Tak ada maksud mengeksklusifkan kategori cendekiawan berdedikasi dengan cendekiawan lainnya. Penamaan diberikan sekadar untuk membedakan. Tidak ada maksud meremehkan gelar kesarjanaan. Kecendekiawanan, bedakan dengan kecendekiaan, mengatasi gelar kesarjanaan, menjebol sekat-sekat disiplin ilmu tertentu. Gelar sarjana sifatnya komplementer dan bukan syarat, yang dalam kategori ini tercakup batasan intelektual atau ilmuwan.
Sosok cendekiawan yang memuat batasan intelektual dan ilmuwan lebih mendekati pemenuhan darma bakti kepakaran tertentu untuk kepentingan masyarakat lebih luas dan kepentingan umum, bukan kepentingan kelompok tertentu, apalagi bermaksud memaksa.
Mereka, di antaranya, para penulis artikel, pengisi kolom yang karena faktor kesetiaan bertahun-tahun berkutat dalam bidang ilmu yang menjadi kepakaran masing-masing (mesu budhi, bekerja dalam sepi) dan rajin mengirimkan tulisan terus-menerus—meski karena berbagai alasan banyak yang ditolak—yang berusaha membagikan refleksi, komitmen, kecendekiaan, dan kepakaran untuk ikut serta mendidik masyarakat lewat media massa. Merekalah teman seiring peran yang ingin dimainkan media untuk ikut mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan masyarakat bangsanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak Kompas hadir dalam masyarakat, 49 tahun lalu, rubrik Opini—editorial page yang di dalamnya terdapat Tajuk Rencana, Artikel-kolom, Surat Pembaca, dan Pojok, kadang-kadang karikatur—memiliki ciri yang khas. Ketika di halaman-halaman lain distingsi fakta dan opini lebih tegas terlihat, di halaman itu—saat ini halaman 6 dan 7, serta sejumlah halaman lain, juga pada Kompas e-paper dini hari dan sore hari, pernah bertahun-tahun sebelum 2005 di halaman 4-5 saja, halaman ini menjadi salah satu ciri khasnya, bahkan kelebihan.
Kehadiran rubrik Opini berkaitan erat dengan falsafah dan tujuan Kompas, yakni mengembangkan budaya dan infrastruktur demokrasi sesuai dengan identitas bangsa negara ini yang serba majemuk. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, demokratisasi berkembang ketika segala keberbedaan diakomodasi menjadi satu paduan suara, orkes yang saling memberikan sumbangan konstruktif, dan bukan saling mengeksklusifkan.
Rubrik Opini Kompas sengaja menyediakan ruang itu, yakni memuat artikel, baik yang diterima, dicari, maupun diminta, selalu disertai keinginan menghargai dan mengembangkan perbedaan, membuka debat publik tidak dengan maksud mengeksklusifkan, menang sendiri dengan ”harus-harus” tetapi mendiskusikan sehingga tercapai kesadaran bersama (konsientisasi).
Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2014 digagas oleh Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama—pertama kali diselenggarakan tahun 2008 dengan nama Cendekiawan Berkomitmen sampai tahun ketiga, dan selalu lima orang—disampaikan dalam konteks dan maksud di atas. Dalam balutan ideal penyadaran bersama, dalam balutan praktis sebagai ucapan terima kasih karena kesetiaan, komitmen, dan dedikasi kepada teman-teman seiring seperjalanan Kompas, penghargaan disampaikan dalam rangka perayaan ulang tahun, mengucapkan syukur dan terima kasih.
Sebab, kesetiaan mengandaikan keajekan, meski bukan satu-satunya, faktor waktu berperan. Oleh karena itu, seperti halnya 30 penerima penghargaan sejak 2008, lima penerima tahun ini terentang dalam perbedaan usia, latar belakang, disiplin ilmu, minat, dan jumlah artikel. Dari faktor jumlah artikel terentang dari yang dimuat pertama kali pada 1970 sampai 2002, dari sebanyak 209 artikel sampai 18 artikel, dari yang berusia di atas 70 tahun hingga belum 40 tahun.
Perbedaan itu sekaligus merepresentasikan keberagaman. Mereka serba berbeda, tetapi satu napas, teman merepresentasikan kebinekaan dalam satu orkes simfoni mencerahkan kehidupan masyarakat, mengembangkan kehidupan lebih demokratis, dan hari ini lebih baik daripada kemarin, esok lebih baik daripada sekarang.
Kelima penerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2014 adalah Eko Budihardjo, Franz Magnis-Suseno SJ, Radhar Panca Dahana, Sulastomo, dan Sulistyowati Irianto.
Oleh: ST SULARTO
Sumber: Kompas, 26 Juni 2014