Ibarat pepatah gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga, seperti itu nasib komoditas kelapa sawit sekarang. Jerih payah pemangku kepentingan kelapa sawit menghasilkan produk lestari terancam sia-sia akibat perkebunan ilegal di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.
Bagaimana nasib sedikitnya 3,8 juta petani yang menguasai 43 persen dari 9,2 juta hektar perkebunan kelapa sawit kalau isu lingkungan semakin mencuat di pasar global? Harus disadari, perambahan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) untuk perkebunan kelapa sawit merupakan masalah sangat serius bagi kelestarian ekosistem dan daya saing ekspor di pasar global.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan secara simbolis memulai pemusnahan 200 hektar kebun kelapa sawit di area TNTN pada Kamis (22/5). Di kawasan konservasi seluas 80.000 hektar yang dikelola Kementerian Kehutanan bersama organisasi non-pemerintah asing, World Wildlife Fund (WWF), ini, sekitar 50.000 hektar sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak tanggung-tanggung, ada kebun kelapa sawit bersertifikat di dalamnya. Hal ini harus menjadi pelajaran penting bagi Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, pemerintah daerah, dan WWF.
Atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Zulkifli melibatkan pemerintah daerah, TNI, dan Polri dalam operasi pemusnahan kebun kelapa sawit ilegal di TNTN. Semoga seluruh perkebunan kelapa sawit ilegal itu bisa dimusnahkan dalam waktu singkat.
Pengusaha perkebunan kelapa sawit harus proaktif mendukung langkah penegakan hukum di Riau, terutama di TNTN. Perkebunan kelapa sawit ilegal yang disinyalir Zulkifli juga dimiliki anggota legislatif, pejabat pemerintah, TNI, dan Polri ini harus segera dimusnahkan. Dengan begitu, fungsi TNTN sebagai kawasan konservasi bisa secepatnya dipulihkan.
Para pemodal dan perambah hutan tersebut tidak hanya merusak fungsi konservasi TNTN yang mengancam kesinambungan ekosistem. Namun, hal itu juga merusak citra perkebunan kelapa sawit lestari dengan membabat hutan dan membakar lahan sehingga menimbulkan kabut asap yang membuat warga Riau menderita berbulan-bulan.
Harus ada sikap bersama untuk menghentikan ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit. Indonesia memproduksi 26 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO) dari lahan seluas 9,2 juta hektar pada tahun 2013 dengan 21,2 juta ton CPO dan produk turunannya diekspor.
Kelapa sawit merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia karena berdaya saing tinggi di pasar global. Ekspor minyak sawit tahun 2013 menghasilkan devisa 19,1 miliar dollar AS atau Rp 219,65 triliun. Jumlah itu turun dari 21,2 miliar dollar AS atau Rp 243,8 triliun pada tahun 2012 akibat anjloknya harga.
Tidak seharusnya citra minyak sawit sebagai komoditas ekspor unggulan tercoreng karena ternyata ada perkebunan di taman nasional. Pengusaha, terutama lima pabrik milik dua grup perusahaan raksasa, jangan lagi menadah tandan buah segar kelapa sawit dari kawasan konservasi.
Kenaikan permintaan minyak sawit karena pertumbuhan populasi jangan lagi dijawab dengan ekstensifikasi. Peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat, terutama petani mandiri, harus menjadi prioritas pemerintah.
Ketersediaan pupuk asli, benih unggul bersertifikat asli, kredit lunak untuk peremajaan tanaman, dan pendampingan penyuluh perkebunan akan meningkatkan produktivitas kebun rakyat dari 1,5 ton CPO per hektar per tahun menjadi sedikitnya 2,5 ton CPO per hektar per tahun. Di sisi lain, langkah hukum terhadap pengusaha perkebunan yang merambah kawasan hutan juga harus tetap berjalan tanpa pandang bulu untuk menjaga keseimbangan alam.
Alam memberi banyak manfaat bagi Indonesia. Sudah sepatutnya kita jaga keseimbangan fungsi ekonomi dan ekologi kawasan hutan. Keserakahan sekelompok orang dapat mengundang bencana yang merugikan banyak orang. (HAMZIRWAN)
Sumber: Kompas, 30 Mei 2014