidupan kita adalah ketika kita dilecehkan dan dihina. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada itu. Apalagi, yang dihina dan dilecehkan adalah sebuah negara, seperti halnya kita yang dilecehkan dalam beragam masalah: mulai ekspor pembantu rumah tangga sampai masalah prestasi olahraga yang sangat datar dan lain-lain.
Diam-diam, masalah publikasi internasional pun sudah menjadi arena pelecehan yang dialamatkan ke negara kita. Dengan modal penduduk yang demikian banyak, hanya sedikit sekali jumlah publikasi internasional yang kita lahirkan. Dengan demikian, lengkaplah penghinaan terhadap bangsa ini, baik dari segi otot (olahraga) maupun otak (jumlah publikasi internasional).
Akhir-akhir ini, kita sudah mulai sadar betapa penting peran perguruan tinggi melakukan riset. Ada dua indikatornya. Pertama, wacana perlunya induk baru perguruan tinggi, yang diusulkan agar bergabung ke Kementerian Riset dan Teknologi. Kedua, keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada beberapa hal yang menjadi ciri penting SN Dikti terkait riset. Pertama, pada pembimbingan mahasiswa doktor (S-3), pembimbing utama harus punya dua publikasi internasional. Kedua, output hasil pembimbingan ini pun harus menghasilkan dua publikasi internasional. Tanpa dua publikasi internasional ini, mahasiswa S-3 tidak boleh diluluskan. Ketiga, kurikulum S-2 dan S-3 disusun berbasis riset.
Apakah kita siap? Pertanyaan ini harus dijawab fakta berikut. Negara tetangga kita, yang relatif sama komposisi suku-sukunya, yaitu Malaysia, berpenduduk sekitar 30 juta jiwa. Indonesia hampir sembilan kali lipatnya. Namun, jumlah publikasi dari satu universitas mereka saja, misalnya, Universiti Kebangsaan Malaysia, mencapai sekitar 17.000 dan ini melebihi publikasi semua perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta kita dari Sabang sampai Merauke.
Atas dasar fakta di atas, jawabannya bukan perkara siap atau tidak. Kita harus siap kalau tidak ingin dipermalukan dan dihina. Apakah kita mampu? Kita juga tidak perlu menjawab pertanyaan ini karena kita harus mengalahkan negara tetangga kita ”dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Memang, dari sosialisasi SN Dikti yang saya ikuti, faktor publikasi internasional ini jadi kendala besar. Namun, dengan meningkatnya gaji profesor sejak beberapa tahun terakhir, tugas profesor untuk menulis pada jurnal internasional bereputasi hendaknya dapat dipandang sebagai tugas mulia untuk membela kehormatan bangsa.
Banyak persyaratan untuk melaksanakan tugas mulia ini. Salah satunya: universitas harus serius dan fokus mengelola masalah-masalah akademik. Intinya, dunia riset tak akan pernah bisa maju kalau tak ditopang riset-riset yang bermutu di universitas-universitas. Riset bermutu tak mungkin dilahirkan dari universitas yang tidak fokus dalam mengelola bidang akademik.
Tugas universitas
Tugas universitas di Indonesia, yang tecermin dari tugas rektor, harus diakui sangat berat. Pimpinan universitas menghabiskan banyak waktu untuk urusan non-akademik. Akibatnya, energi yang tersisa pada rektor, dekan, dan seterusnya untuk mengurus masalah-masalah akademik menjadi sangat terbatas.
Hal ini karena rektor punya wewenang sebagai kuasa pengguna anggaran. Karena wewenang ini pula, rektor memasuki wilayah sangat rawan dan rentan terhadap penyalahgunaan anggaran. Akibat kewenangan ini pula, tamu rektor sangat variatif: selain bertujuan akademik, terdapat pula tamu-tamu non-akademik. Misalnya, yang mencari pekerjaan: untuk pengadaan barang dan alat-alat laboratorium, rehabilitasi gedung, atau membangun gedung baru
Saya yakin, hal ini sangat menyita energi rektor, baik fisik maupun psikologis. Di samping itu, rektor pun harus berhadapan dengan tim pemeriksa yang rutin berkunjung. Setiap tim pemeriksa yang datang, seperti dari Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akan ikut menyempurnakan stres yang harus dipikul oleh bahu, punggung, dan kepala rektor.
Saya berpendapat, negara telah sampai hati memeriksa rektor, para pembantu rektor, dekan, dan seterusnya secara terus-menerus, secara rutin, dalam hal penggunaan anggaran.
Di sisi lain, negara juga sampai hati memaksa pimpinan universitas untuk melaksanakan dan mengawal tugas-tugas akademik di universitas: kegiatan belajar dan mengajar harus dilakukan dengan baik, menggenjot kuantitas dan kualitas penelitian, publikasi internasional, serta pengabdian kepada masyarakat. Kalau rektor manusia yang normal, dapat dipastikan, tugas-tugas administratif dan keuangan jadi tidak fokus, atau tugas-tugas akademik yang tidak fokus, atau keduanya.
Di sini, tampak jelas bahwa negara secara sengaja mengondisikan pimpinan universitas bekerja ke arah mission impossible. Negara secara sengaja pula mendesain agar tugas-tugas pimpinan universitas dalam bidang akademik ”harus” gagal. Dengan desain tugas universitas yang seperti ini, dapat dimengerti jika tidak ada rektor yang mampu fokus untuk mengurus masalah akademik.
Cukup urusan akademik
Oleh karena itu, ada dua saran yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kewenangan rektor sebagai KPA tampaknya harus dicabut. Kedua, manajemen universitas perlu dipecah menjadi dua bagian yang terpisahkan: akademik dan non-akademik.
Tugas KPA diserahkan ke manajemen non-akademik yang terdiri atas orang-orang yang berkompetensi tinggi di bidang keuangan, administrasi, dan lain-lain. Pimpinan dan pegawai-pegawai dari manajemen non-akademik ini bukan dari kalangan pengajar, melainkan pegawai-pegawai yang sejak diangkat berkarier dalam bidang non-akademik. Meski bekerja untuk universitas tertentu, mereka bukan bagian dari universitas itu. Mereka bukan bawahan rektor. Tugas-tugas akademik diserahkan ke rektor, pembantu rektor, dekan, dan seterusnya.
Dengan dicabutnya kewenangan ini, tugas rektor menjadi ringan dan fokus mengurus masalah akademik. Tamu-tamu rektor pun dapat dipastikan akan berkurang secara drastis karena tamu-tamu non-akademik akan berurusan dengan pihak manajemen non-akademik. Rektor pun terbebas dari kunjungan tim BPK, BPKP, dan inspektorat yang rutin memeriksa penggunaan anggaran. Jadi, rektor pun akan fokus mengurus Tri Dharma Perguruan Tinggi yang memang jadi tugas pokok sebuah universitas.
Syamsul Rizal, Guru Besar Universitas Syiah Kuala
Sumber: Kompas, 5 Agustus 2014