Tanggal 5 Mei 2014, Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan penyebaran virus polio liar secara internasional patut diwaspadai. Kondisi itu darurat kesehatan publik yang menjadi keprihatinan dunia. Di tengah dunia yang seakan tanpa batas, salah satu cara mencegah penularan adalah kewaspadaan.
Kewaspadaan itu kian tak boleh kendur ketika Mei hingga November atau Desember dikategorikan sebagai high season penularan virus polio liar. Namun bukan berarti di luar bulan-bulan itu ancaman penularan tak perlu diwaspadai.
Periode Januari-April 2014 terjadi penyebaran polio liar dari Pakistan ke Afganistan, Suriah ke Irak, dan Kamerun ke Guinea. Itulah yang membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengategorikan situasi saat ini sebagai kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (PHEIC). Negara-negara lain yang memiliki potensi besar menyebarkan virus polio adalah Somalia, Israel, Etiopia, dan Nigeria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Polio adalah penyakit infeksi mematikan yang disebabkan virus yang pada umumnya menyerang anak-anak di bawah lima tahun (balita). Virus itu menyerang sistem saraf, di mana satu dari 200 anak balita yang terinfeksi bisa mengalami lumpuh layuh dalam hitungan jam.
Pada saat anak balita terinfeksi polio, virus masuk melalui mulut dan memperbanyak diri di dalam usus. Lalu, virus akan menyebar ke lingkungan sekitar melalui feses. Kondisi kesehatan lingkungan dan sanitasi yang buruk akan semakin mempercepat penyebaran virus tersebut.
Gejala awal yang biasanya muncul yakni demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, leher kaku, dan nyeri pada tungkai. Karena dampak virus yang memengaruhi kualitas hidup manusia seumur hidup itulah maka polio menjadi salah satu jenis penyakit yang banyak diperangi, termasuk oleh orang superkaya, seperti Bill Gates.
Kondisi Indonesia
Direktur Surveilans, Imunisasi, Karantina, dan Kesehatan Matra Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Desak Made Wismarini mengatakan, Indonesia telah dinyatakan bebas polio pada 24 Maret 2014 bersama 10 negara lain yang tergabung dalam South East Asia Regional Office (SEARO): Banglades, Butan, India, Korea Selatan, Maladewa, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste.
Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mencapai status bebas polio. Bagi sebuah negara, setidaknya dibutuhkan waktu tiga tahun berturut-turut tanpa kasus polio untuk mendapat status bebas polio. Pada konteks wilayah SEARO, maka semua negara anggota SEARO harus bebas dari kasus polio setidaknya tiga tahun berturut-turut.
Publik Indonesia barangkali masih ingat bagaimana tahun 2005-2006 kasus polio liar muncul di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Laboratorium rujukan global di Mumbai, India, saat itu mengonfirmasikan bahwa isolat virus dari Sukabumi adalah polio liar tipe 1 yang berasal dari Afrika Barat. Diduga, virus sampai ke Indonesia melalui Sudan. Virus itu serupa dengan yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman.
Kasus tahun 2005 itu sangat mengejutkan, terlebih sejak 1995 pemerintah telah menyelenggarakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang dimulai tahun 1995, 1996, dan 1997.
Lalu, di sebagian wilayah Indonesia dilakukan tahun 2000 dan 2001. Tahun 2002, PIN polio kembali diadakan untuk mempertahankan tingkat kekebalan anak terhadap ancaman virus polio liar.
Virus polio liar terakhir di Indonesia yang berhasil diisolasi adalah tahun 1995, yaitu tipe 1 di Provinsi Jawa Timur dan tipe 3 di Provinsi Sumatera Utara.
Di tengah mobilitas penduduk dunia yang kian cepat seperti sekarang ini, setiap individu pun sebaiknya tetap mewaspadai ancaman penularan polio dari benua yang jauh sekalipun. WHO mencatat, pada akhir 2013, sebesar 60 persen kasus polio liar di dunia disebarkan oleh orang dewasa yang bepergian lintas negara.
Diperlukan usaha yang tidak enteng dari banyak pihak agar status bebas polio tetap terjaga di tengah dunia yang tanpa batas seperti sekarang.
Di tengah negara maju dengan tingkat standar kesehatan sangat tinggi sekalipun, ancaman polio masih tetap ada, terutama yang berasal dari luar negaranya. Faktor kunci dalam pencegahan penyebaran polio adalah surveilans, terutama pada pintu-pintu masuk negara, seperti pelabuhan udara dan pelabuhan laut.
Imunisasi
Karena ancaman virus polio belum sepenuhnya hilang di dunia, sampai saat ini imunisasi polio masih diberikan. Imunisasi adalah cara paling efektif untuk mencegah polio. ”Ancaman polio liar akan tetap ada selama masih ada negara di dunia yang belum bebas polio,” kata Made.
Saat ini, setidaknya ada tiga negara yang masih endemik polio, yakni Afganistan, Pakistan, dan Nigeria. Di luar tiga negara itu, dua negara teridentifikasi menjadi sumber penularan ke negara lain, yakni Kamerun dan Suriah.
Walaupun polio bersama beberapa penyakit lain, seperti campak, tuberkulosis, difteri, pertusis, dan tetanus, dapat dicegah melalui imunisasi, ternyata angka cakupan imunisasi di Indonesia belumlah merata. Dari 33 provinsi, masih ada 19 provinsi yang angka cakupan imunisasinya di bawah angka nasional. Angka cakupan imunisasi dasar lengkap tahun 2013 sebesar 90 persen, melebihi target 88 persen.
Lima terbawah provinsi dengan cakupan imunisasi dasar lengkap terendah ialah Papua (66,6 persen), Papua Barat (67,7 persen), Sulawesi Tenggara (69,9 persen), Nusa Tenggara Timur (69,9 persen), dan Maluku Utara (76,7 persen).
Ketidaktahuan masyarakat, kekhawatiran pada efek samping imunisasi, dan pengaruh dari kelompok masyarakat yang anti imunisasi, menurut Made, ditengarai menjadi penyebab masih banyak daerah yang cakupan imunisasinya rendah.
Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Sri Rezeki Hadinegoro mengutarakan, cakupan imunisasi di tingkat desa lebih penting daripada angka cakupan nasional. Cakupan imunisasi dasar lengkap di desa yang tinggi akan menyumbang pada angka cakupan nasional. ”Seharusnya, angka cakupan imunisasi di desa sebesar 80 persen,” ujar Sri.
Satu hal yang tak kalah penting, kata Sri, ialah adanya peran pemerintah daerah dalam mencapai angka cakupan imunisasi yang diinginkan. Keberhasilan pemberian imunisasi bagi bayi bergantung pada bagaimana perhatian dan keseriusan pimpinan di daerah, mulai dari level terendah hingga paling tinggi, yakni bupati/wali kota.
Nastiti Kuswandani dari Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menyatakan, seharusnya saat ini, jika masyarakat sadar terhadap imunisasi, sudah tidak ada lagi penyakit yang bisa dicegah imunisasi yang tetap muncul. Namun, kenyataannya justru sebaliknya.
Pada kasus polio, Indonesia memang sudah bebas. Namun, kasus penyakit lain, seperti campak dan difteri, masih muncul. Di RSCM, Nastiti mencontohkan, kasus radang paru dan meningitis sebagai komplikasi dari campak akibat tidak diimunisasi cenderung naik. Radang paru, misalnya, dalam sebulan ada 1-2 kasus baru.
Untuk terus meningkatkan cakupan imunisasi, Kementerian Kesehatan melibatkan IDAI dan tokoh masyarakat termasuk tokoh agama terus mengedukasi masyarakat terkait pentingnya imunisasi. Bagaimanapun, mencegah lebih baik daripada mengobati.
Oleh: Adhitya Ramadhan
Sumber: Kompas, 18 Mei 2014